Iklan

Iklan

Iklan

Jumat, 03 Juni 2016

FUNGSI DAN EKSISTENSI DEWAN PERS – KPI DALAM MENGAWASI DAN MELINDUNGI KEMERDEKAAN PERS DI MEDIA CETAK DAN LEMBAGA PENYIARAN

oleh
DENDEN IMADUDIN SOLEH, SH. CLA

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Dalam sistem ketatatanegaraan Indonesia, UUD NRI 1945 dengan jelas membedakan cabang-cabang kekuasaan negara dalam bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif yang tercermin dalam fungsi-fungsi MPR,DPR, dan DPD, Presiden dan Wakil Presiden. Serta Mahkamah Agung (MA),Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga-lembaga negara yang utama(main state organs,principal state organs). Lembaga-lembaga negara dimaksud itulah yang secara instrumental mencerminkan pelembagaan fungsi-fungsi kekuasaan negara yang utama (main state functions, principal state functions), sehingga lembaga-lembaga negara itu pula yang dapat disebut sebagai lembaga negara utama(main state organs, principal state organs, atau main stateinstitutions) yang hubunganya satu dengan yang lain diikat oleh prinsip “check and balances”.[1]
Lembaga-lembaga negara yang bersifat utama, atau yang biasa disebut sebagai lembaga tinggi negara seperti dimaksud di atas, dalam UUD juga diatur lembaga-lembaga negara yang bersifat konstitusional lainya seperti Komisi Yudisial, Kepolisian Negara, Tentara Nasional Indonesia,Bank Sentral, Komisi Pemilihan Umum, dan Dewan Pertimbangan Presiden. Namun pengaturan lembaga-lembaga negara tersebut dalam UUD NRI 1945, tidaklah dengan sendirinya mengakibatkan lembaga-lembaga negara yang disebutkan dalam UUD NRI 1945 tersebut, termasuk Komisi Yudisial, harus dipahami dalam pengertian lembaga (tinggi negara) sebagai lembaga utama(main organs). Misalnya Komisi Yudisial sebagai lembaga negara tidaklah menjalankan salah satu dari fungsi kekuasaan negara sebagaimana yang secara universal dipahami. Dengan kata lain, bahwa lembaga-lembaga negara ini hanya bertugas melayani atau dalam tugas dan wewenangnya berkaitan dengan lembaga-lembaga negara utama sebagaimana yang disebutkan di atas, yang dalam ketatanegaraan disebut dengan state auxiliary bodies (lembaga negara yang melayani).
Walaupun tugasnya melayani, akan tetapi menurut Sri Sumantri M,[2] secara nasional state auxiliary bodies mempunyai kedudukan dan peranan penting dalam mewujudkan tujuan nasional. Hal ini juga diakui oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 005/PUU-IV/2000 tentang judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, bahwa diatur atau tidaknya suatu lembaga negara dalam undang-undang dasar juga tidak, boleh ditafsirkan sebagai satu-satunya faktor yang menentukan derajat konstitusional lembaga negara yang bersangkutan
Lembaga-lembaga penunjang atau State Auxiliary Bodies merupakan gejala yang dapat dikatakan baru dalam dinamika penyelenggaraan kekuasaan negara modern. Menurut doktrin Montesquieu, lembaga-lembaga negara diidealkan hanya terdiri atas tiga lembaga utama penyelenggaraan kekuasaan negara, yaitu parlemen, pemerintah, dan pengadilan yang mencerminkan fungsi-fungsi legislatif, eksekutif, dan judisial. Namun, sejak lahir abad ke-19, dengan munculnya tuntutan agar negara mengambil peran lebih besar dalam dinamika kehidupan bermasyarakat dan bernegara, maka jumlah lembaga-lembaga negara menjadi bertambah banyak pula sesuai dengan tuntutan kebutuhan menurut doktrin negara kesejahteraan (welfare state).[3]
Sampai pertengahan abad ke-20, peran negara berkembang ekstrim sehingga pada akhir abad ke-20 berkembang pula kesadaran baru untuk mengurangi peran negara melalui pelbagai kebijakan liberalisasi, baik di bidang politik maupun ekonomi. Gelombang liberalisasi politik membawa akibat munculnya gelombang (i) demokratisasi dan (ii) desentralisasi, sedangkan liberalisasi ekonomi melahirkan kebijakan-kebijakan (i) efisiensi, (ii) deregulasi, (iii) debirokratisasi, dan (iv) privatisasi.[4] Mulai tahun 1970-an, gerakan-gerakan ini berkembang luas sehingga menyebabkan terjadinya restrukturisasi bangunan organisasi negara dan pemerintahan secara besar-besaran. Sebagian fungsi yang sebelumnya ditangani oleh negara diserahkan kepada masyarakat atau dunia usaha untuk mengelolanya.
Menurut Jimly Asshiddiqie, ada 2 pertimbangan dalam penerapan prinsip sharing of power yaitu (i) untuk kepentingan efisiensi, muncul kebutuhan untuk melembagakan kebutuhan untuk mengintegrasikan pelbagai fungsi menjadi satu kesatuan ke dalam fungsi yang bersifat campuran. Pertimbangan lain adalah (ii) munculnya kebutuhan untuk mencegah agar fungsi-fungsi kekuasaan tertentu terbebas dari intervensi politik dan konflik kepentingan. Karena kedua alasan inilah, maka sejak akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, banyak bermunculan lembaga-lembaga baru di luar struktur organisasi pemerintahan yang lazim. Di Indonesia, dua belas tahun pasca digulirkannya era reformasi, tuntutan adanya perubahan secara mendasar telah terakomodir dengan diamandemennya UUD 1945 sebanyak 4 (empat) kali. Perubahan-perubahan tersebut nampaknya hingga kini masih belum juga memenuhi kebutuhan untuk membangun negara yang demokratis, hal ini dapat diindikasikan dengan adanya isu-isu untuk melakukan amandemen ke-5 dari UUD Negara RI 1945 yang saat ini berlaku.
Konsekuensi dari 4 kali amandemen UUD 1945 salah satunya adalah dengan lahirnya states auxiliary bodies/agencies yang merupakan wajah baru dalam ketatanegaraan Indonesia, yang hal ini dapat dikatakan bagian dari penerapan prinsip sharing of power. Istilah states auxiliary bodies  dipadankan dengan lembaga yang melayani, lembaga penunjang, lembaga bantu, dan lembaga negara pendukung. Istilah tersebut diberikan sebagai pembeda dari lembaga negara utama.[5] States auxiliary bodies dalam implementasinya saat ini dikenal dengan Komisi-Komisi, Lembaga-lembaga atau sejenisnya. Dibentuknya States auxiliary bodies di samping merupakan kebutuhan untuk menyelesaikan tugas dengan cepat, gejala ini mungkin menunjukkan kurang efektif dan efisiennya Kementerian dan LPNK (Lembaga Pemerintah Non Kementerian). Bisa juga karena kekurang percayaan kepada institusi yang sudah ada sehingga dibentuklah lembaga baru.
Lembaga-lembaga tersebut di antaranya adalah Dewan Pers yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, kedua lembaga tersebut merupakan lembaga independen yang memiliki fungsi yang berbeda, Dewan Pers memiliki tugas dan fungsi mengembangkan  kemerdekaan pers dan meningkatkan kualitas kehidupan pers[6] sementara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mempunyai tugas dan fungsi menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia, tetapi kedua lembaga tersebut ternyata memiliki kewenangan yang bersinggungan dalam hal kegiatan jurnalistik atau pemberitaan yang menggunakan  media elektronik penyiaran seperti televisi dan radio sehingga sering terjadi perdebatan kewenangan ketika hal tersebut terjadi.
Sebelum reformasi kedua kewenangan lembaga tersebut melekat pada Menteri Penerangan sehingga waktu itu Menteri Penerangan mempunyai kekuasaan yang sangat powerfull dalam mengawasi lembaga penyiaran dan media cetak sampai ke pemberdelan, sehingga waktu itu tidak ada pertentangan kewenangan karena berada dalam satu lembaga, justru pertentangan itu muncul ketika dibentuk lembaga independen yang menangani kemerdekaan pers yaitu Dewan Pers dan lembaga independen yang menangani Penyiaran (radio dan televisi) yaitu Komisi Penyiaran Indonesia yang akhirnya ada pertentangan dalam melaksanakan kewenangannya masing-masing.
Selanjutnya selain masalah tersebut, meskipun sama-sama lembaga independen, tetapi kedua lembaga tersebut memiliki perbedaan misalnya dalam hal pengisian jabatan dan juga sumber dana kedua lembaga tersebut sehingga menarik untuk dikaji mengenai perbandingan independensi kedua lembaga tersebut.
Berdasar latar belakang tersebut, akan ditulis makalah dengan judul Fungsi dan Eksistensi DEWAN PERS – KPI dalam Mengawasi dan Melindungi  Kemerdekaan Pers di Media Cetak dan Lembaga Penyiaran.
1.2  Permasalahan
Dari uraian tentang Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai States Auxiliary Bodies yang ada di Indonesia saat ini, maka ada beberapa permasalahan yang akan coba dijawab dalam makalah ini yaitu:
1.      Bagaimana Kedudukan Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam struktur ketatanegaraan Indonesia?
2.      Bagaimana Fungsi dan Eksistensi Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam Mengawasi dan Melindungi  Kemerdekaan Pers di Media Cetak dan Lembaga Penyiaran?
3.      Bagaimana Independensi Kelembagaan Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)?


BAB 2
PEMBAHASAN
2.1  Kedudukan Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
Sebelum berbicara mengenai kedudukan Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KIP) maka harus dimulai dari pembahasan istilah lembaga negara, istilah lembaga negara sendiri bukan konsep yang secara terminologi memiliki istilah tunggal dan seragam. Di dalam kepustakaan Inggris, untuk menyebut lembaga negara digunakan istilah Political Institution, sedangkan dalam terminologi bahasa Belanda terdapat istilah Staat Organen. Sementara itu, bahasa Indonesia menggunakan lembaga negara, badan negara, atau organ negara.[7]
Untuk memahami pengertian lembaga atau organ negara secara lebih dalam, kita dapat mendekatinya dari pandangan Hans Kelsen mengenai the concept of the State-Organ dalam bukunya General Theory of Law and State. Hans Kelsen menguraikan bahwa ―Whoever fulfills a function determined by the legal order is an organ.[8] Siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang ditentukan oleh suatu tata-hukum (legal order) adalah suatu organ. Artinya, organ negara itu tidak selalu berbentuk organik. Di samping organ yang berbentuk organik, lebih luas lagi, setiap jabatan yang ditentukan oleh hukum dapat pula disebut organ, asalkan fungsi-fungsinya itu bersifat menciptakan norma (normcreating) dan/atau bersifat menjalankan norma (norm applying). ―These functions, be they of a norm-creating or of a normapplying character, are all ultimately aimed at the execution of a legal sanction.[9]
Dalam setiap pembicaraan mengenai organisasi negara, ada dua unsur pokok yang saling berkaitan, yaitu organ dan functie. Organ adalah bentuk atau wadahnya, sedangkan functie adalah isinya; organ adalah status bentuknya (Inggris: form, Jerman: vorm), sedangkan functie adalah gerakan wadah itu sesuai maksud pembentukannya. Dalam naskah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, organ-organ yang dimaksud, ada yang disebut secara eksplisit namanya, dan ada pula yang disebutkan eksplisit hanya fungsinya. Ada pula lembaga atau organ yang disebut bahwa baik namanya maupun fungsi atau kewenangannya akan diatur dengan peraturan yang lebih rendah.
Dalam UUD 1945, terdapat tidak kurang dari 34 organ yang disebut keberadaannya dalam UUD 1945. Ke-34 organ atau lembaga tersebut adalah:
1)      Majelis permusyawaratan Rakyat (MPR) diatur dalam Bab III UUD 1945 yang juga diberi judul "Majelis permusyawaratan Rakyat". Bab III ini berisi dua pasal, yaitu Pasal 2 yang terdiri atas tiga ayat, Pasal 3 yang juga terdiri atas tiga ayat;
2)      Presiden yang diatur keberadaannya dalam Bab III UUD 1945, dimulai dari Pasal 4 ayat (1) dalam pengaturan mengenai Kekuasaan Pemerintahan Negara yang berisi 17 pasal;
3)      Wakil Presiden yang keberadaannya juga diatur dalam Pasal 4 yaitu pada ayat (2) UUD 1945. Pasal 4 ayat (2) UUD 1945 itu menegaskan, "Dalam melakukan kewajibannya, Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden";
4)      Menteri dan Kementerian Negara yang diatur tersendiri dalam Bab V UUD 1945, yaitu pada Pasal17 ayat(1), (2), dan (3);
5)      Menteri Luar Negeri sebagai menteri triumpirat yang dimaksud oleh Pasal 8 ayat (3) UUD 1945, yaitu bersama-sama dengan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan sebagai pelaksana tugas kepresidenan apabila terdapat kekosongan dalam waktu yang bersamaan dalam jabatan Presiden dan Wakil Presiden;
6)      Menteri Dalam Negeri sebagai triumpirat bersama-sama dengan Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan menurut Pasal 8 ayat (3) UUD 1945;
7)      Menteri Pertahanan yang bersama-sama dengan Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri ditentukan sebagai menteri triumpirat menurut Pasal 8 ayat (3) UUD 1945. Ketiganya perlu disebut secara sendiri-sendiri, karena dapat saja terjadi konflik atau sengketa kewenangan konstitusional di antara sesama mereka, atau antara mereka dengan menteri lain atau lembaga negara lainnya;
8)      Dewan Pertimbangan Presiden yang diatur dalam Pasal 16 Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara yang berbunyi, "Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam undang-undang";[10]
9)      Duta seperti diatur dalam Pasal13 ayat (1) dan (2);
10)  Konsul seperti yang diatur dalam Pasal13 ayat (1);
11)  Pemerintahan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat (2), (3), (5), (6) dan ayat (7) UUD 1945;
12)  Gubemur Kepala Pemerintah Daerah seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945;
13)  Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, seperti yang diatur dalam Pasal18 ayat 3 UUD 1945;
14)  Pemerintahan Daerah Kabupaten sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat (2), (3), (5), (6) dan ayat (7) UUD 1945;
15)  Bupati Kepala Pemerintah Daerah Kabupaten seperti yang diatur dalam Pasal18 ayat (4) UUD 1945;
16)  Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten seperti yang diatur dalam Pasal18 ayat (3) UUD 1945;
17)  Pemerintahan Daerah Kota sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat (2), (3), (5), (6) dan ayat (7) UUD 1945;
18)  Walikota Kepala Pemerintah Daerah Kota seperti yang diatur dalam Pasal18 ayat (4) UUD 1945;
19)  Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota seperti yang diatur oleh Pasal 18 ayat (3) UUD 1945;
20)  Satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau istimewa seperti dimaksud oleh Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, diatur dengan undang-undang. Karena kedudukannya yang khusus dan diistimewakan, satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa ini diatur tersendiri oleh UUD 1945. Misalnya, status Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta, Pemerintahan Daerah Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua, serta Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Ketentuan mengenai kekhususan atau keistimewaannya itu diatur dengan undang-undang. Oleh karena itu, pemerintahan daerah yang demikian ini perlu disebut secara tersendiri sebagai lembaga atau organ yang keberadaannya diakui dan dihormati oleh negara.
21)  Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang diatur dalam Bab VII UUD 1945 yang berisi Pasal 19 sampai dengan Pasal 22B;
22)  Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang diatur dalam Bab VIIA yang terdiri atas Pasal 22C dan Pasal 220;
23)  Komisi Penyelenggaran Pemilu yang diatur dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yang menentukan bahwa pemilihan umum harus diselenggarakan oleh suatukomisi yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Nama "Komisi Pemilihan Umum" bukanlah nama yang ditentukan oleh UUD 1945, melainkan olehUndang-Undang;
24)  Bank sentral yang disebut eksplisit oleh Pasal 230, yaitu "Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggungjawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang". Seperti halnya dengan Komisi Pemilihan Umum, UUD 1945 belum menentukan nama bank sentral yang dimaksud. Memang benar, nama bank sentral sekarang adalah Bank Indonesia. Tetapi, nama Bank Indonesia bukan nama yang ditentukan oleh UUD 1945, melainkan oleh undang-undang berdasarkan kenyataan yang diwarisi dari sejarah di masa lalu.
25)  Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diatur tersendiri dalam Bab VIIIAdengan judul "Badan Pemeriksa Keuangan", dan terdiri atas 3 pasal, yaitu Pasal 23E (3 ayat), Pasal 23F (2 ayat), dan Pasal 23G (2 ayat);
26)  Mahkamah Agung (MA) yang keberadaannya diatur dalam Bab IX, Pasal 24 dan Pasal 24A UUD 1945;
27)  Mahkamah Konstitusi (MK) yang juga diatur keberadaannya dalam Bab IX, Pasal 24 dan Pasal 24C UUD 1945;
28)  Komisi Yudisial yang juga diatur dalam Bab IX, Pasal 24B UUD 1945 sebagai auxiliary organ terhadap Mahkamah Agung yang diatur dalam Pasal 24 dan Pasal 24A UUD 1945;
29)  Tentara Nasional Indonesia (TNI) diatur tersendiri dalam UUD 1945, yaitu dalam Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, pada Pasal 30 UUD 1945;
30)  Angkatan Darat (TNI AD) diatur dalam Pasal 10 UUD 1945;
31)  Angkatan Laut (TNI AL) diatur dalam Pasal 10 UUD 1945;
32)  Angkatan Udara (TNI AU) diatur dalam Pasal 10 UUD 1945;
33)  Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) yang juga diatur dalam Bab XII Pasal 30 UUD 1945;
34)  Badan-badan lain yang fungsinya terkait dengan kehakiman.
Dari segi fungsinya, ke-34 lembaga tersebut, ada yang bersifat utama atau primer, dan ada pula yang bersifat sekunder atau penunjang (auxiliary), Untuk memahami perbedaan di antara keduanya, lembaga-lembaga negara tersebut dapat dibedakan dalam tiga ranah (domain) (i) kekuasaan eksekutif atau pelaksana; (ii) kekuasaan legislatif dan fungsi pengawasan; (iii) kekuasaan kehakiman atau fungsi yudisial. Sedangkan dari segi hirarkinya, lembaga-lembaga tersebut dapat dibedakan ke dalam tiga lapis. Organ lapis pertama dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara. Organ lapis kedua disebut sebagai lembaga negara saja, sedangkan organ lapis ketiga merupakan lembaga daerah. Memang benar sekarang tidak ada lagi sebutan lembaga tinggi dan lembaga tertinggi negara. Namun, untuk memudahkan pengertian, organ-organ konstitusi pada lapis pertama dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara. Tetapi selain lembaga-lembaga tersebut, ada juga lembaga-lembaga baru yang independen.
Di negara-negara demokrasi yang telah mapan, seperti Amerika Serikat dan Perancis, pada tiga dasawarsa terakhir abad ke-20 banyak bertumbuhan lembaga-lembaga negara baru. Lembaga tersebut biasa disebut state auxiliary organ, atau state auxiliary bodies sebagai lembaga negara penunjang. Di antara lembaga-lembaga itu kadang ada yang bersifat self regulator agencies, Independent supervisor bodies, atau lembaga-lembaga yang menjalakan fungsi campuran  antara fungsi regulatif, administratif, dan fungsi penghukuman yang biasanya dipisahkan tetapi justru dilakukan secara bersamaan oleh lembaga-lembaga baru tersebut.[11]
Dewasa ini, di Amerika Serikat, lembaga-lembaga independen yang serupa itu di tingkat federal dengan fungsi yang bersifat regulatif dan pengawasan atau pemantauan (Monitoring) lebih dari 30-an  banyaknya. Misalnya, di Amerika Serikat dikenal adanya Federal Trade Commision (FTC) dan Federal Communication Commision (FCC)[12]
Lembaga-lembaga tersebut ada yang bersifat independen dan ada pula yang semi atau quasi independen, sebagian di antara para ahli tetap mengelompokkan independent agencies semacam ini dalam domain atau ranah kekuasaan eksekutif. Akan tetapi, ada pula sarjana yang mengelompokkannya secara tersendiri sebagai the fourth branch of the government. Seperti yang dikatakan oleh Yves Meny dan Andrew Knapp (1998) [13] bahwa lembaga regulator dan monitor merupakan jenis administrasi mandiri yang berkembang secara luas di Amerika (yang kemudian disebut sebagai cabang keempat dari cabang kekuasaan negara) di Amerika umumnya dikenal sebagai Komisi Regulasi Independen (Independent Regulatory Commisions). Dari segi tipe Knapp (1998), secara sederhana juga dapat dibedakan adanya three main types of specialized administration, yaitu : 1) regulatory and monitoring bodies, 2) those responsible for the management of publik service, and 3) those engaged in productive activities.[14]
Badan-badan atau lembaga-lembaga independen yang menjalankan fungsi regulasi dan pemantauan biasanya berada di tingkat federal atau pusat (nasional). Sebagai contoh di Amerika Serikat, dimana lembaga ini disebut sebagai the headless fourth branch of the government. Di Italia, jumlahnya sekitar 40.000 buah lembaga yang biasa disebut enti pubblici. Sedangkan di Inggris, yang jumlahnya sekitar lebih dari 500 buah lembaga, biasa disebut quasi autonomus non governmental Organization atau yang disingkat quango`s. Namun, di hampir semua negara demokrasi yang mempunyai cukup banyak lembaga semacam ini biasa disebut atau dengan bentuk organisasinya adalah komisi, komite, dewan atau dengan sebutan lain yang menjalankan fungsi sebagai pengelola pelayanan umum (management of public services).
Corak dan struktur organisasi di Indonesia juga mengalami dinamika perkembangan yang sangat pesat. Setelah masa reformasi sejak tahun 1998, banyak sekali lembaga-lembaga dan komisi-komisi independen yang dibentuk. Munculnya State Auxiliary Bodies atau dalam istilah Indonesia dapat disebut sebagai Lembaga Penunjang, meningkat drastis dalam kurun waktu, menjelang, dan pada era reformasi menjadi suatu fenomena yang menarik. Menjamurnya State Auxiliary Bodies ini disadari sebagai akibat dari banyaknya urusan baru pemerintahan atau kenegaraan yang karakterisitk tugasnya sulit dilaksanakan oleh perangkat pemerintahan konvensional, baik Kementerian Negara maupun Lembaga Pemerintah Non Kementerian.
Jimly Asshiddiqie sendiri membagi beberapa kategori lembaga penunjang tersebut antara lain[15]:
a.       Lembaga Negara dan Komisi Negara yang bersifat Independen berdasarkan konstitusi atau yang memiliki constitutional importance lainnya seperti:
1)      Komisi Yudisial;
2)      Bank Indonesia sebagai Bank Sentral;
3)      Tentara Nasional Indonesia;
4)      Kepolisian Republik  Indonesia;
5)      Komisi Pemilihan Umum;
6)      Kejaksaan Agung yang meskipun belum ditentukan kewenangannya dalam UUD 1945 melainkan hanya dalam UU, tetapi dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat penegak hukum di bidang pro justisia, juga memiliki constitutional importance yang sama dengan kepolisian;
7)      Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga dibentuk berdasarkan UU tetapi memiliki sifat constitutional importance berdasarkan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945;
8)      Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) yang dibentuk berdasarkan undang-undang tetapi jua memiliki sifat constitutional importance.
b.      Lembaga-lembaga Independen lain yang dibentuk berdasarkan undang-undang antara lain seperti:
1)      PPATK,
2)      KPPU,
3)      KPI,
4)      Dewan Pers,
5)      Badan SAR Nasional
Dari pembagian yang dilakukan oleh Jimly Ashiddiqie tersebut, maka jelas kelembagaan Dewan Pers dan KPI termasuk State Auxiliary Agency/Bodies atau Lembaga Penunjang bukan lembaga utama.

