Iklan

Iklan

Iklan

Rabu, 07 April 2010

“ PROFESI HAKIM DALAM PERSPEKTIF SYARI’AT ISLAM “

Oleh: Goenawan Wanaradja, SH

A. Latar Belakang Masalah

Profesi Hakim 1 adalah jabatan yang mulia sekaligus penuh resiko dan tantangan. Mulia karena ia bertujuan menciptakan ketentraman dan perdamaian di dalam masyarakat. Penuh resiko karena di dunia ia akan behadapan dengan mereka yang tidak puas dengan keputusannya, sedangkan di akhirat diancam dengan neraka jika tidak menetapkan keputusan sesuai dengan yang seharusnya. Jabatan tersebut membutuhkan persyaratan-persyaratan baik fisik maupun non fisik. Di samping itu, ada kode etik yang harus mendapatkan perhatian yang mendalam oleh para hakim yang meliputi dua aspek, yaitu aspek moral dan intelektual. Kedua aspek ini, lebih-lebih aspek moral, masih menjadi persoalan di hampir setiap pengadilan pada masa sekarang. Oleh karena itu Profesi Hakim ini mendapat perhatian khusus, tidak hanya dalam hukum positif saja, dalam hukum Islam pun mendapat perhatian khusus melalui ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits yang membahas tentang Profesi Hakim seperti di bawah ini.
“ Hendaklah engkau menghukum antara mereka menurut pengaturan yang diturunkan Alloh “ ( QS. Al-Maidah ayat 49 ).
“ Dan jika kamu menghukum antara manusia hendaklah kamu hukum dengan seadil-adilnya “ ( QS. An-Nisaa ayat 58 ).
“ Bahwa Alloh adalah Hakim yang seadil-adilnya “ ( Q.S. At-Tin ayat 8 )

“ Dan jangan sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan bathil. Dan janganlah membawa urusan harta itu kepada hakim sebagai umpan untuk - Menyuap Hakim - dengan maksud supaya kamu memakan sebagian harta orang lain dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui “ ( Q.S. Al-Baqoroh ayat 188 ).


_____________________________
1. Goenawan Wanaradja, “ Hakim Juga Manusia “, Modus Aceh, Tabloid Hukum dan Politik, Edisi 39/ TH-IV/22-28 Juli 2007, Banda Aceh, hlm. 19
Diriwayatkan dari Abu Hurariroh, r.a, sabda Nabi Saw : “ Dikutuk Alloh orang yang menyuap dan yang menerima suap dalam masalah hukum (HR Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi).
Apabila kita menyimak secara lebih mendalam, 2 apa arti, makna dan maksud Alloh Swt menurunkan ayat-ayat tersebut melalui Firman-Nya, dan As-Sunnah ke muka bumi ini, maka bagi kita selaku orang yang beriman, sudah pasti akan merinding dan terkesiap setelah mengerti terhadap maksud ayat-ayat dan hadits tersebut di atas, karena ternyata peringatan tersebut bukan saja ditujukan kepada hakim saja melainkan kepada kita semua selaku umat Muhammad, Saw.

Hakim selaku Sang Pengadil di dunia ini, 3 adalah “ Manusia Biasa “ yang tidak terbebas dari “ Noda dan Dosa “, sama dengan manusia-manusia lainnya, baik ia selaku masyarakat dalam pergaulan sehari-harinya, atau ia selaku bagian dari suatu keluarga dalam lingkup rumah tangganya, maupun ia selaku manusia yang mengemban amanah yang ditugaskan untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan orang-orang yang dituduh bersalah dalam perkara pidana, serta orang-orang yang mencari keadilan untuk memperjuangkan hak-haknya dalam perkara perdata.

Oleh karena yang namanya Hakim itu juga adalah Manusia Biasa, 4 dan tidak terbebas dari Noda dan Dosa, maka berdasarkan ayat tersebut di atas, kita jangan terlalu berharap banyak kepada seorang Hakim, bahwa putusannya itu sudah adil dan sempurna, walaupun penulis yakin bahwa Hakim tersebut telah berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan ia sebagai manusia untuk berlaku adil dan bijaksana. Karena sudah secara tegas Alloh berfirman yang menyatakan bahwa : “Alloh adalah Hakim yang seadil-adilnya“. Berdasarkan kenyataan tersebut di atas, kiranya penulis tidak berlebihan apabila dalam makalah ini memilih judul : “ PROFESI HAKIM DALAM PERSPEKTIF SYARI’AT ISLAM “
____________________________
2. Ibid
3. Ibid, hlm. 20
4. Ibid
B. Identifikasi Masalah


Kita selalu mengharapkan suatu putusan hukum yang adil dan benar, atau suatu putusan yang mencerminkan rasa keadilan masyarakat, tetapi kita sendiri lupa, 5 bahwa keadilan dan kebenaran itu sifatnya abstrak dan relatif, sehingga tidak mustahil apabila disatu pihak menganggap bahwa putusan hakim itu sudah tepat, adil dan benar, sedangkan di pihak lain beranggapan sebaliknya. Kita tahu, bahwa hakim itu adalah manusia biasa yang tidak luput dari kekhilafan dan kekeliruan, betapa pun ia telah berupaya untuk menghindari hal itu.

Bagi seorang hakim, 6 sebenarnya ia terikat oleh ucapannya yang dituangkan dalam bentuk suatu putusan, terlebih lagi dalam memberikan keadilannya ia senantiasa harus selalu menyebut nama Tuhan. Hal ini berarti, bahwa hakim itu harus mempertanggungjawabkan setiap putusannya kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena dalam setiap putusannya selalu didahului dengan kalimat : “ Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa “. Menurut Bismar Siregar, 7 bahwa : “ Hakim itu adalah wakil Tuhan di dunia yang mengatasnamakan keadilan-Nya “.

Mengingat betapa pentingnya Profesi Hakim dalam pelaksanaan peradilan, maka dalam makalah ini penulis akan membahas dua masalah pokok yang sangat mendasar, yaitu :

1. Bagaimanakah Profesi Hakim itu menurut Perspektif Syari’at Islam ?

2. Bagaimanakah praktek peradilan Islam dalam memutus suatu perkara ?

Dari permasalahan tersebut di atas, penulis akan mencoba untuk memaparkan dan menganalisa serta menjabarkannya dalam makalah ini.


_____________
5. Goenawan Wanaradja, “ Mengenal Lebih Dekat tentang Putusan Hakim Pidana “, Modus Aceh, Tabloid Hukum dan Politik, Edisi 25/ TH-IV/22-28 Oktober 2006, Banda Aceh, hlm. 20
6.Ibid.
7. Bismar Siregar dalam Wahyu Affandi, “ Hakim dan Penegak Hukum “, Alumni, Bandung, 1981, hlm. 111
B A B II

P E M B A H A S A N


A. Profesi Hakim Menurut Perspektif Syari’at Islam

1. Profesi Hakim
Diriwayatkan dari Buraidah, r.a, sabda Nabi Saw : “ Bahwa Hakim itu ada tiga golongan, yaitu satu golongan masuk syurga, dan dua golongan lagi masuk neraka. 1. Hakim yang masuk surga, adalah hakim yang mengetahui hak ( kebenaran ) menurut Hukum Alloh, dan ia menghukum dengan kebenaran itu. 2. Hakim yang mengtehui hak, tetapi ia menghukum dengan yang bukan hak, hakim ini akan masuk neraka. 3. Hakim yang menghukum dengan tidak mengetahui Hukum Alloh ( Bodoh ) dalam perkara itu, dan ia memutus dengan ketidaktahuannya itu, maka hakim ini pun akan masuk neraka “ ( HR. Abu Dawud dan HR. Imam Empat Hadits Shohih menurut Hakim ).
Hadits ini, secara sederhana, memberikan pemahaman bahwa terdapat tiga golongan hakim, dua diantaranya masuk neraka dan yang satu lagi masuk surga. Hakim yang diberi imbalan surga adalah hakim yang mengetahui tentang kebenaran dan menetapkan keputusan sesuai dengan kebenaran itu. Hakim yang masuk neraka, adalah hakim yang mengetahui tentang mana yang benar dan mana yang salah akan tetapi memberi keputusan tidak sesuai dengan kebenaran, kemudian hakim yang bodoh, ia tidak mengetahui mana di antara pihak yang benar dan yang salah kemudian memberi keputusan atas ketidaktahuannya itu.

Hadits ini mengisyaratkan bahwa menjadi seorang hakim bukanlah profesi yang mudah, akan tetapi penuh resiko dan berat. Seorang hakim yang tidak mampu menunjukkan performance-nya secara baik dan proporsional akan mendapatkan konsekuensi logisnya, sehingga tidak mengherankan jika Imam Abu Hanifah menolak jabatan hakim, meski kapasitas dan kapabelitasnya sangat cakap untuk menduduki jabatan tersebut. 8 Di sisi lain, jabatan seorang hakim merupakan jabatan yang mulia di sisi Alloh. Akan tetapi, untuk memperoleh kemuliaan tersebut banyak tantangan dan godaannya.
_____________________
9. Muhammad Salam Madkur, “ Peradilan dalam Islam “, Alih bahasa Imron AM, Surabaya, Bina Ilmu, 1993, hlm. 25
Hakim 9 dalam terminologi Islam merupakan sumber hukum, yaitu Alloh Swt. Terminologi ini menunjukkan bahwa sumber hukum tersebut adalah Alloh Swt. Oleh karena itu, yang dinamakan sebagai hakim yang sebenarnya dalam Islam adalah Alloh Swt. Dalam pengertian lain, hakim disinonimkan dengan kata Al-Qadhi. Keduanya memiliki kesamaan makna, yaitu orang yang memutuskan perkara dan menetapkannya, 10 atau dikatakan juga sebagai pelaksana undang-undang atau hukum di dunia Islam. Untuk itu, hakim dikatakan sebagai “yang menyelesaikan persoalan hukum yang dihadapkan kepadanya, baik yang menyangkut hak-hak Alloh maupun yang berkaitan dengan pribadi hamba-Nya secara individual.” 11
Sebagai pegangan bagi para hakim, para intelektual Islam telah merumuskan etika-etika tertentu untuk dipedomani dalam menjalankan tugas kehakimannya sehingga tidak keluar dari rambu-rambu yang telah digariskan Alloh dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits.


2. Profesi Hakim dan Problematikanya

Hakim sebagai pelaksana hukum-hukum Alloh Swt mempunyai kedudukan yang sangat penting dan strategis, tetapi juga mempunyai resiko yang berat. Dikatakan penting dan strategis, karena melalui produk hukum yang ditetapkannya diharapkan dapat mencegah segala bentuk kezaliman yang terjadi di tengah masyarakat, atau setidaknya dapat meminimalisir, sehingga ketentraman dalam suatu komunitas dapat direalisasikan. Disamping itu, resiko yang dihadapi pun cukup berat, baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia akan berhadapan dengan mereka yang tidak puas dengan keputusannya, sedangkan di akhirat diancam dengan hukuman sebagai ahli neraka jika tidak menetapkan keputusan sesuai dengan yang seharusnya.

___________________
9. Abd al-Wahab Khallaf, “Ilm Ushul al-Fiqh”, Kairo, Maktabah al-Da’wah al-Islamiyyah, 1956, hlm. 96
10. Muhammad Salam Madkur, op.cit., hlm. 20
11. Ensiklopedi Islam II, Jakarta, Ichtiar Baru van Hoeve, 1994, hlm. 70
Profesi hakim itu adalah jabatan yang tanggungjawabnya sangat besar, seperti yang diriwayatkan dari Abu Hurairoh, r.a, sabda Nabi Saw : “ Barangsiapa yang diangkat sebagai hakim, ia telah disembelih tanpa pisau “ ( HR. Ahmad dan Imam Empat, serta HSR. Ibnu Huzaimah dan Ibnu Hibban ). Oleh sebab itu banyak ulama-ulama yang sadar, tidak mau diangkat menjadi hakim jika sekiranya masih ada orang lain yang patut. Misalnya Ibnu Umar takut menjadi hakim ketika diminta oleh Utsman bin Affan, Imam Abu Hanifah tidak mau menjadi hakim ketika diminta oleh khalifah Al Mansyur, hingga ia dipenjarakan oleh khalifah Al-Makmun. Namun kiranya perlu ditegaskan bahwa menerima jabatan hakim itu fardhu kifayah hukumnya diantara orang-orang yang patut menjadi hakim.
Untuk menghindari resiko yang cukup berat tersebut, para intelektual hukum Islam telah berijtihad untuk menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk dapat menduduki jabatan sebagai hakim, yaitu laki-laki, 12 baligh, berakal, merdeka, Islam, adil, tidak rusak pendengaran dan penglihatannya.13 Al-Shanani menambahkan, seorang hakim harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang Al-Qur’an dan seluk beluk keilmuannya, sunnah, ijma ulama salaf, ilmu ketatabahasaan, dan Qiyas. 14

Persyaratan baligh dan berakal bagi seorang hakim dikedepankan karena seorang hakim tidak hanya dituntut sebagai seorang yang telah dewasa, lebih dari itu ia mesti dapat mengolah rasio berdasarkan logika formal kapan dibutuhkan. Persyaratan merdeka adalah karena seorang budak dipandang tidak cakap secara hukum dan tidak sempurna kesaksiannya, karena ia merupakan milik tuannya.

______________________
12. Persyaratan bahwa seorang hakim harus laki-laki, sampai sekarang masih menjadi polemik di kalangan ulama. Ada yang mangharuskan dan ada yang tidak. Pendapat yang terakhir ini membolehkan wanita menjadi hakim. Diantara yang membolehkan tersebut adalah Imam Abu Hanifah, Ibn Jarir at-Tabari, dan lain-lain di kalangan ulama salaf dan khalaf. Lihat Abu Yala Muhammad Ibn Husain al-Farra al-Hanbali, al-Ahkam al-Sulthaniyah, Beirut, Dar al-Fikr, 1994, hlm. 71

13. Abu Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd al-Qurthubi al-Andalusi, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, II, Beirut, Dar al-Fikr, tth, hlm. 344

14. Muhammad ibn Ismail al-Kahlani al-Shanani, “ Subulal-Salam IV ”, Indonesia, Maktabah Dahlan, 1926, hlm. 116. Lihat juga Abu Yala Muhammad ibn al-Husain al-Farra al-Hanbali, op. cit., hlm. 72
Seorang hakim diharuskan beragama Islam, karena untuk menerapkan dan menetapkan hukum terhadap kemunitas Islam haruslah seorang Islam yang memahami hukum Islam. Orang Islam yang fasiq masih diperselisihkan oleh para ulama tentang kebolehannya menjadi hakim. Namun yang lebih utama dalam mengatasi polemik yang terjadi ditetapkan persyaratan lain, yaitu seorang hakim harusbertindak dan memiliki sifat adil, meskipun terhadap dirinya sendiri.

Demikian juga halnya dengan persyaratan tidak rusak pendengaran dan penglihatannya, karena orang yang rusak penglihatan dan pendengarannya tidak akan dapat menjalankan fungsi dan kompetensinya sebagai hakim. Mata dan telinga merupakan alat yang vital bagi hakim untuk melihat, mengamati, dan mendengar berbagai alat bukti dan peristiwa yang terjadi selama persidangan. Persyaratan-persyaratan diatas diperlukan guna terselenggaranya peradilan yang berwibawa, objektif, dan berorientasi kepada tegaknya supermasi hukum, sehingga akan melahirkan kepastian hukum dalam Syari’at Islam.

Terdapat permasalahan yang cukup serius, yaitu apakah dalam Islam seorang hakim mesti seorang laki-laki ? Mayoritas ulama Salaf mencantumkan laki-laki sebagai salah satu syarat hakim. Alasan mereka adalah; pertama, karena wanita dipandang kurang cakap untuk bertindak (melakukan perbuatan hukum), kedua, wanita dianggap kurang dapat menggunakan akal (rasio dan logika).

Permasalahan ini menjadi pembicaraan yang cukup hangat pada kurun waktu terakhir ini oleh para ulama kontemporer dan kalangan pejuang keadilan dan kesetaraan jender. Dalam kenyataannya, mereka didukung oleh realitas bahwa para wanita belakangan ini sudah cukup mendapatkan pendidikan sehingga tidak lagi terkungkung dalam kebodohan. Ajaran Islam pun sesungguhnya tidak menempatkan wanita dalam posisi sub-ordinat dibanding laki-laki, melainkan setara. Dasar pemikiran ini memberi kesempatan kepada wanita untuk menjabat sebagai hakim, sehingga di era post modern ini tidak sedikit wanita di Indonesia yang menjabat sebagai hakim.

Dalam sejarah perkembangannya, perlu juga dicatat, terjadi beberapa perkembangan fungsi, tugas, kedudukan dan kompetensi hakim di dunia Islam. Di awal perkembangan Islam, hakim memiliki tugas yang terbatas karena adanya Nabi saw. dan sahabat yang kredibilitas dan kapabelitasnya tidak diragukan lagi. Kemudian di Andalusia, pada masa dinasti Umaiyah, ditemukan hakim yang memiliki kompetensi khusus untuk bidang-bidang tertentu saja. Misalnya ada hakim yang menangani bidang perkawinan saja, ada hakim yang menangani masalah perdata, hakim masalah pidana, dan sebagainya. 15


3. Kode Etik Profesi Hakim dalam Islam

Setiap langkah perbuatan manusia sebagai aktualisasi diri yang disalurkan melalui berbagai peran di masyarakat, termasuk profesi hakim, sesuai dengan kecenderungan setiap individu harus didasarkan pada ‘niat ibadah’ dan atau pengabdian kepada-Nya. Hal ini akan membawa konsekuensi penyadaran terhadap akhlaq, bahwa apa saja yang dilakukan oleh setiap manusia selalu mendapat pengawasan atau monitoring dan penilaian Alloh Swt.

Al-akhlaq 16 bentuk jamak dari al-khulq, artinya, kebiasaan, perangai, tabi’at dan agama. Menurut Jamil Saliba, seorang ahli bahasa arab kontemporer dari Suriah, mengatakan bahwa akhlaq itu ada yang baik dan ada yang buruk. Akhlaq yang baik disebut “Adab”, dan kata Adab digunakan dalam arti “Etiket”, yaitu tata cara sopan santun dalam masyarakat guna memelihara hubungan baik antar mereka. Sebagian orang menyebutkan bahwa akhlaq merupakan pembawaan manusia sejak lahir. Orang bertingkah laku baik atau buruk karena pembawaannya sejak lahir, karenanya akhlaq tak bisa diubah melalui pendidikan atau latihan. Pandangan ini dipegangi oleh salah satu aliran teologi Islam, yaitu kaum Jabariah.

____________________
15. Muhammad Salam Madkur, Loc. cit., hlm. 47
16. Ensiklopedi Islam II, Loc. cit., hlm. 73-74
Tetapi jika pandangan ini dicermati agaknya akan berlawanan atas konsep diutusnya Rosululloh Saw yang diperintahkan untuk memperbaiki dan menyempurnakan akhlaq masyarakat (HR. Malik). Hadits ini menunjukkan bahwa akhlaq bukanlah sesuatu yang tak mungkin diubah atau diperbaiki. Ibn Maskawih mengkritik yang menyebutkan akhlaq tak bisa diubah, dan menganggap bahwa pandangan tersebut sebagai sesuatu yang negatip dan kontra produktip. Kenapa ? Karena akan membuat segala bentuk norma dan bimbingan jadi tertolak. Orang jadi tunduk pada bentuk kekejaman, kedzaliman, dan anak-anak jadi liar karena tumbuh-berkembang tanpa nasehat dan pendidikan. 17

Bertolak dari akhlaq tersebut, bagaimana dengan etika profesi Hakim dalam menjalankan fungsinya ? Secara etimologi, etika seringkali dikaitkan dengan suatu tindakan yang baik dan atau berhubungan dengan tingkah laku manusia dalam pengambilan keputusan moral. Etika berasal dari bahasa Yunani, Ethos, dan etika diformulasikan sebagai sikap, kebiasaan, kepercayaan dari seseorang atau kelompok dengan seorang atau kelompok yang lain. Artinya, etika merupakan sistem nilai dan norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah laku.

Magnis Suseno, 18 berpendapat bahwa etika atau filsafat moral adalah keseluruhan norma atau penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupannya. Sedangkan profesi didefinisikan sebagai suatu pekerjaan/jabatan yang memerlukan pendidikan atau latihan yang maju dan melibatkan keahlian intelektual. Profesi adalah pekerjaan tetap dalam bidang tertentu berdasarkan keahlian khusus yang dilakukan secara bertanggungjawab dengan tujuan memperoleh penghasilan.

_____________________________
17. Said Munji, “ Membangun Kebugaran Akhlaq dan Etika Profesi Hakim dalam Perspektik Islam “, www.google.com , yang diakses penulis pada tanggal 10 Maret 2010.

18. Magnis Suseno. “ Etika Jawa “, 1991, hlm.6

Kaidah etika profesi adalah sesuatu yang universal sifatnya, artinya berlaku di mana-mana baik dulu maupun sekarang karena mengatur nilai-nilai moral, yaitu perilaku baik yang harus selalu dipegang teguh oleh seorang yang berprofesi sebagai Hakim dalam menjalankan tugasnya. Ada empat macam etika profesi bagi seorang Hakim seperti dikemukakan Socrates, yaitu; Pertama, mendengar dengan sopan (to hear courteously), Kedua, menjawab dengan arif dan bijaksana (to answer wisly), Ketiga, mempertimbangkan dan tidak terpengaruh (to consider soberly) dan Keempat, memutus tak berat sebelah ( to diccide impartially). 19

Tetapi lebih menarik lagi jika kita melihat sejarah Islam, 20 yaitu risalah Umar bin Khothob kepada Musa al-‘Asy’ary, seorang hakim di Kufah yang mengungkap etika profesi hakim dengan menyebutkan antara lain; Pertama, mempersamakan kedudukan semua pihak dalam majelis, baik pandangan, sikap dan putusannya sehingga semua orang mendapat ‘rasa keadilan’ dari seorang hakim. Kedua, upaya mendamaikan selalu diusahakan terhadap mereka yang bersengketa, kecuali (kompromi) perdamaian untuk menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.

Apabila mencermati hal-hal di atas menjadi seorang yang berpredikat sebagai hakim itu ternyata bukanlah pekerjaan yang mudah. Profesi hakim menuntut adanya beberapa persyaratan yang harus ada dan dipenuhi, 21 yaitu : bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehat jasmani dan rohani, berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela. Hampir senada dengan itu, Ibn Taymiyah, 22 menyebutkan bahwa seorang hakim haruslah dipenuhi empat hal, yaitu : al-qowiyu fil’ilmi (memiliki wawasan keilmuan dan intelektual yang memadai), al-qowiyu fil’amali (memiliki kesalehan sosial), al-qowiyu fil irodah (memiliki motivasi dan semangat yang tinggi), dan al-qowiyu fil jasadi (memliki fisik yang prima).
___________________
19. Said Munji, Op Cit.
20. Ibid.
21. Dalam Undang-Undang Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan TUN.
22. Ibn Taymiyah, “ al-Amr bi al-Maruf wa an-Nahy an al-Munkar “,Beirut, Dar al-Kitab al-Jadid, 1976, hlm. 39
Penolakan Imam Abu Hanifah untuk memangku jabatan hakim mengindikasikan bahwa jabatan itu merupakan tanggung jawab yang besar. Seorang hakim harus memiliki nilai-nilai etis yang akan mendukung profesinya dan mununjukkan wibawa hukum di mata masyarakat, untuk kemudian dipertanggungjawabkan kepada Alloh Swt, negara, masyarakat dan kepada dirinya sendiri. Sehingga penegakan supremasi dan kepastian hukum tidak hanya sebatas angan-angan dan retorika belaka.

Oleh karena Hakim dianggap sebagai pemegang ujung tombak dalam memberikan keadilan, maka standar dasar dalam memberikan keadilan oleh hakim adalah, para hakim harus berpegang pada Kode Etik sebagai pedoman perilaku hakim. Ada Sepuluh Prinsip “Pedoman Perilaku Hakim Indonesia “ (Code of Conduct), yaitu : (1) Berperilaku Adil ; (2) Jujur ; (3) Arif dan Bijaksana ; (4) Bersikap Mandiri ; (5) Berintegritas Tinggi ; (6) Bertanggungjawab ; (7) Menjunjung Tinggi Harga Diri ; (8) Berdisiplin Tinggi ; (9) Rendah Hati, dan (10) Bersikap Profesional.

Dalam Islam 23 aplikasi keadilan prosedural seperti yang dikemukakan oleh Ali Bin Abu Thalib pada saat ia berperkara di hadapan hakim Syuraih. Ali menegur hakim tersebut agar melakukan tindakan sebagai berikut di hadapan pengadilan, yaitu : (1) Hendaklah samakan (para pihak) masuk mereka ke dalam majelis, jangan ada yang didahulukan, artinya para pihak yang berperkara mendapat perlakuan yang sama saat dihadirkan di pengadilan. (2) Hendaklah sama duduk mereka di hadapan hakim, (3) Hendaklah Hakim menghadapi mereka dengan sikap yang sama, (4) Hendaklah keterangan-keterangan mereka sama didengarkan dan diperhatikan, (5) Ketika menjatuhkan hukum hendaklah keduanya sama mendengar.

___________________
23. Sukarno Aburaera, “ Menakar Keadilan Dalam Hukum”, Varia Peradilan, Majalah Hukum IKAHI No. 260, Juli, 2007, hlm. 51


Dalam Islam telah digariskan aturan-aturan, prinsip-prinsip, dan kode etik yang dapat menunjang pelaksanaan tugas hakim dalam memproses perkara. Dengan demikian, persoalan yang diselesaikannya dapat menjadi landasan yuridis bagi para pihak yang berperkara. Selanjutnya, eksekusi putusan pengadilan terhadap para pihak yang berperkara dapat berjalan sebagaimana mestinya. Diantara prinsip yang harus diperhatikan adalah bahwa hakim harus betul-betul memahami hakikat persoalan yang dipersengketakan, termasuk dialog dan peristiwa yang terjadi di dalam, dan selama persidangan. Hakim harus mendengarkan kedua belah pihak, tidak boleh satu pihak saja. Selanjutnya hakim harus mengupayakan perdamaian diantara pihak yang berperkara, 24 karena penyelesaian secara damai lebih utama dan dapat meminimalisir dan mengeliminir timbulnya dendam.
Selanjutnya, hakim tidak dibenarkan melakukan persidangan jika kondisinya tidak kondusif, seperti dalam keadaan pikiran yang kacau atau gelisah, dalam keadaan marah, lapar, haus, dan kekenyangan. Dalam memperlakukan para pihak harus adil dan sama, sehingga seorang hakim harus duduk ditengah-tengah antara kedua belah pihak, tidak boleh duduk berdampingan, atau di salah satu sisi salah satu pihak. 25 Meskipun hal ini terkesan simbolistik dan formalistik, namun ia mengandung filosofis yang cukup dalam dan disandarkan secara tekstual kepada Hadits Rasululloh Saw. Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Abu Bakrah, sabda Nabi Saw : “ Janganlah hakim menghukum antara dua pihak ketika ia sedang marah “ ( HSR. Bukhori - Muslim dan Muttafaq Alaih )
Hal-hal tersebut diatas, telah dipahami secara menyeluruh di kalangan praktisi hukum (Qadhi). Secara umum, hampir semua prinsip di atas mendekati “penyelesaian”, sehingga yang harus mendapatkan perhatian mendalam untuk masa yang akan datang secara global, meliputi dua aspek, yaitu aspek moral dan aspek intelektual.
____________________
24. Ali Ahmad al-Jurjawi, “ Hikmah al-Tasyriwa Falsafatuhu II ”, Beirut, Dar al-Fikr, tth, hlm. 177
25. Ibid, hlm. 177-182
Persoalan moral erat kaitannya dengan kepribadian seorang hakim yang menuntut kemampuannya dalam menyelesaikan perkara secara objektif, sedangkan aspek intelektualitas berkaitan dengan kapabelitas seorang hakim yang menuntut keahlian dan kapasitas keilmuan yang dimilikinya. Secara illustratif, 26 aspek moral dipolarisasi menjadi beberapa bagian, yaitu seorang hakim hendaklah seorang muslim yang adil, takwa, jujur, bijaksana, berwibawa, dan berbudi luhur. Namun yang terpenting, dan banyak ditemukan – secara kasuistik – kemampuan seorang hakim untuk melihat persoalan secara objektif, kemudian menetapkan hukum secara adil, terlepas dari intervensi pihak lain yang akan menguntungkan individu atau kelompok tertentu saja, termasuk harus bebas secara politis dari intervensi penguasa sebagai lembaga eksekutif.

Dalam realitas keseharian, ada seorang hakim yang telah melaksanakan fungsinya secara baik dan menetapkan putusan secara adil dan benar, namun masih tetap saja mendapat gunjingan, makian, bahkan ancaman, intimidasi, dan teror dari pihak yang merasa dirugikan. Apalagi jika hakim tersebut memberikan keputusan yang salah dan keliru, baik karena pengaruh dan intervensi pihak lain maupun karena keteledoran yang diluar kesengajaannya.

Dari sudut pandang inilah dipahami banyaknya kalangan intelektual Islam, seperti Ibn Taymiyah, sedemikian tegas dan kuat berpegang pada prinsip keadilan sebagai ideatum tatanan sosial yang akan menjamin kekokohan dan kelangsungan suatu komunitas. 27

Di samping aspek moral, seorang hakim juga dituntut memiliki kapasitas dan kapabelitas intelektual yang, terutama sekali, dibutuhkan dalam lapangan ijtihad. 28 Secara umum dipahami bahwa ijtihad itu merupakan usaha pengerahan
_____________________
26. Dirjen Binbaga Islam, “Pedoman Pengawasan Peradilan Agama”, Jakarta, Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama, 1986, hlm. 44-45
27. Lebih jauh Ibn Taymiyah berpandangan “sesungguhnya Allah Swt akan menegakkan negeri yang adil meskipun kafir dan tidak akan menegakkan negeri yang dzalim meskipun Islam,” dan “dunia akan bertahan bersama keadilan dan kekafiran, dan tidak akan bertahan lama dalam kedzaliman dan Islam.” Ibn Taymiyah, “ al-Amr bi al-Maruf wa an-Nahy an al-Munkar “,Beirut, Dar al-Kitab al-Jadid, 1976, hlm. 40
28. Ijtihad secara etimologis dipahami sebagai pengerahan daya dan kemampuan seseorang. Ibn Manzur, “ Lisan al-Arab ”, Beirut:, Dar al-Shadir, tth, hlm. 133.
pikiran secara optimal dari orang yang memiliki kompetensi untuk itu dalam menemukan suatu kebenaran dari sumbernya dalam berbagai bidang keilmuan Islam. Khususnya dalam bidang Fikih, ijtihad diartikan sebagai usaha pikiran secara optimal dari ahlinya, baik dalam menyimpulkan Hukum Fikih dari Al-Qur’an dan Sunnah maupun dalam penerapannya. 29 Dari definisi tersebut terlihat bahwa dalam lapangan Fikih terdapat dua bentuk ijtihad, yaitu ijtihad untuk menyimpulkan hukum dari sumbernya dan ijtihad dalam penerapan hukum. Ijtihad dalam bentuk pertama disebut Ijtihad Istinbathi, sedangkan dalam bentuk kedua disebut Ijtihad Tathbiqi.

Lapangan Ijtihad Istinbathi adalah al-Quran dan Sunnah yang dijadikan sumber oleh para hakim dan juris Islam lainnya dalam membuat rumusan hukum. Pada periode awal Islam ijtihad seperti ini diperlukan, disamping Ijtihad Tathbiqi, yang merupakan persyaratan bagi seseorang yang akan diangkat menjadi hakim. Dalam era modern, bahkan post-modern ini, ijtihad istinbathi tidak banyak terkait dengan tugas para hakim. Hal ini disebabkan karena aturan-aturan hukum telah terkodifikasi secara baik dalam kitab-kitab fikih dan kompilasi hukum Islam, seperti di Indonesia. Meski demikian, hal tersebut tidak menafikan pentingnya kapasitas dan kapabelitas intelektual seorang hakim.

Kemampuan intelektual seorang hakim untuk masa sekarang lebih banyak tercurah pada Ijtihad Tathbiqi. Lapangan ijtihad ini adalah tempat penerapan hukum, yaitu manusia dengan segala ikhwalnya yang selalu berubah dan berkembang. Seiring dengan perkembangan manusia, Ijtihad Tathbiqi tidak pernah terputus selama umat Islam bertekad untuk mengimplementasikan ajaran Islam dalam kehidupan nyata. Untuk itu Ijtihad Tathbiqi berkaitan erat dengan tugas para hakim, karena peran hakim sebagai penegak hukum tidak cukup hanya dengan penguasaan (materi) hukum belaka, tetapi juga memerlukan kemampuan untuk menerapkannya secara benar dan proporsional.
_____________________
29. Muhammad Abu Zahrah, “Ushul al-Fiqh “, Beirut, Dar al-Fikr al-Arabiyah, tth, hlm. 379. Lihat juga Amir Syarifuddin, “ Ushul Fiqh II “, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1999, hlm. 266
B. Praktek Peradilan Menurut Perspektif Syari’at Islam


1. Sikap Hakim dalam Memutus Perkara

Seorang hakim yang memeriksa dan mengadili suatu perkara, sudah barang tentu sebelum mengambil suatu putusan hukum akan mempertimbangkan secara benar dan adil sehingga putusan yang nantinya akan diambil oleh Hakim didasarkan pada nilai-nilai keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa serta senantiasa berusaha dengan semaksimal mungkin untuk tidak mencederai perasaan keadilan masyarakat.
Adapun titik kulminasi dari sikap hakim dalam penguasaan hukum itu ada dalam “ Mahkota Hakim “, 30 yaitu dalam suatu putusan hakim yang benar, jujur, adil, mumpuni, dan sempurna. Untuk menguji hal tersebut, di kalangan para hakim dikenal ada istilah “ Empat Kriteria Dasar Pertanyaan “ ( The Four Way Test ), yaitu :
a. Sudah benarkan putusanku ini ?
b. Sudah jujurkah aku dalam mengambil putusan ini ?
c. Sudah adilkah putusanku ini ?
d. Bermanfaatkah putusanku ini ?

Namun, dalam prakteknya karena seorang hakim itu ternyata hanya manusia biasa yang tidak luput dari kelalaian, kekeliruan / kekhilafan ( rechterlijk dwaling ), rasa jenuh oleh rutinitas, kekuranghati-hatian, dan kesalahan. Di dalam putusan hakim itu ada saja aspek-aspek tertentu yang luput dari perhatian hakim.

Pada hakekatnya dengan bertitik tolak kepada ketentuan Pasal 5 ayat ( 1 ) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman telah menyebutkan secara tegas, bahwa : Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Maka tugas pokok hakim untuk mengadili perkara itu berdimensi untuk menegakkan hukum dan keadilan. Dalam konteks hakim untuk menegakkan keadilan ini, berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman telah ditentukan secara
________________________
30. Goenawan Wanaradja, “ Sikap Hakim Dalam Memutus Suatu Perkara “, Modus Aceh, Tabloid Hukum dan Politik, Edisi 18/ TH-III/18-24 Juli 2006, Banda Aceh, hlm. 13
tegas, bahwa : Peradilan dilakukan “ DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA “. Konsekuensi logis dari aspek ini, maka seorang hakim dalam memutus suatu perkara pidana tidak boleh hanya bersandar pada undang-undang saja, tetapi harus juga sesuai dengan hati nuraninya yang berketuhanan. Hakim sebagai penegak hukum, selain harus bersandar kepada undang-undang harus pula bertitik tolak kepada norma-norma hukum yang hidup, tumbuh, dan berkembang dalam masyarakat, sehingga putusannya itu akan sesuai dengan perasaan keadilan masyarakat.

Peran seorang hakim ini sangat essensial sifatnya, 31 karena harus melengkapi ketentuan-ketentuan hukum tertulis atau perundang-undangan dengan cara “ Diskresi “ melalui Pembentukan Hukum (Rechtvorming), Penemuan Hukum (Rechtvinding), dan Penciptaan Hukum (Rechtsscepping). Dengan kata lain, hakim melalui yurisprudensi mempunyai fungsi sebagai pembuat hukum baru (creation of new law). Bagi seorang hakim, dikenal terminologi “ Judgement Call “, artinya bahwa suatu keputusan yang dibuat oleh seseorang dengan menggunakan pengetahuan dan pendapatnya (a decition someone has to make using their own ideas and opinion), sehinga dengan demikian hakim itu harus menentukan satu sikap diantara dua alternatif pertimbangan hukum yang ada dalam pikirannya. Hal seperti ini dalam Syari’at Islam disebut dengan “ Ijtihad “, yaitu ijtihad untuk menyimpulkan hukum dari sumbernya dan ijtihad dalam penerapan hukumnya, yang disebut Ijtihad Istinbathi dan Ijtihad Tathbiqi.

Di tangan hakimlah terletak nasib manusia yang berperkara, sengsara atau atau selamatnya mereka, oleh karena itu seorang hakim harus bersungguh-sungguh mencari kebenaran agar dapat menghukum dengan seadil-adilnya. Allah berfirman dalam QS. An-Nisaa ayat 58 : “Dan apabila kamu menghukum antara manusia, supaya kamu menghukum dengan seadil-adilnya ”.

____________________
31. Ibid.
Salah satu syarat bagi orang yang diangkat menjadi hakim adalah memiliki kemampuan berijtihad dan bersungguh-sungguh mencari hak dengan berpedoman kepada Kitab Alloh dan Sunnah Nabinya. Diriwayatkan dari Amru bin Ash, r.a, sabda Nabi Saw : “ Apabila seorang hakim memutuskan perkara dengan cara berijtihad ( bersunguh-sungguh ), kemudian benar, maka ia mendapat dua pahala, dan apabila ia memutuskan perkara dengan cara berijtihad, tapi salah, maka ia mendapat satu pahala “ ( HSR. Bukhori – Muslim dan Muttafaq Alaih )
Keterangan lainnya : dari Haris bin Amru, dari sahabat-sahabat Muaz, bahwa Rasululloh Saw ketika mengutus Muaz ke negeri Yaman beliau bertanya : “ Bagaimanakah caranya engkau menghukum (mengadili) ? Muaz menjawab : Aku menghukum menurut apa yang ada dalam Kitab Allah. Rasululloh bertanya lagi : Jika tidak ada dalam Kitab Alloh ? Muaz menjawab : Dengan Sunnah Rosul. Rasululloh Saw bertanya pula : Jika tidak ada dalam Sunnah Rosul ? Ia menjawab : Aku berijtihad ( berusaha menemukan sedapat-dapatnya) menurut pikiranku. Rasululloh Saw menjawab : Alhamdulillah (segala pujian bagi Alloh) yang telah memberi taufik akan utusan Rasululloh Saw. (Muttafaq Alaih)

Dengan demikian nyatalah bahwa hukum yang wajib dilakukan terlebih dahulu adalah menurut yang tertulis dalam Al-Qur’an. Jika tidak dapat dalam Al-Qur’an dicari dalam Al-Hadits, jika tidak ditemukan dalam Al-Hadits, dicari Ilat atau persamaannya, inilah yang disebut dengan ijtihad. Jika tidak ada dalam Al-Qur’an tetapi mempunyai ikatan atau persamaan dengan perkara lain atau hukumnya ada dalam Al-Qur’an dan Hadits, maka hukumnya disamakan inilah yang disebut “Qiyas” (kesepakatan para ulama), sehingga yang melakukan harus pandai berijtihad menurut syar’i.

Secara filosofis menurut hemat penulis, bahwa dialog Rasululloh Saw dengan Muadz di atas tidak cukup dipahami sebagai dialog pimpinan dan bawahan, tetapi itu menunjukkan sebuah isyarat atau sinyal kuat seperti yang kita kenal sekarang ini dengan istilah “ Fit and Propertest ” (uji kelayakan dan kepatutan) yang dilakukan Rasulullah Saw terhadap Muadz. Hal ini sekaligus membuktikan sejarah kepemimpinan dalam Islam bahwa setiap calon pemipin yang merupakan “jabatan publik” harus mempunyai kualifikasi yang memadai.

Sikap hakim 32 yang dilambangkan dalam kartika, cakra, candra, sari, dan tirta merupakan cerminan sikap hakim yang senantiasa harus berlandaskan pada prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, adil, arif, bijaksana, berwibawa, berbudi luhur, dan jujur. Seiring dengan keluhuran tugas dan luasnya kewenangan dalam menegakkan hukum dan keadilan, tidak menutup kemungkinan sering muncul juga tantangan dan godaan bagi para hakim yang datangnya dari berbagai lapisan masyarakat, baik dalam menjalankan tugas profesinya maupun dalam melakukan hubungan sosial kemasyarakatan di luar kedinasan. Namun demikian, untuk menjamin terciptanya suatu pengadilan yang mandiri dan tidak memihak, diperlukan dukungan sosial yang bertanggung jawab. Selain itu, 33 diperlukan pula pemenuhan kecukupan sarana dan prasarana bagi hakim baik selaku penegak hukum maupun sebagai warga masyarakat. Untuk itu, menjadi tugas dan tanggung jawab masyarakat dan negara untuk memberi jaminan keamanan bagi hakim dan pengadilan, termasuk kecukupan dalam hal kesejahteraan, kelayakan fasilitas dan anggaran. Namun walaupun hal demikian belum sepenuhnya terwujud, hal tersebut tidak dapat dijadikan suatu alsan bagi hakim untuk tidak berpegang teguh pada kemurnian pelaksanaan tugas dan tanggung jawab sebagai penegak hukum dan keadilan yang memberi kepuasan kepada para pencari keadilan dan masyarakat.

Kesopanan ( Adab ) seorang Hakim
Kedudukan hakim adalah suatu kedudukan yang mulia dan tinggi, oleh karena itu hakim hendaklah mempunyai budi pekerti yang sebaik-baiknya, seperti di bawah ini : 34

_____________________
32. Goenawan Wanaradja, “ Hukum, Hakim, dan Keadilan “, Varia Peradilan, Majalah Hukum IKAHI, Tahun XII No. 142, Juli 1997, Jakarta, hlm. 120
33. Ibid
34. Sulaiman Rasyid “Piqih Islam “., Attahiriyah, Jakarta, 1976, hlm. 459-460
1. Memperlakukan yang sama terhadap orang-orang yang berperkara dalam segala hal ;
2. Mendamaikan para pihak yang bersengketa ;
3. Jangan memutus perkara dalam keadaan sedang marah, lapar dan haus, susah dan gembira, dan sedang sakit ;
Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Abu Bakrah, sabda Nabi Saw : “ Janganlah hakim menghukum antara dua pihak ketika ia sedang marah “ ( HSR. Bukhori - Muslim dan Muttafaq Alaih )
4. Tidak boleh menerima suatu pemberian dari orang yang sedang berperkara (suap) ;
“ Dan jangan sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan bathil. Dan janganlah membawa urusan harta itu kepada hakim sebagai umpan untuk - Menyuap Hakim - dengan maksud supaya kamu memakan sebagian harta orang lain dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui “ ( Q.S. Al-Baqoroh ayat 188 ).
Diriwayatkan dari Abu Hurariroh, r.a, sabda Nabi Saw : “ Dikutuk Alloh orang yang menyuap dan yang menerima suap dalam masalah hukum ( HSR Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi )
5. Apabila telah duduk dua orang yang berperkara, hakim menyuruh terlebih dahulu orang yang menggugat untuk menerangkan gugatannya, kemudian giliran orang yang digugat untuk membela dirinya. Jika tidak diajukan saksi, hakim tidak boleh menyumpah Tergugat sebelum diminta oleh orang yang menggugat.
Diriwayatkan dari Ali, r.a, sabda Nabi Saw : “ Apabila ada dua orang yang meminta keputusan hukum kepadamu, maka janganlah engkau memutuskan untuk orang yang pertama sebelum engkau mendengar keterangan orang yang kedua, agar engkau mengetahui bagaimana harus memutuskan hukum “ ( HSR. Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi )
6. Hakim tidak boleh memberi tahu tentang cara mendakwa dan membela diri pada kedua orang yang sedang berperkara ;


2. Pembuktian dengan Saksi dan Sumpah

Orang yang menggugat harus mengajukan saksi yang cukup, jika hal ini diterima oleh hakim, maka ia memenangkan perkaranya. Namun, apabila dalam perkara tersebut tidak diajukan saksi, maka hakim harus memberikan hak kepada tergugat untuk bersumpah, jika tergugat sanggup bersumpah, maka dia lah yang menang perkaranya, tapi sebaliknya jika tergugat tidak sanggup bersumpah, maka hakim memerintahkan penggugat untuk bersumpah, dan jika penggugat telah bersumpah, maka penggugat dianggap sebagai pemenang dalam perkara tersebut. Sumpah penggugat ini disebut “ Sumpah Mardud “ atau sumpah yang dikembalikan. 35
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a : “Bahwa Rosululloh Saw memutuskan perkara atas dasar sumpah dan saksi “ ( HSR. Muslim ).
Sabda Nabi Saw : “ Bukti diwajibkan atas Penggugat dan Sumpah diwajibkan atas orang yang ingkar “ ( HSR. Baihaqi ).
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a, sabda Nabi Saw : “ Bahwa Sumpah itu harus diucapkan oleh pihak Tergugat atau Terdakwa “ ( HSR. Bukhori – Muslim ).
“ Bahwa Rosululloh Saw telah mengembalikan sumpah kepada orang yang menggugat “ ( HR. Baihaqi dan Duruquthni ).

Kesaksian Dalam Perkara Pidana yang Merupakan Hak Alloh
1. Hak (hukuman) terhadap orang yang berzina, harus ada kesaksian dari empat orang laki-laki ; Dalam QS. An-Nisaa ayat 15 disebutkan secara tegas : “ Di antara erempuan-perempuan yang melakukan perbuatan keji (berzina), maka untuk menjado saksi atas perbuatan mereka, dengan empat orang saksi laki-laki dari kamu “.
2. Hak (hukuman) terhadap orang yang melakukan mabuk arak (khamer), membunuh, mencuri dan tindak pidna lainnya, cukup dengan kesaksian dari dua orang saksi laki-laki ; Dalam QS. Ath-Thalaq ayat 2 disebutkan : “ Hendaklah kamu persaksikan yang demikian ini kepada dua orang saksi yang adil di antara kamu “.
Kesaksian Dalam Perkara Perdata yang Merupakan Hak Manusia
1. Hak yang bersangkutan dengan harta benda, seperti hutang-piutang, jual beli, dan hukum keperdataan lainnya yang menyangkut tentang harta benda, harus ada kesaksian dari dua orang saksi laki-laki, atau cukup dengan satu orang saksi laki-laki dan dua orang saksi perempuan, atau cukup dengan satu orang saksi laki-laki ditambah dengan sumpah dari penggugat ;
35. Ibid.
Dalam QS. Al-Baqoroh ayat 282 disebutkan secara tegas : “ Persaksikanlah olehmu dua orang saksi laki-laki di antara kamu, sekiranya dua orang laki-laki tidak ada, cukuplah seorang laki-laki dan dua orang perempuan “. Kemudian Sabda Nabi Saw : “ Sesungguhnya Rosululloh Saw telah menghukum dengan seorang saksi laki-laki dan dengan sumpah “ ( HSR. Muslim ) ;
2. Hak yang bukan merupakan harta benda yang biasa dilihat oleh laki-laki, seperti perkawinan, perceraian, kematian, wasiat, dan hukum keperdataan lainnya yang bukan menyangkut tentang harta benda, harus ada kesaksian dari dua orang saksi laki-laki. 36

Saksi Yang Dilarang, Saksi Palsu, dan Sumpah Palsu
Diriwayatkan dari Abdullah Ibnu Amar, r.a, sabda Nabi Saw : “ Tidak sah persaksian seorang laki-laki dan perempuan pengkhianat, persaksian orang yang menyimpan rasa dengki terhadap saudaranya, dan tidak sah pula persaksian seorang pembantu rumah tangga terhadap keluarga majikannya tersebut “ ( HR. Ahmad dan Abu Dawud ).
Diriwayatkan dari Abu Bakrah, r.a, sabda Nabi Saw : “ Kesaksian Palsu itu termasuk golongan di antara dosa-dosa yang paling besar “ ( Muttafaq Alaih )
Diriwayatkan dari Abu Umamah Al-Haritsi, r.a, sabda Nabi Saw : “ Barangsiapa mengambil hak milik seorang muslim dengan sumpahnya, maka Alloh mengharuskan dirinya masuk neraka dan mengharamkan baginya surga “ ( HSR. Muslim ).
Diriwayatkan dari Al-Asy’ats Ibnu Qais, r.a, sabda Nabi Saw : “ Barangsiapa bersumpah untuk mengambil harta milik seorang muslim, padahal ia berdusta dalam sumpah itu, ia akan menemui Alloh dalam keadaan murka “ ( Muttafaq Alaih ).
Diriwayatkan dari Jabir, sabda Nabi Saw : “ Barangsiapa bersumpah di atas mimbarku ini dengan sumpah palsu, maka ia telah menyediakan tempat duduknya dari api neraka “ ( HSR. Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa’i ).
Diriwayatkan dari Abu Musa, r.a, sabda Nabi Saw : “ Apabila ada dua orang yang bersengketa tapi tidak seorang pun di antara mereka yang memiliki bukti, maka putuskanlah keduanya untuk mendapatkan masing-masing setengah bagian “ ( HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa’i ).

__________________
36. Ibid.

Berdasarkan Hukum Islam, seorang hakim harus mengundurkan diri dari persidangan apabila memiliki kepentingan atau terikat dengan keluarga sedarah atau semanda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami istri meskipun telah bercerai, hal ini di maksudkan untuk menjaga kemurnian dan independensi peradilan agar seorang hakim memutuskan suatu perkara tidak secara subjektif. Karena dikhawatirkan seorang hakim tidak dapat bertindak adil terhadap pihak-pihak yang menjadi keluarganya itu.

Dari paparan tersebut di atas penulis dapat menyimpulkan, bahwa pembuktian dalam Hukum Islam itu sangat sederhana, hanya didasarkan atas bukti saksi dan sumpah saja, dengan asumsi bahwa semua orang yang menghadap hakim untuk menyelesaikan perkaranya itu adalah orang-orang yang bertujuan untuk menegakkan Syari’at Islam. Dengan demikian, apa yang telah menjadi putusan hakim maka itulah hukumnya yang benar. Pertanyaannya, apakah hal seperti ini bisa diterapkan dalam Sistem Peradilan Indonesia ? Menurut hemat penulis, hal seperti ini pada saat sekarang tidak mungkin diterapkan mengingat penegakan hukum di Indonesia sedang dalam keadaan karut-marut dan kesadaran hukum masyarakatnya sangat rendah sekali, sehingga pembuktian yang sederhana seperti tersebut di atas tidak memungkinkan diterapkan di Indonesia.

Dalam Hukum Positif Indonesia, mengenal juga saksi dan sumpah tersebut, namun dalam prakteknya sulit untuk mengatakan bahwa keterangan saksi itu adalah benar atau sumpah yang dilakukan oleh pihak-pihak itu juga benar, karena masalah kesaksian palsu dan sumpah palsu ini bukan merupakan sesuatu yang langka, tapi sering dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab, sehingga mengaburkan masalah kebenaran itu sendiri yang membuat seorang hakim harus bekerja ektra keras dalam membuktikan perkara yang bersangkutan. Selain itu masyarakat Indonesia bersifat heterogen dalam menganut suatu agama, dalam arti tidak semuanya beragama Islam. Lain halnya dengan masyarakat Aceh yang mayoritas masyarakatnya menghendaki diberlakukannya Syari’at Islam.
3. Penegakan Syari’at Islam
Kita dapat melihat suatu keadilan dalam penegakan hukum yang dilakukan oleh hakim melalui konsep hukum Islam. Diriwayatkan dari Aisyah, sabda Nabi Saw : “ Hakim yang adil akan dipanggil pada hari kiamat, lalu ia mendapat perhitungan yang melelahkan, sehingga ia berkeinginan alangkah baiknya jika seumur hidupnya ia tidak pernah memutuskan hukum antara dua pihak “ (HR. Ibnu Hibban). Profesi hakim dalam ajaran Islam tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan Alloh bagi manusia. Dalam QS. An-Nisaa ayat 105 menyatakan : “ Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu….. “.
Bahkan dalam ayat ( QS. Al-Maidah ayat 49 ) : “ Alloh menyatakan bahwa siapapun yang telah memutuskan perkara bukan berdasarkan aturan-aturan Allah, maka orang tersebut dikategorikan fasik dan Alloh menyatakan akan menimpakan musibah kepada yang bersangkutan “.

Mengkritisi kondisi penegakan hukum (Syari’at Islam), saat ini yang tengah dilanda berbagai masalah yang tidak menguntungkan baik kritikan-kritikan pedas, hujatan-hujatan baik terhadap sistem peradilan maupun terhadap ‘oknum’ yang dipandang telah meninggalkan kaidah penegakkan keadilan dan lain-lain yang serba tidak mengenakkan kita. Oleh sebab itu menurut hemat penulis perlu ada sebuah gerakan untuk membangun manajemen akhlaq mengikuti sifat-sifat Nabi Saw, yang dimulai dengan internalisasi untuk berlaku jujur (al-amanah), bersikap adil (al-‘adalah), komitmen terhadap kebenaran (ash-shidiq), memiliki kecerdasan yang memadai (al-fathonah), memiliki rasa tanggungjawab (al-mas’uliyah) dan konsisten (al-istiqomah). Sifat-sifat tersebut menunjukkan profil hakim yang “Profesional ”. Wallahu ‘a’lam bishawab,

Sebenarnya jika Indonesia berkemauan untuk menerapkan dan menegakkan Syari’at Islam dalam sistem peradilannya, bukan suatu hal yang mustahil, sebagai bukti di salah satu provinsinya, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Syari’at Islam telah diberlakukan dan ditegakkan secara “Kaffah “. 37 Hukum yang berlandaskan Syaria’at Islam ini, karena sudah merupakan sebagai Hukum Positif bagi masyarakat NAD yang beragama Islam, yaitu berdasarkan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, apabila masyarakat melakukan pelanggaran Syari’at Islam atau pelanggaran-pelanggaran hukum lainnya, seperti melakukan Perbuatan Jinayah (Tindak Pidana), maka bagi masyarakat NAD yang beragama Islam akan diperiksa dan diadili perkaranya oleh Mahkamah Syar’iyah bukan oleh Pengadilan Negeri, yaitu Pengadilan selaku pelaksana Kekuasaan Kehakiman dalam Lingkungan Peradilan Agama yang merupakan bagian dari Sistem Peradilan Nasional.

Penegakan Syari’at Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi : 38 Aqidah, Syar’iyah, dan Akhlaq. Penegakan Syari’at Islam bidang Aqidah meliputi tentang Ibadah ; Penegakan Syari’at Islam bidang Syar’iyah terdiri dari : Hukum Keluarga ( Ahwal Al-Syakhshiyah ), Hukum Perdata ( Muamalah ), Hukum Pidana ( Jinayah ), dan Peradilan ( Qadha ); Penegakan Syari’at islam bidang Akhlaq terdiri dari : Pendidikan ( Tarbiyah ), Dakwah, Syi’ar, dan Pembelaaan Islam. Adapun Pelaksanaan Penegakan Syari’at Islam seperti tersebut di atas diatur dengan Qanun Aceh, yaitu peraturan perundang-undangan sejenis Peraturan Daerah yang mengatur Penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan Kehidupan Masyarakat Aceh. Hal ini untuk memenuhi perintah Alloh Swt dalam Al-Qur’an Surat An-Nisaa ayat 105 : “Sesungguhnya kami telah menurunkan kepada engkau Al-Kitab (Al-Qur’an) dengan yang sebenarnya, (berisi kebenaran), supaya engkau dapat mengadili antara sesamamu manusia, menurut apa yang telah Alloh wahyukan kepada engkau ”.
AHKAMULLOH ( Hukum Alloh ) YANG TERDAPAT DALAM AL-QUR’AN DAN AL-HADITS ITU SIFATNYA KEKAL DAN ABADI SEPANJANG MASA, TIDAK PERNAH BERUBAH DAN TIDAK ADA ORANG YANG BERANI UNTUK MENGUBAHNYA.
_______________________
37. Goenawan Wanaradja, “Syari’at Islam sebagai Hukum Positif di Nanggroe Aceh Darussalam “, Modus Aceh, Tabloid Hukum dan Politik, Edisi 39/ TH-IV/22-28 Pebruari 2007, Banda Aceh, hlm. 20
38. Ibid.
BAB III

K E S I M P U L A N


1. Dari paparan di atas dapat ditarik benang merah, bahwa profesi hakim dalam perspektif Syari’at Islam itu harus memiliki moralitas yang tinggi dan memiliki tanggung jawab intelektual dalam mengemban tugas mulianya yang sarat dengan resiko dan tantangan, sehingga adakalanya harus melakukan suatu “ Ijtihad “, yaitu Ijtihad untuk menyimpulkan hukum dari sumbernya dan Ijtihad dalam penerapan hukumnya, yang disebut Ijtihad Istinbathi dan Ijtihad Tathbiqi.. Jika seorang hakim memiliki intelektualitas dan moralitas yang tinggi maka ia akan menyadari bahwa tugasnya menjadi hakim bukan sebagai abdi negara semata, tetapi memiliki tanggung jawab moral sebagai tugas keagamaan yang di dalamnya terdapat masalah pahala dan dosa. Jika hal ini dapat direalisasikan maka tindakan “pelecehan hukum” akan dapat diminimalisir dan upaya “penegakan supremasi hukum” akan dapat direalisir. Seorang hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, professional, dan berpengalaman di bidang hukum (Al-Qur’an dan Al-Hadits), agar tidak keliru dalam memutuskan suatu perkara.

2. Praktek peradilan Islam dalam memutus suatu perkara, ternyata sangat sederhana, dalam arti bahwa pembuktian dalam Hukum Islam itu, hanya didasarkan atas bukti saksi dan sumpah saja, dengan asumsi bahwa semua orang yang menghadap hakim untuk menyelesaikan perkaranya itu adalah orang-orang yang bertujuan untuk menegakkan Syari’at Islam, termasuk hakimnya. Dengan demikian, apa yang telah menjadi putusan hakim maka itulah hukumnya yang benar, sehingga dengan kesederhanaan itulah peradilan dalam rangka menegakkan Syari’at Islam ini menjadi sangat sakral karena menjunjung tinggi Hukumulloh, yang telah diwahyukan Alloh Swt.


D A F T A R P U S T A K A


A. Buku

Abd al-Wahab Khallaf, “Ilm Ushul al-Fiqh”, Kairo, Maktabah al-Da’wah al-Islamiyyah, 1956.

Abu Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd al-Qurthubi al-Andalusi, “ Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid II “, Beirut, Dar al-Fikr, tanpa tahun.

Abu Yala Muhammad Ibn Husain al-Farra al-Hambali, “al-Ahkam al-Sulthaniyah”, Beirut, Dar al-Fikr, 1994.

Ali Ahmad al-Jurjawi, “ Hikmah al-Tasyriwa Falsafatuhu II ”, Beirut, Dar al-Fikr, tanpa tahun.

Amir Syarifuddin, “ Ushul Fiqh II “, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1999.

Dirjen Binbaga Islam, Pedoman Pengawasan Peradilan Agama, (Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama, 1986.

Ensiklopedi Islam II, Jakarta, Ichtiar Baru van Hoeve, 1994.

Ibn Manzur, “ Lisan al-Arab “, Beirut, Dar al-Shadir, tanpa tahun.

Ibn Taymiyah, “ al-Amr bi al-Maruf wa an-Nahy an al-Munkar “,Beirut, Dar al-Kitab al-Jadid, 1976.

Magnis Suseno. “ Etika Jawa “, 1991, tanpa penerbit.
Muhammad Abu Zahrah, “Ushul al-Fiqh “, Beirut, Dar al-Fikr al-Arabiyah, tanpa tahun.

Muhammad ibn Ismail al-Kahlani al-Shanani, “ Subulal-Salam IV ”, Indonesia, Maktabah Dahlan, 1926.

Muhammad Salam Madkur, “Peradilan dalam Islam “, Alih bahasa Imron AM, Surabaya, Bina Ilmu, 1993.
Sulaiman Rasyid “ Piqih Islam “, Attahiriyah, Jakarta, 1976

Wahyu Affandi, “ Hakim dan Penegak Hukum “, Alumni, Bandung, 1981.





B. Majalah Dan Tabloid Hukum


Goenawan Wanaradja, “ Hukum, Hakim, dan Keadilan “, Varia Peradilan, Majalah Hukum IKAHI, Tahun XII No. 142, Juli 1997, Jakarta.

Goenawan Wanaradja, “ Sikap Hakim Dalam Memutus Suatu Perkara “, Modus Aceh, Tabloid Hukum dan Politik, Edisi 18/ TH-III/18-24 Juli 2006, Banda Aceh.

Goenawan Wanaradja, “ Mengenal Lebih Dekat tentang Putusan Hakim Pidana “, Modus Aceh, Tabloid Hukum dan Politik, Edisi 25/ TH-IV/22-28 Oktober 2006, Banda Aceh.

Goenawan Wanaradja, “Syari’at Islam sebagai Hukum Positif di Nanggroe Aceh Darussalam “, Modus Aceh, Tabloid Hukum dan Politik, Edisi 39/ TH-IV/22-28 Pebruari 2007, Banda Aceh.

Goenawan Wanaradja, “ Hakim Juga Manusia “, Modus Aceh, Tabloid Hukum dan Politik, Edisi 58/ TH-V/22-28 Juli 2007, Banda Aceh
Sukarno Aburaera, “ Menakar Keadilan Dalam Hukum”, Varia Peradilan, Majalah Hukum IKAHI, Tahun XXII No. 260, Juli, 2007, Jakarta.


C. Sumber Lain

Kode Etik Profesi Hakim dan Pedoman Perilaku Hakim.


www.google.com, Said Munji, “ Membangun Kebugaran Akhlaq dan Etika Profesi Hakim dalam Perspektik Islam “, yang diakses penulis pada tanggal 10 Maret 2010.


D. Pertauran Perundang-undangan

UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer
UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum
UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama
UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar