Iklan

Iklan

Iklan

Senin, 19 April 2010

Penafsiran terhadap maksud penyelenggara jalan dalam Pasal 273 UU No.22 tahun 2009

oleh : Denden Imadudin Soleh,.S.H.

I. Latarbelakang

Ada berita yang menarik di harian Pikiran Rakyat terbitan tanggal 13 April 2010, yaitu tentang berita yang berjudul ”Jalan pun harus ber-SNI” berita tersebut berisi tentang aksi dari Forum Club Motor Bandung (FCMB) yang mendesak Pemerintah Kota Bandung untuk segera memperbaiki jalan yang rusak di Kota Bandung, karena menurut mereka kerusakan jalan dinilai turut andil sebagai penyebab kecelakaan lalu lintas.salah seorang Ketua FCMB berujar bahwa “kalau helm ada yang SNI,jalan juga harus SNI”.
Di dalam Undang-Undang No.22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan memang disebutkan di Pasal 203 ayat (1) bahwa,
“Pemerintah bertanggung jawab atas terjaminnya Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan”

dan di Pasal 24 ayat (1),
Penyelenggara Jalan wajib segera dan patut untuk memperbaiki Jalan yang rusak yang dapat mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas.

Dan di ayat (2)-nya,
Dalam hal belum dapat dilakukan perbaikan Jalan yang rusak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara Jalan wajib memberi tanda atau rambu pada Jalan yang rusak untuk mencegah terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas.

bahkan di Pasal 273 yang memuat ketentuan Pidana ini menyebutkan bahwa, untuk Penyelenggara Jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki Jalan yang rusak dapat di berikan sanksi pidana apabila, Pertama, menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan Kendaraan dan/atau barang, dipidana penjara paling lama 6 bulan atau denda paling banyak Rp 12 juta. Kedua, mengakibatkan luka berat, dipidana penjara paling lama 1tahun atau denda paling banyak Rp 24 juta. Ketiga, mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp 120 juta. Dan Keempat, tidak memberi tanda atau rambu pada Jalan yang rusak dan belum diperbaiki dipidana penjara paling lama 6 bulan atau denda paling banyak Rp 1,5 juta.
Sementara itu pakar hukum pidana Unpad, Yesmil Anwar mengatakan, dalam UU Lalu lintas yang baru diatur mengenai ketentuan pidana. Namun, di dalam UU tersebut hanya disebutkan sebagai penyelenggara jalan, tetapi tidak secara langsung disebutkan lembaganya. Jadi, menurut Yesmil, masih sumir mengenai siapa yang bertanggungjawab dalam penyelenggaraan jalan itu .
Ketidakpastian hal tersebut bisa berdampak pada penerapan pasal 273 tersebut oleh penegak hukum, sehingga Pasal 273 ini tidak bisa dilaksanakan dilapangan pada prakteknya, atau bahkan penegak hukum harus menunggu Peraturan Pemerintah yang mengatur secara lebih rinci tentang masalah penyelenggara jalan tersebut. Tetapi di dalam Pasal 16 UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi :
“Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.

Dengan dasar hukum tersebut, maka hakim dapat menggunakan metode penafsiran atau metode penemuan hukum yang ada, Sehingga Undang-Undang No.22 tahun 2009 ini bisa diterapkan tanpa harus menunggu Peraturan Pemerintah untuk pelaksanaannya. Dari latar belakang masalah di atas, maka penulis membuat makalah berjudul ” Analisis terhadap penerapan Pasal 273 UU No.22 tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan”



II.Perumusan Masalah
Siapakah yang dimaksud penyelenggara jalan pada Pasal 273 UU No.22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan ?

III.Pembahasan
Menurut Simons sebagaimana disitir Ateng Syafrudin bahwa kepercayaan atau yang diperintah terhadap peraturan perundang-undangan itu hanya dapat dipertahankan, bilamana peraturan perundang-undangan itu memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan. Selain daripada adil, suatu peraturan perundang-undangan harus pula memenuhi persyaratan-persyaratan teknis, tepat, cocok untuk mencapai maksud dan tujuannya tanpa menghamburkan energi (tenaga) yang tidak perlu .
Di dalam Pasal 5 Undang-Undang No.10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan bahwa,
Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perudang-undangan yang baik yang meliputi:
a. Kejelasan tujuan;
b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d. Dapat dilaksanakan;
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. Kejelasan rumusan; dan
g. Keterbukaan.
Selain Undang-Undang tersebut di atas, para ahli juga mengemukan pendapatnya tentang asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, di antaranya yaitu I.C. van der Vlies dan A.Hamid.S.Attamimi. Didalam bukunya yang berjudul ”Het wetsbegrip en beginselen van behoorlijke regelgeving” I.C.van der Vlies membagi asas-asas dalam pembentukan peraturan negara yang baik ke dalam asas-asas yang formal dan materiil.
Asas-asas yang formal meliputi :
1. Asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling);
2. Asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste organ);
3. Asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel);
4. Asas dapatnya dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid);
5. Asas konsensus (het beginsel van consensus).
Asas-asas yang materiil meliputi :
1. Asas tentang terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van duidelijke terminology en duidelijke systematiek);
2. Asas tentang dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid);
3. Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechtsgelijkheidsbeginsel);
4. Asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel);
5. Asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual (het beginsel van de individuele rechtsbedeling).
A.Hamid.S.Attamimi juga membagi menjadi dua asas,yaitu asas formal dan asas materiil.Untuk Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Asas-asas formal meliputi :
a. Asas tujuan yang jelas;
b. Asas perlunya pengaturan;
c. Asas organ atau lembaga yang tepat;
d. Asas materi muatan yang tepat;
e. Asas dapat dilaksanakan;
f. Asas dapat dikenali.
2. Asas-asas materiil meliputi :
a. Asas sesuai dengan cita hukum dan norma fundamental negara;
b. Asas sesuai dengan hukum dasar negara;
c. Asas sesuai dengan prinsip-prinsip negara berdasar atas hukum; dan
d. Asas sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan berdasarkan konstitusi.
Dari tulisan di atas menunjukan bahwa dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undangan yang baik harus berdasarkan pada asas-asas pembentukan perundangan. Lalu bagaimana Undang-Undang No.22 tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan, khususnya dengan isi Pasal 273, yaitu :
(1) Setiap penyelenggara Jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki Jalan yang rusak yang mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) sehingga menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan Kendaraan dan/atau barang dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah).
(4) Penyelenggara Jalan yang tidak memberi tanda atau rambu pada Jalan yang rusak dan belum diperbaiki sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah).

Didalam pasal tersebut dikemukakan tentang tanggungjawab pidana penyelenggara jalan, akan tetapi rumusan pasal tersebut tidak menjelaskan siapa penyelenggara jalan tersebut, pasal tersebut bila kita analisis menggunakan asas-asas Pembentukan Peraturan Perudang-undangan yang baik dalam Pasal 5 Undang-Undang No.10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka isi pasal tersebut tidak memenuhi Asas Kejelasan rumusan, sehingga sebagian kalangan berpendapat bahwa pasal tersebut belum bisa digunakan sebelum pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang mengatur lebih lanjut tentang penyelenggara jalan tersebut, akan tetapi seperti yang telah dikemukakan sebelumnya di latar belakang bahwa di dalam Pasal 16 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, menyatakan bahwa,
“Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”

Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa interpretasi undang-undang dapat dilakukan oleh hakim/pengadilan dan penegak hukum lainnya (advokat, penasehat hukum, pihak yang berperkara sendiri+warga negara) dan jaksa penuntut umum dalam urusan pidana . menurut Mochtar Kusumaatmadja ada 7 macam cara penafsiran/ Interpretasi yang bisa dilakukan, yaitu :
1. Interpretasi bahasa atau tata bahasa
2. interpretasi sejarah
3. Interpretasi sistematis
4. interpretasi sosiologis
5. interpretasi teleologis
6. tafsir otentik
7. keleluasaan interpretasi oleh hakim : kebalikan dari interpretasi otentik
Sedangkan C.S.T.Kansil menyebutkan bahwa ada 10 macam cara penafsiran, yaitu :
1. Penafsiran Tata Bahasa : Cara penafsiran berdasarkan pada bunyi ketentuan undang-undang, dengan beredoman pada arti perkataan dalam hubungannya satu sama lain dalam kalimat kalimat-kalimat yang dipakai oleh undang-undang dengan menggunakan arti perkataan menurut tata bahasa atau menurut kebiasaan, yakni arti dalam pemakaian sehari-hari.
2. Penafsiran Sahih (autentik, resmi) : Penafsiran yang pasti terhadap arti kata-kata itu sebagaimana yang diberikan oleh pembentuk undang-undang.
3. Penafsiran Historis : penafsiran berdasarkan sejarah terjadinya undang-undang tersebut, atau maksud pembentuk undang-undang pada waktu itu.
4. Penafsiran Sistematis (dogmatis) : Penafsiran menilik dari susunan yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam undang-undang itu, maupun dengan undang-undang yang lain.
5. Penafsiran Nasional : Penafsiran menilik sesuai tidaknya dengan sistem hukum yang berlaku.
6. Penafsiran Teleologis (Sosiologis) : Penafsiran dengan mengingat maksud dan tujuan undng-undnag ini.
7. Penafsiran Ekstensif : Memeberi tafsirn dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan itu sehingga sesuatu peristiwa dapat dimasukannya.
8. Penafsiran Restriktif : Penafsiran dengan membatasi (mempersempit) arti kata-kata dalam peraturan itu.
9. Penafsiran analogis : Memberi tafsiran pada sesuatu peraturn hukum dengan memberi ibarat (kiyas) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga sesuatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut.
10. Penafsiran a contrario (menurut pengingkaran) : Suatu cara menafsirkan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam suatu pasal undang-undang.
Dari berbagai macam cara penafsiran di atas penulis berpendapat bahwa cara penafsiran otentik,sahih, atau resmi dan sistematik harus di dahulukan dibanding dengan cara penafsiran yang lainnya, karena penafsiran otentik,sahih, atau resmi dan Penafsiran sistematik penafsirannya akan lebih kuat secara hukum karena berdasarkan isi peraturan perundang-undangan juga. Lalu bagaimana dengan isi Pasal 273 Undang-Undang No.22 tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan, Siapakah yang dimaksud penyelenggara jalan tersebut ?. Pertama bila kita menggunakan metode penafsiran otentik atau resmi, ternyata di dalam Undang-Undang No.22 tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan tersebut tidak dijelaskan definisi atau siapa penyelenggara jalan tersebut. Lalu selanjutnya bila kita menggunakan metode penafsiran sistematis, maka kita bisa temukan definisi penyelenggara jalan tersebut di pada Undang-Undang No. 38 tahun 2004 tentang Jalan, Pasal 1 huruf 14 UU tersebut mendefinisikan
Penyelenggara jalan adalah pihak yang melakukan pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan jalan sesuai dengan kewenangannya

Kemudian dari pasal tersebut di atas yang harus kita ketahui selanjutnya yaitu masalah kewenangannya. Untuk masalah kewenangannya bisa kita lihat pada,
Pasal 13
(1) Penguasaan atas jalan ada pada negara.
(2) Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi wewenang kepada Pemerintah dan pemerintah daerah untuk melaksanakan penyelenggaraan jalan.

Pasal 14
(1) Wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan jalan meliputi penyelenggaraan jalan secara umum dan penyelenggaraan jalan nasional.
(2) Wewenang penyelenggaraan jalan secara umum dan penyelenggaraan jalan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan.

Pasal 15
(1) Wewenang pemerintah provinsi dalam penyelenggaraan jalan meliputi penyelenggaraan jalan provinsi.
(2) Wewenang penyelenggaraan jalan provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan jalan provinsi.
(3) Dalam hal pemerintah provinsi belum dapat melaksanakan sebagian wewenangnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah provinsi dapat menyerahkan wewenang tersebut kepada Pemerintah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai wewenang penyelenggaraan jalan provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penyerahan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam peraturan pemerintah.

Pasal 16
(1) Wewenang pemerintah kabupaten dalam penyelenggaraan jalan meliputi penyelenggaraan jalan kabupaten dan jalan desa.
(2) Wewenang pemerintah kota dalam penyelenggaraan jalan meliputi penyelenggaraan jalan kota.
(3) Wewenang penyelenggaraan jalan kabupaten, jalan kota, dan jalan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan.
(4) Dalam hal pemerintah kabupaten/kota belum dapat melaksanakan sebagian wewenangnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), pemerintah kabupaten/kota dapat menyerahkan wewenang tersebut kepada pemerintah provinsi.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai wewenang penyelengaraan jalan kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wewenang penyelengaraan jalan kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan penyerahan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam peraturan pemerintah.
Pasal 45
(1) Wewenang penyelenggaraan jalan tol berada pada Pemerintah.
(2) Wewenang penyelenggaraan jalan tol meliputi pengaturan, pembinaan, pengusahaan, dan pengawasan jalan tol.
(3) Sebagian wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan jalan tol sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh BPJT.
(4) BPJT sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibentuk oleh Menteri, berada di bawah, dan bertanggung jawab kepada Menteri.
(5) Keanggotaan BPJT sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas unsur Pemerintah, unsur pemangku kepentingan, dan unsur masyarakat.

Dengan menggunakan metode penafsiran sistematis dan dilihat dari isi pasal-pasal di atas maka bisa kita ketahui siapakah yang di maksud dengan “Penyelenggara Jalan” dalam Pasal 273 Undang-Undang No.22 tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan, yaitu :
1. Untuk jalan nasional sesuai dengan kewenangannya, maka yang bertanggungjawab adalah Pemerintah Pusat.
2. Untuk jalan propinsi sesuai dengan kewenangannya, maka yang bertanggungjawab adalah Pemerintah Propinsi
3. Untuk jalan kota sesuai dengan kewenangannya, maka yang bertanggungjawab adalah Pemerintah Kota.
4. Untuk jalan kabupaten dan jalan desa sesuai dengan kewenangannya, maka yang bertanggungjawab adalah Pemerintah Kabupaten.
5. Untuk jalan tol sesuai dengan kewenangannya, maka yang bertanggungjawab adalah Pemerintah Pusat.




IV. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dengan menggunakan menggunakan metode penafsiran sistematis dapat disimpulkan bahwa penyelenggara jalan yang dimaksud dalam Pasal 273 Undang-Undang No.22 tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan, yaitu :
1. Untuk jalan nasional sesuai dengan kewenangannya, maka yang bertanggungjawab adalah Pemerintah Pusat.
2. Untuk jalan propinsi sesuai dengan kewenangannya, maka yang bertanggungjawab adalah Pemerintah Propinsi
3. Untuk jalan kota sesuai dengan kewenangannya, maka yang bertanggungjawab adalah Pemerintah Kota.
4. Untuk jalan kabupaten dan jalan desa sesuai dengan kewenangannya, maka yang bertanggungjawab adalah Pemerintah Kabupaten.
5. Untuk jalan tol sesuai dengan kewenangannya, maka yang bertanggungjawab adalah Pemerintah Pusat.

















Daftar Pustaka

Buku-Buku

1. C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesiam Balai Pustaka, Jakarta, 2002,

2. Haposan Siallagan dan Efik Yusdiansyah, Ilmu Perundang-undangan Indonesia, UHN Press, Medan 2008,

3. Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-undangan, Kanisius, Jakarta, 2007,

4. Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta, Pengantar Ilmu hukum, Buku I, Alumni, Bandung, 2000.

Peraturan Perundang-undangan

1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,
2. Undang-Undang Nomor 38 tahun 2004 tentang Jalan,
3. Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan
Bahan lainnya
1. Harian Pikiran Rakyat terbitan hari Selasa, 13 April 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar