Iklan

Iklan

Iklan

Selasa, 27 April 2010

“PROSES EKSEKUSI TERHADAP BENDA OBJEK PERJANJIAN FIDUSIA YANG BENTUK PERJANJIANNYA BERUPA AKTA DI BAWAH TANGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 19

Oleh : Denden Imadudin Soleh.,SH.


I. latar Belakang

Pembagian benda menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dibagi ke dalam 2 (dua) kelompok besar, yaitu benda bergerak dan tidak bergerak/tetap, pembagian itu membawa pengaruh di dalam cara pembebanannya. Sebagaimana diketahui bahwa menurut sistem hukum kita, dan juga hukum di kebanyakan negara-negara Eropa Kontinental, bahwa jika yang menjadi objek jaminan utang adalah benda bergerak, maka jaminannya diikat dalam bentuk gadai. Dalam hal ini, objek gadai tersebut harus diserahkan kepada pihak yang menerima gadai (kreditur). Sebaliknya, jika yang menjadi objek jaminan hutang adalah benda tidak bergerak, maka jaminan tersebut haruslah berbentuk hipotik (sekarang ada hak tanggungan). Dalam hal ini barang objek jaminan tidak diserahkan kepada kreditur, tetapi tetap dalam kekuasaan debitur.. Akan tetapi terdapat kasus-kasus dimana barang objek jaminan hutang masih tergolong barang bergerak, tetapi pihak debitur enggan menyerahkan kekuasaan atas barang tersebut kepada kreditur, sementara pihak kreditur tidak mempunyai kepentingan, bahkan kerepotan jika barang tersebut diserahkan kepadanya. Ada kalanya pihak kreditur dan pihak debitur sama-sama tidak berkeberatan agar diikatkan jaminan hutang berupa gadai atas hutang yang dibuatnya, tetapi barang yang dijaminkan karena sesuatu dan lain hal tidak dapat diserahkan kepemilikannya kepada hak kreditur.
Atas dasar alasan-alasan semacam itulah masyarakat membutuhkan lembaga jaminan yang lain daripada gadai yang disamping memungkinkan peminjam uang untuk tetap menggunakan benda jaminannya, juga memeberikan perlindungan yang kuat kepada kreditur dalam upaya mendapatkan pelunasan piutang dari debitur dikemudian hari. Akhirnya, muncullah bentuk jaminan baru dimana objeknya benda bergerak, tetapi kekuasaan atas benda tersebut tidak beralih dari debitur kepada kreditur. Yaitu Jaminan Fidusia.
Istilah Jaminan fidusia mempunyai pengertian yang berbeda dengan istilah fidusia. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.menjelaskan bahwa,
Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentun bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.

Sedangkan dalam Pasal 1 angka 2 Undng-Undang No 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.menjelaskan bahwa,
Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerk khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No.4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.