2.2  Fungsi dan Eksistensi Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam Melindungi Kemerdekaan Pers
2.2.1        Dewan Pers
Secara yuridis Dewan Pers pertama kali dibentuk tahun 1968 berdasar UU No. 11 Tahun 1966 tentang pokok pers yang ditandatangani presiden Soekarno. Dewan Pers kala itu berfungsi mendampingi pemerintah membina pertumbuhan dan perkembangan pers nasional (pasal 6 ayat (1) UU No. 11/1966). Ketua dewan pers secara ex-officio dijabat menteri penerangan.[16] Keadaan seperti itu berlangsung selama Pemerintahan orde baru. Dimana menteri penerangan tetap merangkap Ketua Dewan Pers. Setelah UU No. 11 tahun 1966 diganti UU No. 21 tahun 1982 terjadi perubahan tetapi tidak mengubah kedudukan dan fungsi dewan pers, perubahan yang terjadi adalah dengan menyebut keterwakilan berbagai unsur dalam keanggotaan Dewan Pers, yaitu terdiri atas wakil organisasi pers, wakil pemerintah, dan wakil masyarakat (Pasal 6 ayat (2) UU No. 21 Tahun 1982). Sedangkan UU sebelumnya hanya menjelaskan “Anggota Dewan Pers terdiri dari wakil-wakil organisasi pers dan ahli-ahli dalam bidang pers”.[17] Perubahan fundamental terjadi tahun 1999. Melalui UU No. 40 tahun 1999 disahkan 23 September 1999 dan ditandatangani Presiden Bacharudin Jusuf Habibie, dimana dalam pasal 15 ayat (1) menyatakan: “Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk dewan pers yang independen”. Tidak ada lagi campur tangan pemerintah dalam pembentukan Dewan Pers independen. Anggotanya dipilih secara demokratis, terdiri atas: (a) Wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan; (b) Pimpinan perusahaan pers dipilih oleh organisasi perusahaan pers; dan (c) Tokoh masyarakat, ahli bidang pers dan atau komunikasi, dan bidang lainnya yang dipilih oleh organisasi wartawan dan organisasi perubahan pers (Pasal 15 ayat 3).[18] Anggota Dewan Pers independen yang pertama , periode 2000-2003, disahkan Presiden Abdul Rahman Wahid melalui Kepres No. 96/M tahun 2000. Terdiri atas 9 orang: Goenawan Mohamad, R.H. Siregar, dan Atang Ruswita dari unsur wartawan; Jacob Oetama, Surya Paloh, Zainal Abidin Suryokusumo, dan H. Azkarmin Zaini dari unsur perusahaan pers. Mewakili unsur masyarakat/pakar adalah Atmakusumah Astraatmadja dan Benjamin Mangkoedilaga (karena menjadi hakim Agung maka diganti oleh Bachtiar Aly). Melalui rapat dewan pers, 17 mei 2000, Atmakusumah terpilih menjadi Ketua Dewan Pers periode 2000-2003.[19] Keanggotaan Dewan Pers periode 2000-2003 ini berakhir pada bulan april 2003, bersama anggota badan pekerja dewan pers memilih anggota dewan pers periode 2003-2006. Melalui sidang pleno 14 April 2003 terpilih sembilan anggota yang disahkan melalui kepres No. 143/M Tahun 2003 yang ditandatangani Presiden Megawati Sukarnoputri 13 Agustus 2003. Kesembilan anggota Dewan Pers tersebut adalah Ichlasul Amal, Sulastomo dan Hinca I.P. Panjaitan dari unsur masyarakat atau pakar. R.H. Siregar, Santoso, Uni Zulfiani Lubis dan Sutomo Prastho dari unsur wartawan. Untuk unsur pimpinan perusahaan media diwakili Amir Effendi Siregar dan Sabam Leo Batubara. Dimana Ichlasul Amal terpilih sebagai ketua Dewan Pers periode 2003-2006, dibantu R.H. Siregar sebagai wakil ketua[20]. Kemudian pada periode 2006-2009 Ichlasul Amal terpilih kembali menjadi ketua dewan pers namun karena terlambatnya keputusan presiden untuk menetapkan anggota dewan pers menyebabkan perubahan periode keanggotaan menjadi 2007-2010.
Hingga pada akhir 2009 dilakukan pemilihan anggota dewan pers periode 2010-2013. Dari proses tersebut terpililah Agus Sudibyo, Bagir Manan, dan Wina Armada Sukardi sebagai anggota dewan pers dari unsur masyarakat. Anak Bagus Gde Satria Naradha, Muhammad Ridlo ‟Eisy, dan zulfiani Lubis dari Unsur perusahaan pers. Bambang Hari Murti, Bekti Nugroho, dan Margiono mewakili unsur wartawan. Mereka ditempatkan melalui keputusan presiden RI Nomor 13/M tahun 2010 tanggal 29 Januari 2010. Dan selanjutnya Bagir Manan dan Bambang Harymurti terpilih sebagai ketua dan wakil ketua.[21]
Dewan Pers adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang berfungsi untuk mengembangkan dan melindungi kehidupan pers di Indonesia. Dewan Pers sudah berdiri sejak tahun 1966 melalui Undang-undang No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan pokok pers, tetapi pada saat itu Dewan Pers berfungsi sebagai penasehat Pemerintah dan memiliki hubungan secara struktural dengan Departemen Penerangan. Seiring berjalannya waktu Dewan Pers terus berkembang dan akhirnya memiliki dasar hukum terbaru yaitu Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sejak saat itu, Dewan Pers menjadi sebuah lembaga independen. Pembentukan Dewan Pers juga dimaksudkan untuk memenuhi Hak Asasi Manusia (HAM), karena kemerdekaan pers termasuk sebagai bagian dari HAM. Dewan Pers memiliki wewenang untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik. Sebagai lembaga independen, Dewan Pers tidak memiliki perwakilan dari Pemerintah pada jajaran anggotanya.[22]
Menurut Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Pers, Dewan Pers berfungsi sebagai berikut:40
a)      Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain;
b)      Melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers;
c)      Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik;
d)      Memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers;
e)      Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah;
f)        Memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan;
g)      Mendata perusahaan pers.
Dewan Pers bersifat mandiri dan tidak ada lagi bagian pemerintah di dalam struktur pengurusannya. Otoritas Dewan Pers terletak pada keinginan redaksi serta perusahaan media pers untuk menghargai pendapat Dewan Pers serta mematuhi kode etik jurnalistik juga mengakui segala kesalahan secara terbuka. Salah satu fungsi yang menjadi dasar bagi Dewan Pers dalam menjalankan fungsi menyelesaikan sengketa, termasuk mediasi bersumber pada pasal 15 ayat (2) huruf d UU No. 40 Tahun 1999 yang menyatakan:
“Memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers”.
Dari fungsi yang dirumuskan di atas, secara empiris Dewan Pers telah menjadi mediator dalam sengketa antara pers sebagai pemberita dengan pihak yang merasa dirugikan akibat pemberitaan pers. Sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari fungsi tersebut, dalam struktur keorganisasian Dewan Pers dibentuk Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Pers. Mediasi yang diperankan oleh dewan pers merupakan mediasi di luar proses pengadilan, dan bersifat sukarela atau fungsi mediasi jika yang memberitakan dan pihak yang merasa dirugikan akibat diberitakan meminta atau menyetujui Dewan Pers menjalankan fungsinya.[23]
Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan fungsi menyelesaikan sengketa, dewan pers mengeluarkan peraturan dewan pers No.1/Peraturan-DP/I/2008 tentang prosedur pengaduan ke dewan pers ketentuan dalam peraturan dewan pers yang berkaitan dengan fungsi mediasi tercantum dalam pasal 7 ayat (1) yang mengatakan:
Dewan Pers mengupayakan penyelesaian melalui musyawarah untuk mufakat yang dituangkan dalam pernyataan perdamaian”.
Sekalipun tidak tercantum kata “mediasi”, secara konseptual kata-kata dalam pasal tersebut mencerminkan peran atau fungsi mediasi yang dijalankan oleh dewan pers.[24]
2.2.2        Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
Undang-undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 merupakan dasar utama bagi pembentukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Semangatnya adalah pengelolaan sistem penyiaran yang merupakan ranah publik harus dikelola oleh sebuah badan independen yang bebas dari campur tangan pemodal maupun kepentingan kekuasaan. Berbeda dengan semangat dalam Undang-undang penyiaran sebelumnya, yaitu Undang-undang No.24 Tahun 1997 yang berbunyi “ Penyiaran dikuasai oleh negara yang pembinaan dan pengendaliannya dilakukan oleh pemerintah”, menunjukkan bahwa penyiaran pada masa itu merupakan bagian dari instrumen kekuasaan yang digunakan untuk semata-mata bagi kepentingan pemerintah. Proses demokratisasi di Indonesia menempatkan publik sebagai pemilik dan pengendali utama ranah penyiaran. Karena frekuensi adalah milik publik dan sifatnya terbatas, maka penggunaannya harus sebesar-besarnya bagi kepentingan publik. Sebesar-besarnya bagi kepentingan publik artinya adalah media penyiaran harus menjalankan fungsi pelayanan informasi publik yang sehat. Informasi terdiri dari bermacam-macam bentuk, mulai dari berita, hiburan, ilmu pengetahuan, dan lain-lain.
Dasar dari fungsi pelayanan informasi yang sehat adalah seperti yang tertuang dalam Undang-undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 yaitu Diversity of Content (prinsip keberagaman isi) dan Diversity of Ownwership (prinsip keberagamankepemilikan). Kedua prinsip tersebut menjadi landasan bagi setiap kebijakan yang dirumuskan KPI. Pelayanan yang sehat berdasarkan Diversity of Content adalah tersedianya informasi yang beragam bagi publik baik berdasarkan jenis program maupun isi program. Sedangkan Diversity of Ownership adalah jaminan bahwa kepemilikan media massa yang ada di Indonesia tidak terpusat dan dimonopoli oleh segelintir orang atau lembaga saja, dan menjamin iklim persaingan yang sehat antara pengelola media massa dalam dunia penyiaran di Indonesia.[25]
Apabila ditelaah secara mendalam, Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran lahir dengan dua semangat utama, pertama pengelolaan sistem penyiaran harus bebas dari berbagai kepentingan karena penyiaran merupakan ranah publik dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik. Kedua adalah semangat untuk menguatkan entitas lokal dalam semangat otonomi daerah dengan pemberlakuan sistem siaran berjaringan.
Maka sejak disahkannya UU No 32 Tahun 2002 terjadi perubahan fundamental dalam pengelolaan sistem penyiaran di Indonesia. Perubahan paling mendasar dalam semangat UU tersebut adalah adanya limited transfer of authority dari pengelolaan penyiaran yang selam ini merupakan hak eksklusif pemerintah kepada sebuah badan pengatur independen (Independent regulator body) bernama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Independen dimaksudkan untuk mempertegas bahwa pengelolaan sistem penyiaran yang merupakan ranah publik harus dikelola oleh sebuah badan yang bebas dari intervensi modal maupun kepentingan kekuasaan. Belajar dari pengalaman masa lalu dimana pengelolaan sistem penyiaran masih berada di tangan pemerintah (pada waktu rezim orde baru), sistem penyiaran sebagai alat strategis tidak luput dari kooptasi negara yang dominan dan digunakan untuk melanggengkan kepentingan kekuasaan. Sistem penyiaran pada waktu itu tidak hanya digunakan untuk mendukung hegemoni rejim terhadap publik dalam penguasaan wacana strategis, tapi juga digunakan untuk mengambil keuntungan dalam kolaborasi antara segelintir elit penguasa dan pengusaha.
Terjemahan semangat yang kedua dalam pelaksanaan sistem siaran berjaringan adalah, setiap lembaga penyiaran yang ingin menyelenggarakan siarannya di suatu daerah harus memiliki stasiun lokal atau berjaringan dengan lembaga penyiaran lokal yang ada di daerah tersebut. Hal ini untuk menjamin tidak terjadinya sentralisasi dan monopoli informasi seperti yang terjadi sekarang. Selain itu, pemberlakuan sistem siaran berjaringan juga dimaksudkan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi daerah dan menjamin hak sosial budaya masyarakat lokal.[26]
Selama ini sentralisasi lembaga penyiaran berakibat pada diabaikannya hak sosial-budaya masyarakat lokal dan minoritas. Padahal masyarakat lokal juga berhak untuk memperoleh informasi yang sesuai dengan kebutuhan politik, sosial dan budayanya. Di samping itu keberadaan lembaga penyiaran sentralistis yang telah mapan dan berskala nasional semakin menghimpit keberadaan lembaga-lembaga penyiaran lokal untuk dapat mengembangkan potensinya secara lebih maksimal. Undang-undang No.32 Tahun 2002 dalam semangatnya melindungi hak masyarakat secara lebih merata.
Lembaga penyiaran adalah penyelenggaraan penyiaran, baik lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran komunitas maupun lembaga penyiaran berlangganan yang dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan tanggung jawabnya berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Komisi Penyiaran Indonesia adalah lembaga Negara yang bersifat independen yang ada di pusat dan di daerah yang tugas dan wewenangnya diatur dalam Undang-undang ini sebagai wujud peran serta masyarakat di bidang penyiaran.[27]
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), yang lahir atas amanat Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002, terdiri atas KPI Pusat dan KPI Daerah (tingkat provinsi). Anggota KPI Pusat (9 orang) dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan KPI Daerah (7 orang) dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Selain itu, anggaran program kerja KPI Pusat dibiayai oleh APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) dan KPI Daerah dibiayai oleh APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah). Dalam pelaksanaan tugasnya, KPI dibantu oleh sekretariat tingkat eselon II yang stafnya terdiri dari staf pegawai negeri sipil serta staf profesional non PNS. KPI merupakan wujud peran serta masyarakat berfungsi mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran harus mengembangkan program-program kerja hingga akhir kerja dengan selalu memperhatikan tujuan yang diamanatkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2002 Pasal 3:
"Penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertaqwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil, dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia.”
Untuk mencapai tujuan tersebut organisasi KPI dibagi menjadi tiga bidang, yaitu bidang kelembagaan, struktur penyiaran dan pengawasan isi siaran. Bidang kelembagaan menangani persoalan hubungan antar kelembagaan KPI, koordinasi KPID serta pengembangan kelembagaan KPI. Bidang struktur penyiaran bertugas menangani perizinan, industri dan bisnis penyiaran. Sedangkan bidang pengawasan isi siaran menangani pemantauan isi siaran, pengaduan masyarakat, advokasi dan literasi media.
Visi Komisi Penyiaran Indonesia: Terwujudnya sistem penyiaran nasional yang berkeadilan dan bermartabat untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat. Sementara Misi Komisi Penyiaran Indonesia: Membangun dan memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata dan seimbang. Membantu mewujudkan infrastruktur bidang penyiaran yang tertib dan teratur, serta arus informasi yang harmonis antara pusat dan daerah, antarwilayah Indonesia, juga antara Indonesia dan dunia internasional. Membangun iklim persaingan usaha di bidang penyiaran yang sehat dan bermartabat. Mewujudkan program siaran yang sehat, cerdas, dan berkualitas untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan bangsa, persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai dan budaya Indonesia. Menetapkan perencanaan dan pengaturan serta pengembangan SDM yang menjamin profesionalitas penyiaran.[28]
Wewenang, Tugas, dan Kewajiban KPI, KPI melakukan peran-perannya sebagai wujud peran serta masyarakat yang berfungsi mewadahi inspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran. Dalam menjalankan fungsinya, KPI juga mempunyai beberapa wewenang yaitu:
a.       Menetapkan standar program penyiaran
b.      Menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran
c.       Mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran
d.      Memberi sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran
e.       Melakukan koordinasi dan kerjasama dengan pemerintah, lembaga penyiaran dan masyarakat.
KPI mempunyai tugas yaitu:
a.       Menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia,
b.      Ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran,
c.       Ikut membangun iklim persaingan yang sehat antarlembaga penyiaran dan industri terkait,
d.      Memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang,
e.       Menampung, meneliti dan menindaklanjuti aduan, sanggahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaran penyiaran,
f.       Menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin profesionalitas di bidang penyiaran.
Undang-undang No.32 tahun 2002 tentang penyiaran dan P3SPS menjadi rujukan untuk melihat kualitas penyelenggaraan di Indonesia. Dalam arti, kualitas tersebut apakah penyelenggaraan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada dan tercantum di dalamnya. KPI juga memiliki kewajiban sebagai berikut:
a.       KPI wajib mengawasi pelaksanaan pedoman perilaku penyiaran,
b.      KPI wajib menerima aduan dari setiap orang atau kelompok yang mengetahui adanya pelanggaran terhadap pedoman perilaku penyiaran,
c.        KPI wajib menindaklanjuti aduan resmi mengenai hal-hal yang bersifat mendasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf e,
d.      KPI wajib meneruskan aduan kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan dan memberikan kesempatan hak jawab,
e.       KPI wajib menyampaikan secara tertulis hasil evaluasi dan penilaian kepada pihak yang mengajukan aduan dan Lembaga Penyiaran yang terkait.
Adapun Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Sekretariat Komisi Penyiaran Indonesia, juga diatur dalam Pasal 17 Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 01 Tahun 2007 tentang Kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia. Dalam pasal itu disebutkan bahwa:
1)      Sekretariat KPI merupakan bagian perangkat kelembagaan pemerintah baik di pusat maupun di daerah.
2)      Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, KPI dibantu oleh sekretariat yang dipimpin oleh seorang sekretaris yang dibiayai oleh APBN untuk  KPI Pusat dan APBD untuk KPI Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3)      Struktur organisasi sekretariat KPI yang diatur dalam Peraturan KPI ditetapkan melalui Keputusan Menteri untuk KPI Pusat dan Peraturan Gubernur dan atau Peraturan Daerah untuk KPI Daerah.

Dalam pasal 18 disebutkan pula bahwa:
1)      Sekretaris KPI Pusat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pejabat yang diusulkan oleh KPI Pusat dan ditetapkan oleh Menteri.
2)      Sekretaris KPI Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pejabat yang diusulkan oleh KPI Daerah dan ditetapkan oleh Gubernur.
3)      Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Sekretaris bertanggung jawab kepada Ketua KPI dan mematuhi setiap keputusan pleno.
4)      Pejabat Sekretariat KPI Pusat/KPI Daerah adalah pejabat struktural disesuaikan dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Aturan-aturan dalam Tubuh KPI: Penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, control dan perekat social. Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyiaran juga mempunyai fungsi ekonomi dan kebudayaan. Maka dari itu Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga penyiaran memiliki aturan-aturan tertentu yang telah ditetapkan contohnya saja dalam hal perizinan penayangan suatu tayangan. KPI akan memberikan izin siaran apabila:
a.       Izin penyelenggaraan penyiaran diberikan sebagai berikut:
1)      Izin penyelenggaraan penyiaran radio diberikan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun
2)      Izin penyelenggaraan penyiaran televisi diberikan untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun.
b.      Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan huruf b masing-masing dapat diperpanjang.
c.       Sebelum memperoleh izin tetap penyelenggaraan penyiaran, lembaga radio wajib melalui masa uji coba siaran paling lama 6 (enam) bulan dan untuk lembaga penyiaran televisi wajib melalui masa uji coba siaran paling lama 1 (satu) tahun.
d.      Izin penyelenggaraan penyiaran dilarang dipindahtangankan kepada pihak lain,
e.       Izin penyelenggaraan penyiaran dicabut karena:
1)      Tidak lulus masa uji coba siaran yang telah ditetapkan
2)      Melanggar penggunaan spektrum frekuensi radio dan/atau wilayah jangkauan siaran yang ditetapkan
3)      Tidak melakukan kegiatan siaran lebih dari 3 (tiga) bulan tanpa pemberitahuan KPI
4)      Dipindahtangankan kepada pihak lain
5)      Melanggar ketentuan rencana dasar teknik penyiaran dan persyaratan teknis perangkat penyiaran,atau
6)      Melanggar ketentuan mengenai standar program siaran setelah adanya putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap,
7)      Izin penyelenggaraan penyiaran dinyatakan berakhir karena habis masa izin dan tidak diperpanjang kembali.

Selain itu Komisi Penyiaran Indonesia juga menetapkan pedoman perilaku penyiaran yang harus ditaati oleh para stasiun televisi ataupun rumah produksi, antara lain:
a.       Pedoman perilaku penyiaran bagi penyelenggara stasiun ditetapkan oleh KPI
b.      Pedoman perilaku penyiaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun dan bersumber pada:
1)      Nilai-nilai agama, moral dan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
2)      Norma-norma lain yang berlaku dan diterima oleh masyarakat umum dan lembaga penyiaran.
c.       KPI wajib menerbitkan dan mensosialisasikan pedoman perilaku penyiaran kepada lembaga penyiaran dan masyarakat umum,
d.      Pedoman perilaku penyiaran menentukan standar isi siaran yang sekurang-kurangnya berkaitan dengan:
1)      Rasa hormat terhadap pandangan keagamaan
2)      Rasa hormat terhadap hal pribadi
3)      Kesopanan dan kesusilaan
4)      Pembatasan adegan seks,kekerasan, dan sadisme
5)      Perlindungan terhadap anak-anak, remaja, dan perempuan
6)      Penggolongan program dilakukan menurut usia khalayak
7)      Penyiaran program dalam bahasa asing
8)      Ketetapan dan kenetralan program berita
9)      Siaran langsung dan,
10)  Siaran iklan
e.       KPI memfasilitasi pembentukan kode etik penyiaran Bagi televisi yang melanggar aturan yang telah ditentukan oleh KPI akan mendapatkan sanksi administratif oleh KPI yaitu:
1)      Teguran tertulis
2)      Penghentian sementara mata acara yang bermasalah setelah melalui tahap tertentu
3)      Pembatasan durasi dan waktu siaran
4)      Denda administratif
5)      Pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu
6)      Tidak diberi perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran
7)      Pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran

Struktur Organisasi Pengurus KPI
KPI Pusat periode kedua ini ditetapkan melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 20/P Tahun 2007 tertanggal 31 Maret 2007, dan KPI Pusat efektif bekerja awal Juni 2007. Sedangkan penetapan Ketua dan Wakil Ketua KPI Pusat dilaksanakan pada 16 April 2007 dengan menetapkan struktur keanggotaan sebagaimana tersebut.
Komisioner Periode 2007-2010: Ketua : Prof. Sasa Djuarsa Sendjaja, PhD, Wakil Ketua : Fetty Fajriati Miftach, MA, Bidang Kelembagaan : Dr.S. Sinansari Ecip, Mochamad Riyanto,M.Si, Bidang Pengawasan : Yazirwan Uyun, Isi Siaran : Sasa Djuarsa Sendjaja, Fetty Fjriati Miftach, Bidang Perizinan : Izzul Muslimin,SIP, Dr. Amar Achmad,M.Si dan Bimo Nugroho, Sekundatmo,M.Si
Komisioner Periode 2010-2013: Ketua : Dadang Rahmat Hidayat Wakil Ketua : Nina Mutmainnah Anggota : Ezki Tri Rezeki Widianti, Mochamad Riyanto, Azimah, Idy Muzayyad, Iswandi Syahputra, Judhariksawan dan Yazirwan Uyun.
Komisioner Periode 2013-2016: Ketua : Judhariksawan Wakil Ketua : Idy Muzayad Anggota :Bekti Nugroho, Fajar Arifianto, Azimah Subagijo, Amiruddin, Danang Sangga Buwana, Rahmat Arifin, Agatha Lily.
Dalam menjalankan tugasnya-tugasnya, KPI Pusat dibantu oleh tenaga ahli sebagaimana amanat UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran pasal 9 ayat 4: “KPI dibantu oleh sebuah sekretariat yang dibiayai oleh APBN.” Dan ayat 5: “Dalam melaksanakan tugasnya, KPI dapat dibantu oleh tenaga ahli sesuai dengan kebutuhan.
Program Kerja KPI: Penyusunan dan sosialisasi peraturan perundang-undangan berupa peraturan kelembagaan KPI dan P3SPS. KPI telah mengeluarkan Peraturan KPI nomor 01 Tahun 2007 tentang Kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia yang mengatur keanggotaan, struktur kelembagaan, kesekretariatan, rapat kelembagaan, tata hubungan KPI Pusat dan KPID, Kerjasama, Honorarium dan Tunjangan. Pada 2009, peraturan tersebut digantikan oleh Peraturan KPI nomor 01 Tahun 2009 sebagai output dari hasil Sidang Tim Penyusunan dan Penyempurnaan Peraturan KPI Bidang Kelembagaan yang pernah diadakan di Bogor, 2-4 JuIi 2009. Peraturan tersebut direvisi untuk lebih memperjelas eksistensi lembaga negara yang bersifat independen ini.
Penyusunan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) adalah produk KPI yang mengandung ketentuan-ketentuan mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dalam proses pembuatan program siaran. Penyusunan Standar Program Siaran (SPS) adalah produk KPI yang mengandung ketentuan-ketentuan mengenai apa yang boleh dan tidak boleh tersaji dalam isi siaran. P3 dan SPS yang berlaku saat ini adalah Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 02 Tahun 2009 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran; Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 03 Tahun 2009 tentang Standar Program Siaran. Dalam peraturan terbaru  ini, aturan-aturan mengenai Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran dijelaskan secara lebih rinci.

2.2.3        Fungsi Dewan Pers dan KPI  yang Bersinggungan dalam Melindungi Kemerdekaan Pers
Sebelumnya sudah dibahas mengenai fungsi masing-masing dari kedua lembaga tersebut, tetapi dalam hal ini yang akan coba dibahas mengenai singgung fungsi dari kedua lembaga tersebut, seperti uraian sebelumnya bahwa Dewan Pers memiliki fungsi untuk melindungi kebebasan pers di Indonesia di media apapun, baik media cetak, media Online, ataupun penyiaran, sementara Komisi Penyiaran Indonesia memiliki fungsi mengatur dan mengawasi konten lembaga penyiaran baik televisi maupun radio yang menyiarkan konten berita, hiburan dan lainnya.
Dari hal tersebut maka persinggungan fungsi kedua lembaga tersebut terjadi ketika menyikapi masalah pemberitaan atau kegiatan jurnalistik yang menggunakan media penyiaran (televisi atau radio), untuk media cetak dan media online sudah jelas hal tersebut murni merupakan kewenangan Dewan Pers, tetapi untuk Media Penyiaran menjadi bersinggungan karena media penyiaran ini memiliki karakteristik yang khusus, media penyiaran (Televisi atau Radio) menggunakan domain publik yang terbatas jumlahnya yakni frekuensi, sementara media cetak dan media online tidak. Siaran media elektronik itu masuik ke rumah tanpa diundang, berbeda dengan media cetak yang bisa kita beli atau sengaja dibawa.
Kemudian lembaga penyiaran ini memerlukan izin penyiaran sedangkan penerbitan pers tidak. Lembaga penyiaran diatur oleh higly state regulated, media cetak berdasarkan self regulating. Lembaga penyiaran yang tidak netral dan memihak golongan tertentu melanggar UU Penyiaran, dapat dibredel dan bahkan izin penyiarannya akan dicabut. Sedangkan media cetak yang tidak netral dan tidak independen hanya melanggar standar keprofesionalan. Sehingga dalam hal ini Dewan Pers tidak dapat melindungi kemerdekaaan pers dengan penuh di media penyiaran karena menggunakan frekuensi yang merupakan publik domain maka media penyiaran yang memuat konten berita atau kegiatan jurnalistik harus mengikuti ketentuan dari Dewan Pers dan juga Komisi Penyiaran Indonesia
Kasus yang menjadi pertentangan antara KPI dan Dewan Pers adalah adanya sanksi dari KPI kepada Metro TV berupa penghentian sementara tayangan "Headline News" pukul 05.00 WIB selama 7 hari berturut-turut kemudian meminta maaf kepada publik secara verbal selama 3 hari berturut-turut pada Headline News pukul 07.00 WIB, pukul 13.00 WIB, dan pukul 19.00 WIB selama 7 hari.[29]
Metro TV diberi sanksi karena saat menyampaikan Headline News pada 14 Juni 2010, pukul 05.00 WIB, mengenai razia warnet di Trenggalek, Jawa Timur, ditayangkan pula adegan cabul secara vulgar (tanpa di-blur) selama 5 detik. Metro TV menerima sanksi dengan lapang dada, tapi tidak demikian dengan sejumlah anggota Dewan Pers dan pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).[30] Mereka memprotes keras dengan mengeluarkan "Manifesto Kebebasan Pers", yang berisi kecaman terhadap tindakan KPI karena dianggap telah bertindak melampaui kewenangan dan menghidupkan tradisi bredel seperti pada era Orde Baru. Di antara anggota Dewan Pers bahkan ada yang menilai hasil RDP Komisi I dengan KPI dan Dewan Pers tidak sah. Anggota Dewan Pers yang hadir dalam RDP dianggap mewakili pribadi, bukan mewakili Dewan Pers secara kelembagaan.
Terkait Manifesto Kemerdekaan Pers yang dikeluarkan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), sejumlah tokoh pers dan praktisi televisi serta pengamat media beberapa waktu silam, KPI melihatnya sebagai hal yang normal di dalam demokrasi. Namun, meski memaklumi, KPI melihat sebagian substansi deklarasi tersebut tidak benar dan bisa membing ungkan masyarakat. Seperti diberitakan sebelumnya, dalam deklarasi tersebut, para pendukung menyatakan bahwa tindakan KPI dinilai sebagai perampasan kemerdekaan pers dan merupakan embrio mengekang kemerdekaan pers pada masa datang.[31]
Sebagai lembaga yang memiliki kewenangan menjaga kebebasan pers di Tanah Air, protes Dewan Pers bisa kita pahami. Membredel sebuah tayangan televisi, meskipun sifatnya sementara, bisa menjadi pintu masuk bagi pihak-pihak yang merasa berkuasa--terutama pemerintah--untuk melakukan pembredelan terhadap tayangan-tayangan yang dianggap tidak sesuai dengan kehendak pemerintah. Pengalaman pahit pada era Orde Baru tidak boleh terjadi lagi pada era kebebasan pers seperti sekarang.
Kemudian KPI menjawab hal tersebut bahwa mengenai sanksi penghentian sementara headline news, KPI menegaskan bukan pembredelan pers serta upaya mengancam kebebasan pers.[32] Alasannya, pertama, KPI tidak mencabut Izin Penyelenggaraan Siaran MetroTV. Kedua, KPI tidak menghentikan keseluruhan program “Headline News”, karena “Headline News” adalah program yang ditayangkan setiap jam sebanyak 24 kali dalam sehari.[33] Dengan demikian 23/24 program acara tersebut tetap berjalan. Bahkan menurut pengakuan pihak MetroTV, informasi yang perlu disampaikan dalam waktu jam 5 pagi tetap bisa ditampilkan dalam program lainnya. Artinya di sini pun tidak ada hak publik atas informasi (public right to inform) yang tercederai. Ketiga, semua putusan KPI didasarkan pada tindakan normatif yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam ranah penyiaran yang telah menjadi hukum positif. Keempat, KPI tetap harus melindungi hak dan kepentingan publik untuk mendapat informasi yang layak dan benar, di samping publik adalah pemilik sah atas  frekuensi yang digunakan oleh semua lembaga penyiaran. Dalam kasus Metro TV, hak publik telah dilanggar seperti yang tercantum dalam UU Penyiaran No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, Peraturan Pemerintah, dan P3-SPS KPI.[34]
Dari permasalahan tersebut akhirnya pada 22 April 2014, KPI dan Dewan Pers membuat Nota Kesepahaman (MoU) tentang Penanganan Pelanggaran Isi Siaran Jurnalistik.Salah satu isinya adalah menyusun gugus tugas yang terdiri dari 3 orang perwakilan KPI dan 3 Orang perwakilan Dewan Pers, sehingga berkaitan dengan Penanganan Pelanggaran Isi Siaran Jurnalistik ditangani oleh gugus tugas tersebut.
Selain itu sempat ada usulan mengenai pembentukan Komisi Kebebasan Pers dalam rencana amandemen ke-5 konstitusi UUD 1945 sedang diperjuangkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).[35] Naskah Usulan Amandemen Perubahan UUD 1945 dan keterangannya versi DPD mengatur pembentukan Komisi Kebebasan Pers sebagai komisi negara yang independen, di samping Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Yudisial, dan Komnas HAM. Komisi Kebebasan Pers akan melebur Dewan Pers dan Dewan Pers sehingga kewenangan kedua lembaga tersebut menjadi reintegrasi ke dalam satu lembaga dan jika dicantumkan dalam Konstitusi lembaga tersebut menjadi lebih indenden.

2.3  Independensi Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
Berbicara mengenai independensi sebuah lembaga dapat dilihat dari beberapa hal di antaranya Aspek dasar hukum pembentukan, Aspek Pengaturan, Aspek Pengawasan, Aspek pendanaan, Aspek pengisian jabatan.
Pertama jika dilihat dari aspek dasar hukum pembentukan kedua lembaga negara tersebut, baik Dewan Pers maupun KPI merupakan amanat dari undang-undang, Dewan Pers merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, sementara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) merupakan amanat Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, dari dasar hukum tersebut kedua lembaga ini dapat dikatakan independen karena untuk mengubah kewenangan atau membubarkan kedua lembaga tersebut harus melalui undang-undang yang berarti melibatkan dua lembaga yaitu Presiden (Pemerintah) dan DPR, memang akan lebih independen lagi jika lembaga itu diamanatkan Undang-Undang Dasar karena tidak akan mudah diubah oleh DPR dan Presiden, tetapi harus melalui Amandemen Konstitusi oleh Sidang MPR.
Kedua dilihat dari Aspek Pengaturan, dalam undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers tidak ada pengaturan oleh Pemerintah (Presiden) melalui Peraturan Pemerintah sementara Komisi Penyiaran Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran meskipun menyatakan bahwa KPI merupakan lembaga yang mengatur lembaga penyiaran tetapi dalam undang-undang tersebut meskipun memberikan kewenangan kepada KPI untuk menetapkan Pedoman Perilaku Penyiaran bagi Penyelenggaraan Siaran (P3PS), tetapi dalam Undang-Undang itu juga mengamanatkan beberapa pengaturan lebih lanjut untuk lembaga penyiaran tidak didelegasikan langsung kepada KPI, tetapi kepada KPI bersama Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah[36] sehingga dalam hal ini independensi KPI menjadi kurang karena tetap harus bersama-sama dengan pemerintah untuk mengatur lembaga penyiaran tersebut, berbeda dengan Dewan Pers yang memang diberikan Kewenangan Penuh untuk menyusun pengaturan mengenai kemerdekaan pers dan kode etik jurnalistik tanpa campur tangan pemerintah.[37]
Ketiga berbicara aspek pengawasan, jika berbicara mengenai pengawasan maka yang harus diperhatikan salah satunya adalah mengenai kewenangan lembaga tersebut dalam memberikan sanksi, dalam Lembaga Penyiaran yang dapat memberikan sanksi ada 2 lembaga yaitu Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)  dan Menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Komunikasi dan Informatika.[38] Dari berbagai jenis sanksi yang ada, yaitu[39]:
a)      teguran tertulis;
b)      penghentian sementara mata acara yang bermasalah setelah melalui tahap tertentu;
c)      pembatasan durasi dan waktu siaran;
d)     denda administratif;
e)      pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu;
f)       tidak diberi perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran;
g)      pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran.
Komisi Penyiaran hanya dapat memberikan sanksi dari huruf a sampai e, sementara untuk f dan g merupakan kewenangan Kominfo. Hal ini karena KPI tidak memiliki kewenangan untuk menerbitkan izin Lembaga Penyiaran sehingga otomatis tidak memiliki kewenangan untuk mencabut izin. Sementara Kewenangan Dewan Pers sesuai dengan ketentuan Pasal 15 ayat 2 huruf b dan c bahwa antara lain kewenangannya adalah menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik dan memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers, sehingga dalam hal ini Dewan Pers memiliki kewenangan penuh dalam pengawasan terhadap pelaksanaan kode etik jurnalistik di lembaga pers tanpa campur tangan pemerintah, sehinga jika melihat hal tersebut maka dari aspek pengawasan maka Dewan Pers lebih independen dibanding KPI.
Keempat mengenai sumber dana lembaga, sesuai dengan ketentuan Pasal 15 ayat 7 Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, menyatakan bahwa Sumber pembiayaan Dewan Pers berasal dari :
a.      organisasi pers;
b.      perusahaan pers;
c.       bantuan dari negara dan bantuan lain yang tidak mengikat.
Sementara untuk Komisi Penyiaran Indonesia, sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat (6) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, menyatakan bahwa:
Pendanaan KPI Pusat berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan pendanaan KPI Daerah berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa secara pendanaan lebih independen Dewan Pers karena tidak bergantung kepada APBN/APBD seperti Komisi Penyiaran Indonesia.
            Kelima berbicara mengenai pengisian jabatan lembaga tersebut, sesuai ketentuan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers dinyatakan bahwa Anggota Dewan Pers terdiri dari:
a.      wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan;
b.      pimpinan perusahaan pers yang dipilih oleh organisasi perusahaan pers;
c.       tokoh masyarakat, ahli di bidang pers dan atau komunikasi, dan bidang lainnya yang dipilih oleh organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers;
kemudian dalam Pasal 15 ayat (5) UU Pers menyatakan bahwa Keanggotaan Dewan Pers sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal ini ditetapkan dengan keputusan Presiden.
Sementara untuk Komisi Penyiaran Indonesia sesuai  ketentuan Pasal 10 ayat (2) dan (3) UU Penyiaran disebutkan bahwa Anggota KPI Pusat dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan KPI Daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atas usul masyarakat melalui uji kepatutan dan kelayakan secara terbuka.
Kemudian pada ayat (3) disebutkan bahwa
 Anggota KPI Pusat secara administratif ditetapkan oleh Presiden atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan anggota KPI Daerah secara administratif ditetapkan oleh Gubernur atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi.
Dari kedua hal tersebut dapat dikatakan bahwa meskipun sama-sama ditetapkan oleh Keputusan Presiden tetapi secara sistem pengisian keanggotannya lebih independen Dewan Pers dibanding KPI karena tidak melibatkan lembaga lain dalam hal ini DPR misalnya.
 



BAB 3
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
1.      Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia keduanya merupakan lembaga penunjang (State auxiliary Body) independen yang diamanatkan oleh undang-undang, Dewan Pers diamanatkan Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers sementara Komisi Penyiaran Indonesia diamantkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran.
2.      Dewan Pers berfungsi untuk melindungi kebebasan pers sementara Komisi Penyiaran Indonesia mempunyai fungsi menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia sehingga perbedaan kedua fungsi tersebut akan terjadi benturan kewenangan ketika dewan pers ingin melindungi kebebasan pers dalam media penyiaran dengan ketentuan pengaturan konten dari Komisi Penyiaran, untuk mengatasi hal tersebut maka dibentuk gugus tugas yang terdiri dari 3 wakil KPI dan 3 wakil Dewan Pers melalui Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dan KPI khusus untuk pengawasan mengenai isi siaran (teveisi dan radio) yang bersifat jurnalistik.
3.      Dewan Pers lebih Independen dibanding Komisi Penyiaran Indonesia jika melihat beberapa aspek berikut:
a.        Aspek pengaturan dalam undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers tidak ada pengaturan oleh Pemerintah (Presiden) melalui Peraturan Pemerintah sementara Komisi Penyiaran Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran meskipun menyatakan bahwa KPI merupakan lembaga yang mengatur lembaga penyiaran tetapi dalam undang-undang tersebut meskipun memberikan kewenangan kepada KPI untuk menetapkan Pedoman Perilaku Penyiaran bagi Penyelenggaraan Siaran (P3PS), tetapi dalam Undang-Undang itu juga mengamanatkan beberapa pengaturan lebih lanjut untuk lembaga penyiaran tidak didelegasikan langsung kepada KPI, tetapi kepada KPI bersama Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah.
b.      Aspek pengawasan, Dewan Pers memiliki kewenangan penuh dalam pengawasan terhadap pelaksanaan kode etik jurnalistik di lembaga pers tanpa campur tangan pemerintah,sementara KPI tidak penuh karena harus membagi tugasnya dengan Kementerian Kominfo.
c.        Aspek sumber dana lembaga, secara pendanaan lebih independen Dewan Pers karena Sumber pembiayaan Dewan Pers berasal tari  organisasi pers, perusahaan pers; dan bantuan dari negara dan bantuan lain yang tidak mengikat sehingga tidak bergantung kepada APBN/APBD seperti Komisi Penyiaran Indonesia.
d.      Aspek sistem pengisian jabatannya, sistem pengisian keanggotannya lebih independen Dewan Pers dibanding KPI karena tidak melibatkan lembaga lain dalam hal ini DPR

3.2  Saran
1.      Perlu dibentuk sebuah lembaga yang melebur kewenangan Dewan Pers dan KPI sehingga tidak ada lagi benturan kewenangan dalam melindungi kebebasan pers dan menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar karena berada dalam satu lembaga.
2.      Untuk menjaga independensi lembaga yang melindungi kebebasan pers, maka lembaga tersebut perlu diatur dalam UUD 1945 sehingga tidak mudah diubah oleh Pemerintah dan DPR.




Daftar Pustaka:
Bukum
Firmansyah Arifin dkk, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar lembaga Negara, Jakarta : Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), 2005.

Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New York: Russell & Russell, 1961)

Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Set MK,  2005.

----------------------, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen Dalam Sejarah, UI-Press, Jakarta, 1997

-----------------------, Bahan Diskusi Seminar Nasional Lembaga-Lembaga Non-Struktural oleh Kantor MenPAN & RB, Hotel Sultan Jakarta, 1 Maret 2011

Kusmadi. Dewan Pers Periode 2010-2013. (Jakarta: Dewan Pers, 2012).

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) .UU tentang penyiaran No.32 Tahun 2002.(Jakarta:2010),

Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), bekerjasama dengan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI), Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga negara, jakarta:2005

Sumantri M. “Lembaga Negara dan State Auxiliary Bodies dalam Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD NRI 1945” dalam Departemen Hukum Tata Negara  Universitas Airlangga, Dinamika Perkembangan Hukum Tata Negara dan Hukum Lingkungan, Airlangga University Press, Surabaya.

Takdir Rahmadi. Mediasi, Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat. (Jakarta: Rajawali Pers, 2010)

Putusan Nomor 005/PUU-IV/2000 tentang Judicial Review terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial

Regulasi:
Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers
Undang-Undang nomo 32 tahun 2002 tentang Penyiaran
Nota Kesepahaman Dewan Pers dan KPI tahun 2004 tentang Penanganan Isi Siaran Jurnalistik

Website:










[1] Putusan Nomor 005/PUU-IV/2000 tentang Judicial Review terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
                [2] Sumantri M. “Lembaga Negara dan State Auxiliary Bodies dalam Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD NRI 1945” dalam Departemen Hukum Tata Negara  Universitas Airlangga, Dinamika Perkembangan Hukum Tata Negara dan Hukum Lingkungan, Airlangga University Press, Surabaya, hlm. 204.

[3] Jimly Asshiddiqie, Bahan Diskusi Seminar Nasional Lembaga-Lembaga Non-Struktural oleh Kantor MenPAN & RB, Hotel Sultan Jakarta, 1 Maret 2011

[4] Ibid.

[5] Firmansyah Arifin dkk, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar lembaga Negara, Jakarta : Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), 2005, hlm.24.
[6] Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang No.40 tahun 1999 tentang Pers
[7] Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), bekerjasama dengan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI), Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga negara, Jakarta,  Setjen MK, 2005

[8] Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New York: Russell & Russell, 1961), hal.192

[9] Ibid..

[10] Sebelum Perubahan Keempat tahun 2002, ketentuan Pasal 16 ini berisi 2 ayat, dan ditempatkan dalam Bab IV dengan judul "Dewan Pertimbangan Agung", Artinya, Dewan Pertimbangan Agung bukan bagian dari "Kekuasaan Pemerintahan Negara", melainkan sebagai lembaga tinggi negara yang berdiri sendiri.
[11] Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Set MK), hlm.8.

[12] Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen Dalam Sejarah, (Jakarta, UI-Press), 1997

[13] Evi Trisulo, Konfigurasi State Auxiliary Bodies dalam Sistem Pemerintahan Indonesia, (Jakarta, Tesis, 2012), hlm.79.

[14] Ibid..

[15] Jimly Asshiddiqie, Perkembangan... Op.cit. hlm.25-26

[16] Kusmadi. Dewan Pers Periode 2010-2013. (Jakarta: Dewan Pers, 2012), hlm. 9 

[17] Ibid.

[18] Ibid.

[19] Ibid. hlm.11.

[21] Ibid.

[22] Website www.dewanpers.or.id
[23] Takdir Rahmadi. Mediasi, Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat. (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 96. 

[24] Ibid. hlm.74
[26] Ibid.

[27] Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) .UU tentang penyiaran No.32 Tahun 2002.(Jakarta:2010), hlm.7
[28] Ibid. hlm.9

[32] Siaran Pers Komisi Penyiaran Indonesia No 05/KPI/07/2010 http://www.kpi.go.id/index.php/siaran-pers-1/2525-kpi-bukan-ancaman-bagi-kemerdekaan-pers
[33] Ibid.

[34] Ibid.

[36] Ibid. Pasal 62 UU 32 tahun 2002 tentang Penyiaran.

[37] Pasal 15 angka 2 huruf b UU 40 tahun 1999 tentang Pers.

[38] PasaL 62 Peraturan Pemerintah No.50 tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Lembaga Penyiaran Swasta

[39] Pasal 55 ayat (2) UU 32 tahun 2002 tentang Penyiaran.