Pengertian jaminan fidusia di atas dengan jelas menggambarkan, bahwa jaminan fidusia merupakan hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan pelunasan (pembayaran) utang debitur kepada kreditur. Tetapi untuk menjamin kepastian hukum bagi kreditur maka dibuat akta yang dibuat oleh notaris dan didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia.. Nanti kreditur akan memperoleh sertifikat jaminan fidusia yang di dalamnya dicantumkan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian, memiliki kekuatan hak eksekutorial langsung apabila debitor melakukan pelanggaran perjanjian fidusia kepada kreditor (parate eksekusi), sesuai UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.
Saat ini, banyak lembaga pembiayaan (finance) dan bank (bank umum maupun perkreditan) menyelenggarakan pembiayaan bagi konsumen (consumer finance), sewa guna usaha (leasing), anjak piutang (factoring). Mereka umumnya menggunakan tata cara perjanjian yang mengikutkan adanya jaminan fidusia bagi objek benda jaminan fidusia.
Prakteknya lembaga pembiayaan menyediakan barang bergerak yang diminta konsumen (semisal motor atau mesin industri) kemudian diatasnamakan konsumen sebagai debitur (penerima kredit/pinjaman). Konsekuensinya debitur menyerahkan kepada kreditur (pemberi kredit) secara fidusia. Artinya debitur sebagai pemilik atas nama barang menjadi pemberi fidusia kepada kreditur yang dalam posisi sebagai penerima fidusia.
Praktek sederhana dalam jaminan fidusia adalah debitur/pihak yang punya barang mengajukan pembiayaan kepada kreditur, lalu kedua belah sama-sama sepakat mengunakan jaminan fidusia terhadap benda milik debitur dan dibuatkan akta notaris lalu didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Kreditur sebagai penerima fidusia akan mendapat sertifkat fidusia, dan salinannya diberikan kepada debitur. Dengan mendapat sertifikat jaminan fidusia maka kreditur/penerima fidusia serta merta mempunyai hak eksekusi langsung (parate eksekusi), seperti terjadi dalam pinjam meminjam dalam perbankan. Kekuatan hukum sertifikat tersebut sama dengan keputusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Fakta di lapangan menunjukan, lembaga pembiayaan dalam melakukan perjanjian pembiayaan mencamtumkan kata-kata dijaminkan secara fidusia. Tetapi ironisnya tidak dibuat dalam akta notaris dan tidak didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia untuk mendapat sertifikat. Akta semacam itu dapat disebut akta jaminan fidusia di bawah tangan. Jika penerima fidusia mengalami kesulitan di lapangan, maka ia dapat meminta pengadilan setempat melalui juru sita membuat surat penetapan permohonan bantuan pengamanan eksekusi.
Dengan demikian, memiliki kekuatan hak eksekutorial langsung apabila debitor melakukan pelanggaran perjanjian fidusia kepada kreditor (parate eksekusi), sesuai UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. Lalu, bagaimana dengan perjanjian fidusia yang tidak di buatkan akta notaris dan didaftarkan di kantor pendaftaran fidusia alias dibuat dibawah tangan ?.




II. Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses eksekusi terhadap benda objek perjanjian fidusia yang perjanjian tidak dibuatkan akta notaris dan tidak didaftarkan di kantor pendaftaran fidusia (bentuk perjanjiannya akta bawah tangan) menurut Undang-Undang No 42 tahun 1999 ?

III. PEMBAHASAN
Berbagai kepustakaan hukum indonesia memakai bermacam-macam istilah untuk menterjemahkan ”Verbintenis” dan ”Overeenkomst ” yaitu :
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Subekti dan Tjiptosudibio , menggunakan istilah Perikatan untuk ”Verbintenis” dan Persetujuan untuk ”Overeenkomst”
2. Utrecht dalam bukunya Pengantar Dalam Hukum Indonesia memakai istilah perutangan sebagai terjemahan dari ”verbintenis” dan Perjanjian untuk ”Overeenkomst”.
Pengertian perjanjian ada dalam Pasal 1313 KUHPerdata dan sumber perikatan ada dalam Pasal 1233 KUHPerdata. Perbedaan antara perjanjian dan perikatan yaitu perjanjian adalah peristiwa hukum dan perikatan adalah hubungan hukum. Dalam perikatan ada pihak kreditur yaitu yang berhak atas prestasi dan pihak debitur yang berkewajiban untuk berprestasi. Pada pihak debitur terdapat schuld yaitu hutang atau kewajiban berprestasi tergantung dari perikatannya dan ada haftung jaminan untuk pelunasan hutang yaitu jaminan yang ditentukan dalam Pasal 1131 KUHPerdata. Subyek perikatan kreditur dan debitur sedangkan obyek perikatan yaitu prestasi yang ada dalam Pasal 1234 KUHPerdata yaitu: memberi sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Begitu pun Menurut Riduan Syahrani perikatan adalah hubungan hukum antara dua di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu (kreditur) berhak atas prestasi dan pihak yang lain (debitur) berkewajiban memenuhi prestasi itu.
Dari perumusan di atas,bisa dilihat bahwa Perikatan memiliki empat unsur, yaitu :
a. hubungan hukum adalah hubungan yang terhadapnya hukum melekatkan hak pada satu pihak dan melekatkan kewajiban pada pihak lainnya
b. Dalam lapangan hukum kekayaan (Apabila hubungan hukum itu dapat dinilai dengan uang, maka hubungan hukum tersebut merupakan suatu perikatan)
c. hubungan antara kreditur dan debitur (Apabila hubungan hukum tadi dijajaki lebih jauh lagi maka hubungan hukum itu harus terjadi antara dua orang atau lebih, yaitu pihak yang aktif adalah kreditur atau yang berpiutang dan pihak yang pasif adalah debitur atau yang berutang)
d. Isi Perikatan (prestasi/obyek hukum). (Menurut pasal 1234 KUHPerdata, bahwa prestasi dibedakan atas : a) memberikan sesuatu, b) berbuat sesuatu, c) tidak berbuat sesuatu)
Dan bila dilihat dari sumbernya, Perikatan ini bersumber . dari :
1. perjanjian
2. undang-undang
dan untuk lebih jelasnya bisa melihat bagan dibawah.
PERIKATAN
1233 KUHPerdta

Perjanjian Undang-Undang
1313 KUHPerdta 1352 KUHPerdta

Undang2 dan perbuatan manusia undang-undang
1353 KUHPerdta 321 KUHPerdta

Yang rechtmatig yang onrechtmatig
1354&1359 KUHPerdta 1365 KUHPerdta

Lalu untuk pembagian jenis perikatan, R Setiawan menyatakan bahwa Perikatan dapat dibedakan menurut :
A. Isi daripada prestasinya :
1. Perikatan positif dan negatif
2. Perikatan sepintas lalu dan berkelanjutan
3. Perikatan alternatif
4. Perikatan fakultatif
5. Perikatan generik dan spesipik
6. perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi
B. Subjek-subjeknya :
1. Perikatan solider atau tanggung renteng
2. Perikatan principle atau acccessoire.
C. Mulai berlakunya dan berakhirnya perikatan :
1. Perikatan bersyarat
2. Perikatan dengan ketentuan waktu.
Kemudian bagaimana dengan perjanjian yang menggunakan Jaminan, untuk jaminan sendiri sebenarnya masuk dalam Hak Kebendaan yang diatur dalam Buku II KUHPerdata, Hak Kebendaan yang bersifat memberi jaminan ini juga ada beberapa macam, Riduan Syahrani menyatakan ada 5 hak kebendaan yang bersifat nenberi jaminan, yaitu :
1. Hak Gadai ( Hak yang diperoleh kreditur atas suatu bend bergerak, yang diberikan kepadanya oleh debitur atau orang lain atas debitur sebagai jaminan pembayaran dan memberikan hak kepada kreditur untuk mendapat bayaran lebih dahulu daripada kreditur-kreditur lainnya atas hasil penjualan benda jaminan) .
2. Jaminan Fidusia ( hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerk khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No.4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya).
3. Hak Tanggungan (Hak Jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditu lain).
4. Hipotik (Hak kebendaan atas benda-benda tidak bergerak untuk mengambil penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu perikatan ).
5. Privilege (Kedudukan istimewa yang diberikan undang-undang kepada orang-orang yang berpiutang sehingga tingkatannya lebih tinggi dari orang yang berpiutang lainnya, semata-mata berdasrkan sifat piutangnya).
Sesuai judul di atas yang akan dibahas lebih lanjut adalah bagaimana dengan Perjanjian yang menggunakan Jaminan fidusia, Jaminan Fidusia sendiri memiliki berbagai sifat, seperti :
1. Perjanjian jaminan fidusia merupakan perjanjian accessoir atau perjanjian tambahan/perjanjian ikutan. Akta jaminan dibuat oleh Notaris.
2. Selalu mengikuti bendanya (droit de suite ).
3. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak yang berkepentingan.
4. Apabila debitur wanprestasi maka dalam melaksanakan eksekusi dapat dengan lembaga parate executie.
5. Dalam jaminan fidusia memuat hak mendahulu disebut juga hak preference artinya penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditur lain dalam pelunasan piutangnya.
Setelah melihat sifat dari perjanjian fidusia ini, lalu bagimana dengan Perjanjian yang menggunakan jaminan fidusia yang pembebanan bendanya tidak menggunakan akta otentik dan tidak didaftarkan, sedangkan dalam Undang-Undang No.42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia,
Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa,
Pembebanan Benda dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan akta notaris dalam Bahasa Indonesia dan merupakan akta Jaminan Fidusia.

Kemudian Pasal 11 ayat (1) menyatakan bahwa,
Benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia wajib didaftarkan.

Definisi dari akta otentik sendiri bisa kita lihat dalam pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang mengatakan bahwa:
“akta otentik adalah akta yang (dibuat) dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai2 umum yang berkuasa untuk itu, ditempat dimana akta dibuatnya.”


Jadi, apabila di ambil poin-poinnya, maka yang dimaksud sebagai akta otentik harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Bentuknya sesuai UU (Bentuk dari akta notaris, akta perkawinan, akta kelahiran dll sudah ditentukan format dan isinya oleh Undang-Undang. Namun ada juga akta-akta yang bersifat perjanjian antara kedua belah pihak yang isinya berdasarkan kesepakatan dari kedua belah pihak sesuai dengan azas kebebasan berkontrak).
2. Dibuat di hadapan pejabat umum yg berwenang
3. Kekuatan pembuktian yang sempurna
4. Kalau disangkal mengenai kebenarannya, maka penyangkal harus membuktikan
mengenai ketidak benarannya
Apakah yang berhak untuk membuat akta otentik hanyalah Notaris? Tentu saja tidak, karena yang dimaksud dengan “pejabat umum yang berwenang” itu sendiri adalah pejabat yang memang diberikan wewenang dan tugas untuk melakukan pencatatan tersebut, misalnya: Pejabat KUA atau pejabat catatan sipil yang bertugas untuk mencatat perkawinan, kelahiran dan kematian, PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) dan lain sebagainya.
Berbeda dengan akta otentik, akta di bawah tangan memiliki ciri dan kekhasan tersendiri, berupa:
1. Bentuknya yang bebas
2. Pembuatannya tidak harus di hadapan pejabat umum
3. Tetap mempunyai kekuatan pembuktian selama tdk disangkal oleh pembuatnya
4. Dalam hal harus dibuktikan, maka pembuktian tersebut harus dilengkapi juga dengan saksi-saksi & bukti lainnya. Oleh karena itu, biasanya dalam akta di bawah tangan, sebaiknya dimasukkan 2 orang saksi yang sudah dewasa untuk memperkuat pembuktian.
Melihat dari tentang perbedaan akta otentik dan akta di bawah tangan di atas, Untuk perjanjian jaminan fidusianya sendiri, seperti yang telah dicantumkan di atas bahwa Perjanjian jaminan fidusia merupakan perjanjian accessoir atau perjanjian tambahan/perjanjian ikutan, untuk itu perjanjian pokoknya tetap sah meskipun perjanjian jaminannya pembebanan bendanya tidak menggunakan akta otentik dan tidak didaftarkan, tetapi untuk tindakan eksekutorialnya tidak bisa dilaksanakan dengan lembaga parate executie (eksekusi langsung), karena seperti yang dicantumkan dalam Undang No.42 tahun 1999 tentang Fidusia di dalam Pasal 15 menyatakan bahwa,
Ayat (2) Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Ayat (3) Apabila debitor cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri

Dari pasal tersebut bisa kita lihat bahwa hanya yang memiliki Sertifikat Jaminan Fidusia (yang dibuat dengan akta otentik dan didaftarkan) yang mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sehingga bagi perjanjian dengan jaminan fidusia yang dibuat dengan akta dibawah tangan dan tidak didaftarkan ketika debitur wanprestasi atau cidera janji tidak bisa menggunakan lembaga parate executie (eksekusi langsung), tetapi Proses eksekusinya tetap harus dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri melalui proses hukum acara yang normal hingga turunnya putusan pengadilan.















IV.KESIMPULAN
Bahwa Menurut Undang-Undang No.42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, hanya yang memiliki Sertifikat Jaminan Fidusia (yang dibuat dengan akta otentik dan didaftarkan) yang mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sehingga bagi perjanjian dengan jaminan fidusia yang dibuat dengan akta dibawah tangan dan tidak didaftarkan ketika debitur wanprestasi atau cidera janji tidak bisa menggunakan lembaga parate executie (eksekusi langsung), tetapi Proses eksekusinya tetap harus dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri melalui proses hukum acara yang normal hingga turunnya putusan pengadilan.
.







Referensi
Buku-buku:
Munir Fuady, Jaminan Fidusia, Citra Aditya Bakti, 2000.
J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.
-----------, HUKUM PERIKATAN Perikatan Pada Umumnya, Alumni, Bandung, 1999
Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 2004.
R Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT Pradnya Paramita, edisi revisi, 1992.
R Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, cetakan keenam, Putra A Bardin, Bandung, 1999
Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Balai Buku Ikhtiar, Jakarta, 1959.

Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar