Iklan

Iklan

Iklan

Jumat, 30 April 2010

KEDUDUKAN PERATURAN KEPALA DAERAH/KEPUTUSAN KEPALA DAERAH(GUBERNUR,BUPATI,DAN WALIKOTA) DALAM SISTEM HUKUM NEGARA INDONESIA”

Oleh : Denden Imadudin Soleh.,SH.

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sejak lahirnya Negara Republik Indonesia dengan proklamasi kemerdekaannya, sampai berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat, Undang-Undang Dasar Sementara 1950, Undang-Undang Dasar 1945, dan Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 masalah hierarki perundang-undangan tidak pernah diatur secara tegas. Hierarki peraturan perundang-undangan mulai dikenal sejak dibentuknya Undang-Undang No.1 Tahun 1950 yaitu Peraturan tentang Jenis dan Bentuk Peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat yang ditetapkan pada tanggal 2 Februari 1950.
Dalam Pasal 1 Undang-Undang No.1 tahun 1950 dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 1
Jenis peraturan-peraturan Pemerintah Pusat ialah:
a. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
b. Peraturan Pemerintah
c. Peraturan Menteri
Pasal 2
Tingkat kekuatan peraturn-peraturan Pemerintah Pusat ialah menurut urutannya pada Pasal 1

Selanjutnya hierarki peraturan perundang-undangan ini berturut-turut diatur dalam TAP MPRS No. XX/MPRS/1966, TAP MPR No.III/MPR/2000, dan terakhir diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.

Kehadiran Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang disahkan pada tanggal 22 Juni 2004 dan mulai dilaksanakan pada tanggal 1 November 2005 telah memberikan “angin baru dan segar” dalam pembentukan peraturan perundang-undangan baik di pusat maupun di daerah,

karena dengan kehadirannya telah memberikan landasan yuridis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan baik di tingkat pusat maupun daerah, sekaligus mengatur secara lengkap dan terpadu baik mengenai sistem, asas, jenis dan materi muatan peraturan perundang-undangan, persiapan, pembahasan dan pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan maupun partisipasi masyarakat. Hal ini sangat disadari sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dimaksud, terdapat berbagai macam ketentuan yang berkaitan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan termasuk teknik penyusunan peraturan perundang-undangan yang diatur secara tumpang tindih baik peraturan dari masa kolonial maupun yang dibuat setelah Indonesia merdeka.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 merupakan amanat dari Pasal 22A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 6 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, dimana dimaksudkan untuk membentuk suatu ketentuan yang baku mengenai tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan.

Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang dalam Pasal 7 menyebutkan:
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.
(2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:
a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur;
b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota;
c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.

Dari pasal di atas bisa dilihat bahwa hanya ada 5 (lima) bentuk peraturan perundang-undangan dalam hierarki perturan perundang-undangan yang secara jelas dicantumkan dalam Undang-Undang No.10 tahun 2004.
Lalu kemudian bagaimana dengan kedudukan peraturan kepala daerah/keputusan daerah, Di dalam Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 hasil amandemen menyatakan bahwa,
“Pemerintah Daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”

Dari pasal tersebut bisa kita tafsirkan bahwa pemerintah daerah tidak hanya dapat membuat peraturan daerah, tetapi juga peraturan-peraturan lainnya. Atas dasar latar belakang tersebut maka penulis membuat makalah dengan judul ” KEDUDUKAN PERATURAN KEPALA DAERAH/KEPUTUSAN KEPALA DAERAH(GUBERNUR,BUPATI,DAN WALIKOTA) DALAM SISTEM HUKUM NEGARA INDONESIA”



B. IDENTIFIKASI MASALAH
1. Bagaimana kedudukan Peraturan Kepala Daerah/Keputusan Kepala Daerah dalam Sistem Hukum Negara Indonesia ?

II. PEMBAHASAN

Menurut Supardan Modeong , Guna memahami dimensi-dimensi peraturan perundang-undangan perlu dikemukakan konsepsi dan hakikat perturan perundang-undangan baik peraturan perundang-undangan tingkat pusat maupun tingkat daerah. Peraturan Perundang-undangan daerah, pada hakikatnya meliputi semua peraturan yang dibuat oleh lembaga pemerintahan yang ada baik dalam lingkungan provinsi, kabupaten dan kota, maupun desa. Kewenangan pemerintah daerah untuk pembentukan peraturan daerah sendiri sudah sangat jelas secara atrubutif dicantumkan dalam Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 dan kedudukan peraturan daerahnya sendiri juga telah diatur di dalam Undang-Undang No.10 tahun 2004 sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undang. Lalu bagaimana untuk kedudukan Peraturan Kepala Daerah dan Keputusan Kepala Daerah.
Dalam sistem hukum Indonesia, jenis dan tata urutan (hierarki) peraturan perundang-undangan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang dalam Pasal 7 menyebutkan:
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.
(2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:
a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur;
b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota;
c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Peraturan Desa/peraturan yang setingkat diatur dengan Peraturan Daerah kabupaten/kota yang bersangkutan.
(4) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
(5) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Jika Pasal 7 tersebut tersebut dibaca seakan-akan jenis peraturan perundang-undangan bersifat limitatif, hanya berjumlah 5 (lima) yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah. Hal ini berarti di luar dari kelima jenis tersebut sepertinya bukan dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan.
Namun demikian Pasal 7 ayat (4) dan dalam Penjelasanya disebutkan bahwa,
“Jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat”.

Dari ketentuan Pasal 7 ayat (4) tersebut, jika ditafsirkan secara gramatikal, berdasarkan interpretasi dan logika hukum, serta memperhatikan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, maka jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan dalam Pasal 7 tidak bersifat limitatif hanya yang terdapat dalam Pasal 7 ayat (1) saja. Bahkan jika dikaitkan dengan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 disebutkan,
“Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum”.

Lembaga/pejabat negara yang berwenang dalam hal ini adalah lembaga/pejabat negara baik di Pusat dan Daerah. Setiap lembaga/pejabat negara tertentu dapat diberikan kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan baik oleh Undang_undang Dasar maupun Undang-Undang. Pejabat atau lembaga yang berwenang adalah yang secara atribusi atau delegasi mempunyai kewenangan membuat peraturan perundang-undangan.

Secara umum Pemberian kewenangan dapat dibedakan mejadi dua macam, yaitu
1. Pemberian kewenangan yang sifatnya atributif;
2. Pemeberian kewenangan yang sifatnya derivatif.
Setiap kekuasaan yang timbul karena pengtribusian kekuasaan akan melahirkan kekuasaan yang sifatnya asli (oorspronkelijke). Pengatribusian kekuasaan ini menurut Suwoto disebut sebagai pembentukan kekuasaan, karena dari keadaan yang belum ada menjadi ada. Sedangkan pemberian kekuasaan yang derivative disebut sebagai pelimpahan, karena kekuasaan yang ada dialihkan kepada badan hukum publik lain.

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditafsirkan bahwa Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tidak bersifat limitatif. Artinya, di samping 5 (lima) jenis peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan secara eksplisit dalam Pasal 7 ayat (1), terdapat jenis peraturan perundang-undangan lain yang selama ini secara faktual ada dan itu tersirat dalam rumusan Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.
Sesuai dengan kententuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 hanya mengakui 5 (lima) jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, dan dalam ketentuan Pasal 7 ayat (4) adanya pengakuan terhadap jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Berdasarkan ketentuan ini dapat diperoleh bahwa Peraturan Kepala Daerah/Keputusan Kepala Daerah hanya diakui keberadaan berdasarkan Pasal 7 ayat (4) sepanjang diperintahkan (delegasi), dan untuk Peraturan Kepala Daerah/Keputusan Kepala Daerah ini juga diatur dalam Pasal 146 ayat (1) Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, yaitu :
Untuk melaksanakan Perda dan atas kuasa peraturan perundangundangan, kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah dan atau keputusan kepala daerah.

Dari pasal tersebut bisa kita lihat bahwa Peraturan Kepala Daerah/Keputusan Kepala Daerah ini baru ada bila ada delegasi dari peraturan daerah. Sehingga Peraturan Kepala daerah/Keputusan Kepala Daerah yang didelegasikan oleh Peraturan daerah kedudukannya adalah sebagai peraturan perundang-undangan.

Tetapi selain tentang peraturan perundang-undangan yang menggunakan asas legalitas, didalam konsep Negara kesejahteraan (welfare state) asas legalitas saja tidak cukup untuk dapat berperan secara maksimal dalam melayani masyarakat . akhirnya muncullah apa yang sering disebut dengan Freies ermessen (diskresionare). Pengertian Freies ermessen (diskresionare) sendiri, yaitu salah satu sarana yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya kepada undang-undang. Tercakup dalam arti freies ermessen ini ialah membuat peraturan tentang hal-hal yang belum ada pengaturannya, atau ,mengimplementasikan peraturan yang ada sesuai dengan kenyatan. Pencakupan yang demikian disebut discretionary power. Atas dasar itulah, maka kepala daerah selain delegasi dari peraturan daerah juga mempunyai kekuasaan membentuk Peraturan Kepala Daerah/Keputusan Kepala Daerah yang berasal Freies ermessen dalam hal belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelesaian in konkrito terhadap masalah tertentu, padahal masalah tersebut menuntut penyelesaian yang segera.
Tetapi kedudukan Peraturan Kepala Daerah/Keputusan Daerah yang berdasar dari Freies ermessen ini kedudukannya bukan sebagai peraturan perundang-undangan, tetapi sebagai peraturan kebijaksanaan.




III. KESIMPULAN
Bahwa Peraturan Kepala Daerah/Keputusan Kepala Daerah dalam Sistem Hukum Negara Indonesia ini mempunyai 2 (dua) kedudukan yaitu:
1. Kedudukan sebagai peraturan perundang-undangan bila dasar pembentukannya adalah delegasi dari peraturan daerah (PERDA).
2. Kedudukannya sebagai Peraturan Kebijaksanaan bila dasar pembentukannya adalah Freies Ermessen.
















Daftar Pustaka
Buku
Haposan Siallagan dan Efik Yusdiansyah, Ilmu Perundng-undangan Di Indonesia, UHN Press, Medan, 2008
Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-undangan 1, Kanisius, Yogyakarta, 2007
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Jakarta, Rajarafindo Persada, 2006
SF Marbun dan Mahfud MD, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, cetakan keempat, Liberty, Yogyakarta, 2006
Supardan Modeong, Teknik Perundang-undangan di Indonesia,cetakan kedua Perca,Jakarta, 2004
Perundang-undangan.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 tentan Memorandum DPRGR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia.
TAP MPR No.III/MPR/2000 tentang Sumber hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor.1 Tahun 1950 tentang Jenis dan Bentuk Peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat
Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

Bahan lainnya.

Gunawan Suswantoro, Kedudukan Peraturan/Keputusan Menteri, Peraturan daerah, dan Peraturan Desa, http://www.legalitas.org/ Kedudukan%20Peraturan/Keputusan%20Menteri,%20Peraturan%20Daerah,%20dan%20Peraturan%20Desa.html. Didownload tanggal 20 April 2010

Selasa, 27 April 2010

“PROSES EKSEKUSI TERHADAP BENDA OBJEK PERJANJIAN FIDUSIA YANG BENTUK PERJANJIANNYA BERUPA AKTA DI BAWAH TANGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 19

Oleh : Denden Imadudin Soleh.,SH.


I. latar Belakang

Pembagian benda menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dibagi ke dalam 2 (dua) kelompok besar, yaitu benda bergerak dan tidak bergerak/tetap, pembagian itu membawa pengaruh di dalam cara pembebanannya. Sebagaimana diketahui bahwa menurut sistem hukum kita, dan juga hukum di kebanyakan negara-negara Eropa Kontinental, bahwa jika yang menjadi objek jaminan utang adalah benda bergerak, maka jaminannya diikat dalam bentuk gadai. Dalam hal ini, objek gadai tersebut harus diserahkan kepada pihak yang menerima gadai (kreditur). Sebaliknya, jika yang menjadi objek jaminan hutang adalah benda tidak bergerak, maka jaminan tersebut haruslah berbentuk hipotik (sekarang ada hak tanggungan). Dalam hal ini barang objek jaminan tidak diserahkan kepada kreditur, tetapi tetap dalam kekuasaan debitur.. Akan tetapi terdapat kasus-kasus dimana barang objek jaminan hutang masih tergolong barang bergerak, tetapi pihak debitur enggan menyerahkan kekuasaan atas barang tersebut kepada kreditur, sementara pihak kreditur tidak mempunyai kepentingan, bahkan kerepotan jika barang tersebut diserahkan kepadanya. Ada kalanya pihak kreditur dan pihak debitur sama-sama tidak berkeberatan agar diikatkan jaminan hutang berupa gadai atas hutang yang dibuatnya, tetapi barang yang dijaminkan karena sesuatu dan lain hal tidak dapat diserahkan kepemilikannya kepada hak kreditur.
Atas dasar alasan-alasan semacam itulah masyarakat membutuhkan lembaga jaminan yang lain daripada gadai yang disamping memungkinkan peminjam uang untuk tetap menggunakan benda jaminannya, juga memeberikan perlindungan yang kuat kepada kreditur dalam upaya mendapatkan pelunasan piutang dari debitur dikemudian hari. Akhirnya, muncullah bentuk jaminan baru dimana objeknya benda bergerak, tetapi kekuasaan atas benda tersebut tidak beralih dari debitur kepada kreditur. Yaitu Jaminan Fidusia.
Istilah Jaminan fidusia mempunyai pengertian yang berbeda dengan istilah fidusia. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.menjelaskan bahwa,
Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentun bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.

Sedangkan dalam Pasal 1 angka 2 Undng-Undang No 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.menjelaskan bahwa,
Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerk khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No.4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.

Pengertian jaminan fidusia di atas dengan jelas menggambarkan, bahwa jaminan fidusia merupakan hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan pelunasan (pembayaran) utang debitur kepada kreditur. Tetapi untuk menjamin kepastian hukum bagi kreditur maka dibuat akta yang dibuat oleh notaris dan didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia.. Nanti kreditur akan memperoleh sertifikat jaminan fidusia yang di dalamnya dicantumkan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian, memiliki kekuatan hak eksekutorial langsung apabila debitor melakukan pelanggaran perjanjian fidusia kepada kreditor (parate eksekusi), sesuai UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.
Saat ini, banyak lembaga pembiayaan (finance) dan bank (bank umum maupun perkreditan) menyelenggarakan pembiayaan bagi konsumen (consumer finance), sewa guna usaha (leasing), anjak piutang (factoring). Mereka umumnya menggunakan tata cara perjanjian yang mengikutkan adanya jaminan fidusia bagi objek benda jaminan fidusia.
Prakteknya lembaga pembiayaan menyediakan barang bergerak yang diminta konsumen (semisal motor atau mesin industri) kemudian diatasnamakan konsumen sebagai debitur (penerima kredit/pinjaman). Konsekuensinya debitur menyerahkan kepada kreditur (pemberi kredit) secara fidusia. Artinya debitur sebagai pemilik atas nama barang menjadi pemberi fidusia kepada kreditur yang dalam posisi sebagai penerima fidusia.
Praktek sederhana dalam jaminan fidusia adalah debitur/pihak yang punya barang mengajukan pembiayaan kepada kreditur, lalu kedua belah sama-sama sepakat mengunakan jaminan fidusia terhadap benda milik debitur dan dibuatkan akta notaris lalu didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Kreditur sebagai penerima fidusia akan mendapat sertifkat fidusia, dan salinannya diberikan kepada debitur. Dengan mendapat sertifikat jaminan fidusia maka kreditur/penerima fidusia serta merta mempunyai hak eksekusi langsung (parate eksekusi), seperti terjadi dalam pinjam meminjam dalam perbankan. Kekuatan hukum sertifikat tersebut sama dengan keputusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Fakta di lapangan menunjukan, lembaga pembiayaan dalam melakukan perjanjian pembiayaan mencamtumkan kata-kata dijaminkan secara fidusia. Tetapi ironisnya tidak dibuat dalam akta notaris dan tidak didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia untuk mendapat sertifikat. Akta semacam itu dapat disebut akta jaminan fidusia di bawah tangan. Jika penerima fidusia mengalami kesulitan di lapangan, maka ia dapat meminta pengadilan setempat melalui juru sita membuat surat penetapan permohonan bantuan pengamanan eksekusi.
Dengan demikian, memiliki kekuatan hak eksekutorial langsung apabila debitor melakukan pelanggaran perjanjian fidusia kepada kreditor (parate eksekusi), sesuai UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. Lalu, bagaimana dengan perjanjian fidusia yang tidak di buatkan akta notaris dan didaftarkan di kantor pendaftaran fidusia alias dibuat dibawah tangan ?.




II. Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses eksekusi terhadap benda objek perjanjian fidusia yang perjanjian tidak dibuatkan akta notaris dan tidak didaftarkan di kantor pendaftaran fidusia (bentuk perjanjiannya akta bawah tangan) menurut Undang-Undang No 42 tahun 1999 ?

III. PEMBAHASAN
Berbagai kepustakaan hukum indonesia memakai bermacam-macam istilah untuk menterjemahkan ”Verbintenis” dan ”Overeenkomst ” yaitu :
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Subekti dan Tjiptosudibio , menggunakan istilah Perikatan untuk ”Verbintenis” dan Persetujuan untuk ”Overeenkomst”
2. Utrecht dalam bukunya Pengantar Dalam Hukum Indonesia memakai istilah perutangan sebagai terjemahan dari ”verbintenis” dan Perjanjian untuk ”Overeenkomst”.
Pengertian perjanjian ada dalam Pasal 1313 KUHPerdata dan sumber perikatan ada dalam Pasal 1233 KUHPerdata. Perbedaan antara perjanjian dan perikatan yaitu perjanjian adalah peristiwa hukum dan perikatan adalah hubungan hukum. Dalam perikatan ada pihak kreditur yaitu yang berhak atas prestasi dan pihak debitur yang berkewajiban untuk berprestasi. Pada pihak debitur terdapat schuld yaitu hutang atau kewajiban berprestasi tergantung dari perikatannya dan ada haftung jaminan untuk pelunasan hutang yaitu jaminan yang ditentukan dalam Pasal 1131 KUHPerdata. Subyek perikatan kreditur dan debitur sedangkan obyek perikatan yaitu prestasi yang ada dalam Pasal 1234 KUHPerdata yaitu: memberi sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Begitu pun Menurut Riduan Syahrani perikatan adalah hubungan hukum antara dua di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu (kreditur) berhak atas prestasi dan pihak yang lain (debitur) berkewajiban memenuhi prestasi itu.
Dari perumusan di atas,bisa dilihat bahwa Perikatan memiliki empat unsur, yaitu :
a. hubungan hukum adalah hubungan yang terhadapnya hukum melekatkan hak pada satu pihak dan melekatkan kewajiban pada pihak lainnya
b. Dalam lapangan hukum kekayaan (Apabila hubungan hukum itu dapat dinilai dengan uang, maka hubungan hukum tersebut merupakan suatu perikatan)
c. hubungan antara kreditur dan debitur (Apabila hubungan hukum tadi dijajaki lebih jauh lagi maka hubungan hukum itu harus terjadi antara dua orang atau lebih, yaitu pihak yang aktif adalah kreditur atau yang berpiutang dan pihak yang pasif adalah debitur atau yang berutang)
d. Isi Perikatan (prestasi/obyek hukum). (Menurut pasal 1234 KUHPerdata, bahwa prestasi dibedakan atas : a) memberikan sesuatu, b) berbuat sesuatu, c) tidak berbuat sesuatu)
Dan bila dilihat dari sumbernya, Perikatan ini bersumber . dari :
1. perjanjian
2. undang-undang
dan untuk lebih jelasnya bisa melihat bagan dibawah.
PERIKATAN
1233 KUHPerdta

Perjanjian Undang-Undang
1313 KUHPerdta 1352 KUHPerdta

Undang2 dan perbuatan manusia undang-undang
1353 KUHPerdta 321 KUHPerdta

Yang rechtmatig yang onrechtmatig
1354&1359 KUHPerdta 1365 KUHPerdta

Lalu untuk pembagian jenis perikatan, R Setiawan menyatakan bahwa Perikatan dapat dibedakan menurut :
A. Isi daripada prestasinya :
1. Perikatan positif dan negatif
2. Perikatan sepintas lalu dan berkelanjutan
3. Perikatan alternatif
4. Perikatan fakultatif
5. Perikatan generik dan spesipik
6. perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi
B. Subjek-subjeknya :
1. Perikatan solider atau tanggung renteng
2. Perikatan principle atau acccessoire.
C. Mulai berlakunya dan berakhirnya perikatan :
1. Perikatan bersyarat
2. Perikatan dengan ketentuan waktu.
Kemudian bagaimana dengan perjanjian yang menggunakan Jaminan, untuk jaminan sendiri sebenarnya masuk dalam Hak Kebendaan yang diatur dalam Buku II KUHPerdata, Hak Kebendaan yang bersifat memberi jaminan ini juga ada beberapa macam, Riduan Syahrani menyatakan ada 5 hak kebendaan yang bersifat nenberi jaminan, yaitu :
1. Hak Gadai ( Hak yang diperoleh kreditur atas suatu bend bergerak, yang diberikan kepadanya oleh debitur atau orang lain atas debitur sebagai jaminan pembayaran dan memberikan hak kepada kreditur untuk mendapat bayaran lebih dahulu daripada kreditur-kreditur lainnya atas hasil penjualan benda jaminan) .
2. Jaminan Fidusia ( hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerk khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No.4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya).
3. Hak Tanggungan (Hak Jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditu lain).
4. Hipotik (Hak kebendaan atas benda-benda tidak bergerak untuk mengambil penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu perikatan ).
5. Privilege (Kedudukan istimewa yang diberikan undang-undang kepada orang-orang yang berpiutang sehingga tingkatannya lebih tinggi dari orang yang berpiutang lainnya, semata-mata berdasrkan sifat piutangnya).
Sesuai judul di atas yang akan dibahas lebih lanjut adalah bagaimana dengan Perjanjian yang menggunakan Jaminan fidusia, Jaminan Fidusia sendiri memiliki berbagai sifat, seperti :
1. Perjanjian jaminan fidusia merupakan perjanjian accessoir atau perjanjian tambahan/perjanjian ikutan. Akta jaminan dibuat oleh Notaris.
2. Selalu mengikuti bendanya (droit de suite ).
3. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak yang berkepentingan.
4. Apabila debitur wanprestasi maka dalam melaksanakan eksekusi dapat dengan lembaga parate executie.
5. Dalam jaminan fidusia memuat hak mendahulu disebut juga hak preference artinya penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditur lain dalam pelunasan piutangnya.
Setelah melihat sifat dari perjanjian fidusia ini, lalu bagimana dengan Perjanjian yang menggunakan jaminan fidusia yang pembebanan bendanya tidak menggunakan akta otentik dan tidak didaftarkan, sedangkan dalam Undang-Undang No.42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia,
Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa,
Pembebanan Benda dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan akta notaris dalam Bahasa Indonesia dan merupakan akta Jaminan Fidusia.

Kemudian Pasal 11 ayat (1) menyatakan bahwa,
Benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia wajib didaftarkan.

Definisi dari akta otentik sendiri bisa kita lihat dalam pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang mengatakan bahwa:
“akta otentik adalah akta yang (dibuat) dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai2 umum yang berkuasa untuk itu, ditempat dimana akta dibuatnya.”


Jadi, apabila di ambil poin-poinnya, maka yang dimaksud sebagai akta otentik harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Bentuknya sesuai UU (Bentuk dari akta notaris, akta perkawinan, akta kelahiran dll sudah ditentukan format dan isinya oleh Undang-Undang. Namun ada juga akta-akta yang bersifat perjanjian antara kedua belah pihak yang isinya berdasarkan kesepakatan dari kedua belah pihak sesuai dengan azas kebebasan berkontrak).
2. Dibuat di hadapan pejabat umum yg berwenang
3. Kekuatan pembuktian yang sempurna
4. Kalau disangkal mengenai kebenarannya, maka penyangkal harus membuktikan
mengenai ketidak benarannya
Apakah yang berhak untuk membuat akta otentik hanyalah Notaris? Tentu saja tidak, karena yang dimaksud dengan “pejabat umum yang berwenang” itu sendiri adalah pejabat yang memang diberikan wewenang dan tugas untuk melakukan pencatatan tersebut, misalnya: Pejabat KUA atau pejabat catatan sipil yang bertugas untuk mencatat perkawinan, kelahiran dan kematian, PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) dan lain sebagainya.
Berbeda dengan akta otentik, akta di bawah tangan memiliki ciri dan kekhasan tersendiri, berupa:
1. Bentuknya yang bebas
2. Pembuatannya tidak harus di hadapan pejabat umum
3. Tetap mempunyai kekuatan pembuktian selama tdk disangkal oleh pembuatnya
4. Dalam hal harus dibuktikan, maka pembuktian tersebut harus dilengkapi juga dengan saksi-saksi & bukti lainnya. Oleh karena itu, biasanya dalam akta di bawah tangan, sebaiknya dimasukkan 2 orang saksi yang sudah dewasa untuk memperkuat pembuktian.
Melihat dari tentang perbedaan akta otentik dan akta di bawah tangan di atas, Untuk perjanjian jaminan fidusianya sendiri, seperti yang telah dicantumkan di atas bahwa Perjanjian jaminan fidusia merupakan perjanjian accessoir atau perjanjian tambahan/perjanjian ikutan, untuk itu perjanjian pokoknya tetap sah meskipun perjanjian jaminannya pembebanan bendanya tidak menggunakan akta otentik dan tidak didaftarkan, tetapi untuk tindakan eksekutorialnya tidak bisa dilaksanakan dengan lembaga parate executie (eksekusi langsung), karena seperti yang dicantumkan dalam Undang No.42 tahun 1999 tentang Fidusia di dalam Pasal 15 menyatakan bahwa,
Ayat (2) Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Ayat (3) Apabila debitor cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri

Dari pasal tersebut bisa kita lihat bahwa hanya yang memiliki Sertifikat Jaminan Fidusia (yang dibuat dengan akta otentik dan didaftarkan) yang mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sehingga bagi perjanjian dengan jaminan fidusia yang dibuat dengan akta dibawah tangan dan tidak didaftarkan ketika debitur wanprestasi atau cidera janji tidak bisa menggunakan lembaga parate executie (eksekusi langsung), tetapi Proses eksekusinya tetap harus dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri melalui proses hukum acara yang normal hingga turunnya putusan pengadilan.















IV.KESIMPULAN
Bahwa Menurut Undang-Undang No.42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, hanya yang memiliki Sertifikat Jaminan Fidusia (yang dibuat dengan akta otentik dan didaftarkan) yang mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sehingga bagi perjanjian dengan jaminan fidusia yang dibuat dengan akta dibawah tangan dan tidak didaftarkan ketika debitur wanprestasi atau cidera janji tidak bisa menggunakan lembaga parate executie (eksekusi langsung), tetapi Proses eksekusinya tetap harus dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri melalui proses hukum acara yang normal hingga turunnya putusan pengadilan.
.







Referensi
Buku-buku:
Munir Fuady, Jaminan Fidusia, Citra Aditya Bakti, 2000.
J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.
-----------, HUKUM PERIKATAN Perikatan Pada Umumnya, Alumni, Bandung, 1999
Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 2004.
R Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT Pradnya Paramita, edisi revisi, 1992.
R Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, cetakan keenam, Putra A Bardin, Bandung, 1999
Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Balai Buku Ikhtiar, Jakarta, 1959.

Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

.

Jumat, 23 April 2010

”KEWENANGAN GUBERNUR SEBAGAI WAKIL PUSAT DALAM MEMBERIKAN SANKSI TERHADAP BUPATI/WALIKOTA MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 19 TAHUN 2010”

Oleh: Denden Imadudin Soleh.,S.H.

I. Latar Belakang

Terbitnya UU No. 32 tahun 2004 merupakan upaya perbaikan yang dilakukan pemerintah pusat terhadap UU No.22 tahun 1999. Beberapa kelemahan dalam UU No. 22 tahun 1999 memiliki implikasi negatif terhadap pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Salah satunya adalah “tidak dihormatinya” kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah. Kecenderungan “tidak dihormatinya” kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah ini disebabkan oleh dua hal .
Pertama, karena UU No.22 tahun 1999 menegaskan titik berat pelaksanaan otonomi daerah ada di kabupaten dan kota. Kedua, karena UU tersebut juga menegaskan tidak adanya hubungan hierarki antara pemerintah provinsi dengan kabupaten dan kota. Sayangnya tafsiran UU ini pun dilakukan secara tekstual sehingga para penguasa di kabupaten dan kota menafikan kedudukan gubernur ini. Akibatnya jalannya pemerintah daerah tidak sesuai dengan apa yang diharapkan banyak pihak.

Kehadiran UU No. 32 tahun 2004 menggantikan UU No.22 tahun 1999 telah mengubah cara pandang daerah kabupaten dan kota terhadap provinsi. Ini karena kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah telah diatur kembali dalam pelaksanaan otonomi daerah itu. Ini jelas membawa keuntungan bagi pemerintah pusat terutama dalam mengendalikan pelaksanaan otonomi daerah yang sebelum ini dianggap bermasalah.
Dalam Pasal 38 ayat (1) UU No. 32 tahun 2004 dijelaskan bahwa, kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah memiliki fungsi pembinaan, pengawasan dan koordinasi urusan pemerintahan di daerah serta tugas pembantuan. Namun penjabaran lebih lanjut apa yang mesti dibina, diawasi dan dikoordinasikan atau bagaimana mekanismenya baru diatur oleh pemerintah pusat pada tahun 2010 ini dengan terbitnya PP No.19 Tahun 2010. Tetapi meskipun penjabaran lebih lanjut mengenai Kedudukan Gubernur sebagai wakil pemerintah ini, permasalahan lainnya adalah adanya Pernyataan Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Sodjuangon Situmorang saat menghadiri rapat koordinasi kepala daerah di Padang, bahwa “dengan diterbitkannya PP No.10 tahun 2010, sangat memungkinkan bila gubernur memberhentikan wali kota atau bupati yang tidak loyal pada keppres maupun peraturan daerah (perda)”. Dan masalah tersebut mendapat respon dari berbagai pakar otonomi daerah yang menganggap bahwa kewenangan Gubernur tidak sampai sejauh itu. Atas dasar latar belakang tersebut penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Sampai sejauhmana kewenangan yang dimiliki oleh Gubernur dalam memberikan sanksi terhadap bupati/walikota menurut Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang Serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Di Wilayah Provinsi?.

II. PEMBAHASAN

Prajudi Atmosudirdjo mengatakan kita perlu membedakan antara wewenang (competence, bovoegdheid) dan Kewenangan (authority, gezag), walaupun dalam praktek pembedaan tersebut tidak selalu dirasakan perlu. Kewenangan apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan legislatif (diberi oleh undang-undang) atau dari kekuasaan eksekutif administratif. Kewenangan atau wewenang adalah suatu istilah yang biasa digunakan dalam lapangan hukum publik. Namun sesungguhnya terdapat perbedaan diantara keduanya. Kewenangan adalah apa yang disebut “kekuasaan formal”, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh Undang-undang atau legislatif dari kekuasaan eksekutif atau administratif. Karenanya, merupakan kekuasaan dari segolongan orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan atau urusan pemerintahan tertentu yang bulat. Sedangkan “wewenang” hanya mengenai suatu bagian tertentu saja dari kewenangan.
Sumber kewenangan yang menjadi pegangan untuk melakukan tindakan administrasi negara adalah Secara teoritis diperoleh melalui tiga cara yaitu Atribusi, delegasi, dan Mandat . Mengenai Atribusi, delegasi, dan mandat ini, H.D.Van Wijk/ Willem Konijnenbelt mendefinisikan sebagai berikut :
Atribusi : Pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan
Delegasi : Pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya.
Mandat: Terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya.
Dalam hal pelimpahan wewenang pemerintahan melalui delegasi terdapat syarat-syarat sebagai berikut :
1. Delegasi harus definitif dan pemberi delegasi (delegans) tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu.
2. Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan kalo ada ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan.
3. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hierarki kepegawaian yang tidak diperkenankan adanya delegasi.
4. Kewajiban memberikan keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut.
5. Peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya delegans memberikan instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.
Sedangkan ciri pokok mandat adalah suatu bentuk perwakilan. Mandataris berbuat atas nama yang diwakili.sehingga mandataris bertanggungjawab kepada pemberi mandat.
Dalam kajian Hukum Administrasi Negara, mengetahui sumber dan cara memperoleh kewenangan organ pemeintahan ini penting, karena berkenaan dengan pertanggungjawaban hukum dalam penggunaan wewenang tersebut, seiring dengan prinsip dalam Negara hukum, yaitu tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban. Didalam setiap kewenangan kepada pejabat pemerintahan tertentu tersirat pertanggungjawaban dari pejabat yang bersangkutan. .
Pembahasan masalah kedudukan dan kewenangan gubernur tidak lepas dari konsepsi pemerintahan secara keseluruhan. Harus dipahami, pemerintahan daerah merupakan subsistem dari sistem pemerintahan negara secara keseluruhan.seperti yang dicantumkan dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa:
Presiden republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.
Dalam pelaksanaannya, Pemerintah Pusat bisa melaksanakannya dengan cara sentralisasi (pemusatan kekuasaan) atau Desentralisasi. Dalam pengertian umum Desentralisasi adalah setiap bentuk atau tindakan memencarkan kekuasaan atau wewenang dari suatu organisasi, jabatan, atau pejabat. Dengan demikian, dekonsentrasi dalam pengertian umum dapat dipandang sebagai suatu bentuk desentralisasi, karena mengandung unsur pemencaran kekuasaan . Dalam kaitan dengan pemerintahan otonom, desentralisasi hanya mencakup pemencaran kekuasaan di bidang otonomi. Van Der Pot menggambarkan desentralisasi dengan menyebutkan bahwa, tidak semua peraturan dan penyelenggaraan pemerintahan dilakukan dari pusat. Pelaksanaan pemerintahan dilakukan baik oleh pusat maupun berbagai badan otonom. Badan-badan otonom ini dibedakan antara desentralisasi teritoial (territoriale decentralisatie) dan desentralisai fungsional (functioneele decentralisatie).dan Bentuk desentralisasi itu menurut Van Der Pot dapat dibedakan antara otonomi dan tugas pembantuan . Dalam pelaksanaannya di Indonesia Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan ini diamanatkan Undang-Undang Dasar untuk menjalankan kekuasaannya ini sesuai bentuk/susunan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Sistem pemencaran kekuasaan seperti yang tercantum dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan Kedua yang menyatakan bahwa :
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daearah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaen, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.
(2) Pemerintahan daerah provisi, pemerintahan kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan dan tugas pembantuan.
Dari isi pasal diatas bisa dilihat bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas susunan daerah-daerah dibawahnya secara hierarkis, yaitu dibagi atas provinsi, dan provinsi dibagi lagi atas daerah kabupaten dan kota sesuai prinsip pembagian secara kekuasaan secara vertikal (territorial or regional division of power) dan setiap daerah provinsi dan daerah kabupaten/ kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang. Dari isi pasal diatas dapat ditafsirkan bahwa basis otonomi itu ditetapkan bukan hanya di tingkat kabupaten dan kota, tetapi juga di tingkat provinsi. Dengan demikian struktur pemerintahan berdasarkan ketentuan ini terdiri dari atas tiga tingkatan yang masing-masing mempunyai otonominya sendiri-sendiri, yaitu pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/ kota. Akibatnya, agar bekerjanya sistem pemerintahan yang efektif menjadi sulit terkonsolidasi karena masing-masing unit organisasi pemerintahan di setiap tingkatan bersifat otonom. Untuk mengatasi hal itu, perlu dikembangkan pengertian-pengertian yang berbeda-beda antara otonomi di tingkat provinsi, otnomi di tingkat kabupaten, dan otonomi di tingkat kota. Perbedaan itu dapat diatur dengan undang-undang, sehingga interdependensi masing-masing unit pemerintahan dapat dikonsolidasikan secara efektif
Seperti yang ditegaskan diatas bahwa prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, prinsip baru ini lebih sesuai dengan gagasan daerah membentuk daerah sebagai satuan pemerintahan mandiri di daerah yang demokratis.Tidak ada lagi unsur pemerintahan sentralisasi dalam pemerintahan daerah. Gubernur, Bupati, dan Walikota semata-mata sebagai penyelenggara otonomi di daerah. Ini tidak berarti, pembentukan satuan pemerintahan dekonsentrasi di daerah menjadi terlarang. Sepanjang diperlukan, untuk efisiensi dan efektivitas, satuan pemerintahan pusat yang menyelenggarakan urusan pemerintahan tertentu di daerah dapat membentuk satuan pemerintahannya di daerah. Tetapi satuan atau badan tersebut, tidak termasuk dalam sistematika pemerintahan daerah.Satuan atau badan tersebut adalah unsur pemerintahan pusat di daerah. Inilah yang di maksud dekonsentrasi.
Walaupun demikian, pembentukan satuan atau badan pemerintahan pusat di daerah harus dilakukan dengan cermat. Mungkin untuk hal-hal tertentu akan lebih efisien dan atau efektif, apabila penyelenggaraan urusan pusat di daerah dilakukan melalui tugas pembantuan daripada menyelenggarakan sendiri. Selanjutnya seperti ditegaskan dalam Pasal 18 hasil perubahan Kedua, pemerintahan daerah diselenggarakan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Dengan demikian tidak ada unsur dekonsentrasi .
Berbeda dengan isi Pasal 18 UUD 1945 sebelum amandemen yang menyatakan bahwa :
Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa
Pasal di atas tidak menegaskan bentuk, susunan dan prinsip-prinsip pengaturan daerahnya secara spesifik,hanya menegaskan pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang. Sangat berbeda dengan Pasal 18 UUD 1945 amandemen Kedua yang menegaskan di dalam isi pasalnya menegaskan bentuk-bentuk daerahnya menjadi provinsi, dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaen, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah. Di pasal tersebut juga menegaskan bahwa Pemerintahan daerah provisi, pemerintahan kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan dan tugas pembantuan
Meskipun di Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 Amandemen Kedua menyatakan bahwa Pemerintahan daerah provisi, pemerintahan kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan dan tugas pembantuan Tetapi dalam praktek penyelenggaraan otonomi daerah, pembentuk undang-undang tetap memberikan kedudukan terhadap Gubernur sebagai wakil pusat dalam rangka dekonsentrasi.
Seperti yang ditegaskan dalam Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 bahwa Pemerintahan daerah provisi, pemerintahan kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Atas dasar itu, Bagir Manan menyebutkan bahwa setelah adanya amandemen terhadap Pasal 18 UUD 1945 ini tidak ada lagi unsur pemerintahan sentralisasi (dekonsentrasi) dalam pemerintahan daerah. . Tetapi Bagir Manan juga menjelasakan bahwa ini tidak berarti pembentukan satuan pemerintahan dekonsentrasi di daerah menjadi terlarang. Sepanjang diperlukan, untuk efisiensi dan efektivitas, satuan pemerintahan pusat yang menyelenggarakan urusan pemerintahan tertentu di daerah dapat membentuk satuan pemerintahannya di daerah. Tetapi satuan badan tersebut, tidak termasuk dalam sistematika pemerintahan daerah. Dan Ni’matul Huda juga berpendapat bahwa dianutnya desentralisasi dalam organisasi negara tidak berarti ditinggalkannya asas sentralisasi, karena asas tersebut tidak bersifat dikotomis, melainkan kontinum.Pada prinsipnya, tidaklah mungkin diselenggarakan desentralisasi tanpa sentralisasi, sebab desentralisasi tanpa sentralisasi, akan menghadirkan disintegrasi.
Berdasarkan paparan diatas jelas bahwa UU No.32 Tahun 2004 memposisikan Gubernur dalam 2 kedudukan, yaitu sebagai Kepala Daerah Otonom yang kewenangannya atas delegasi dan sebagai Wakil Pemerintah Pusat di daerah yang jelas sekali kewenangannya atas dasar mandat karena kewenangannya mewakili pusat dan atas kedudukannya sebagai wakil pusat Gubernur harus bertanggungjawab kepada Presiden . Seperti yang dibahas dalam latarbelakang, maka yang akan ditelusuri lebih lanjut adalah masalah kewenangan Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat.
Dalam Pasal 38 ayat (1) UU No. 32 tahun 2004 dijelaskan bahwa,
kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah memiliki fungsi pembinaan, pengawasan dan koordinasi urusan pemerintahan di daerah serta tugas pembantuan.

Dari isi pasal di atas bisa kita lihat bahwa dalam pelaksanaan otonomi daerah Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah memiliki kewenangan dalam melakukan pembinaan, pengawasan dan koordinasi urusan pemerintah di daerah. Lalu bagaimana tata cara pelaksanaan kewenangan tersebut.


Dalam Pasal 4 Perturan Pemerintah No.19 tahun 2010 menjelaskan bahwa,
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), gubernur sebagai wakil Pemerintah memiliki wewenang meliputi:
a. mengundang rapat bupati/walikota beserta perangkat daerah dan pimpinan instansi vertikal;
b. meminta kepada bupati/walikota beserta perangkat daerah dan pimpinan instansi vertikal untuk segera menangani permasalahan penting dan/atau mendesak yang memerlukan penyelesaian cepat;
c. memberikan penghargaan atau sanksi kepada bupati/walikota terkait dengan kinerja, pelaksanaan kewajiban, dan pelanggaran sumpah/janji;
d. menetapkan sekretaris daerah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. mengevaluasi rancangan peraturan daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, pajak daerah, retribusi daerah, dan tata ruang wilayah kabupaten/kota;
f. memberikan persetujuan tertulis terhadap penyidikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota;
g. menyelesaikan perselisihan dalam penyelenggaraaan fungsi pemerintahan antarkabupaten/kota dalam satu provinsi;
dan
h. melantik kepala instansi vertikal dari kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian yang ditugaskan di wilayah provinsi yang bersangkutan.

Sesuai dengan permasalah sebelumnya, yang akan dibahas dalam hal ini yaitu Pasal 4 huruf c yaitu, memberikan penghargaan atau sanksi kepada bupati/walikota terkait dengan kinerja, pelaksanaan kewajiban, dan pelanggaran sumpah/janji.
Pemasalahan selanjutnya adalah dalam hal tindakan seperti apa bupati/walikota dapat diberi sanksi dan sanksi seperti apa yang bisa diberikan oleh Gubernur terhadap bupati/walikota.
Bila kita menggunakan penafsiran sistematis maka setidaknya ada 6 tindakan bupati/walikota yang bisa diberi sanksi, yaitu :
1. Bupati/walikota dapat diberi sanksi jika tidak melaksanakan kewajiban berupa menaati dan menegakkan semua peraturan perundang-undangan, menjaga etika dan norma pemerintahan sebagaimana diatur dalam pasal 27 UU No. 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan daerah dan pasal 9 PP No. 38 tahun 2007 Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
2. Melanggar larangan bagi bupati/walikota antara lain membuat keputusan yang memberikan keuntungan bagi diri, keluarga, kroni, kelompok tertentu, kelompok politik yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, merugikan kepentingan umum, meresahkan sekelompok masyarakat, mendiskriminasikan golongan tertentu sebagaimana diatur dalam pasal 28 UU No.32 tahun 2004.
3. Melanggar sumpah/janji sebagaimana diatur dalam pasal 110 UU No. 32 tahun 2004.
4. Jika kinerja bupati/walikota rendah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah yang diukur berdasarkan pasal 58 PP No. 6 tahun 2008 Tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
5. Jika bupati/walikota tidak melaksanakan norma standar prosedur dan kriteria (NSPK) dan tidak melaksanakan pelayanan dasar sesuai dengan standar pelayanan minimal (SPM) sebagaimana diatur dalam pasal 17 PP 38 tahun 2007 dan psl 19 (1) PP 65 tahun 2005 Tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal.
6. Tidak mengindahkan hasil pembinaan dan pengawasan yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah sebagaimana mestinya sebagaimana diatur dalam pasal 45 ayat 2 PP 79 tahun 2005 Tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Lalu cara dan bentuk sanksi seperti apa yang bisa diberikan Gubernur terhadap bupati/walikota, PP 19 tahun 2010 ini juga tidak spesifik mengaturnya. Untuk bentuk sanksi bisa dilakukan penfsiran sistematis, dan bisa dilihat dari Pasal 45 ayat PP No.79 tahun 2005,yaitu:
(1) Untuk mengoptimalkan fungsi pembinaan dan pengawasan, Pemerintah dapat
menerapkan sanksi kepada kepala daerah atau wakil kepala daerah, anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, perangkat daerah, pegawai negeri sipil daerah, kepala
desa, perangkat desa, dan anggota badan permusyawaratan desa apabila terdapat
pelanggaran dan penyimpangan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
(2) Sanksi pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berupa:
a. penataan kembali suatu daerah otonom;
b. pembatalan pengangkatan pejabat;
c. penanggguhan dan pembatalan suatu kebijakan daerah;
d. administratif; dan/ atau
e. finansial.
Dari kelima bentuk sanksi di atas mungkin hanya empat yang bisa dilakukan oleh Gubernur, yaitu pembatalan pengangkatan pejabat, penangguhan dan pembatalan suatu kebijakan daerah, administratif , dan sanksi finansial; karena untuk penataan kembali daerah otonom itu tidak pada kewenangan tingkat Gubernur. Lalu bagaimana dengan sanksi berupa pemberhentian bupati/walikota apabila melanggar sumpah/janji, tidak melaksanakan kewajiban dan melanggar larangan kepala daerah, untuk hal tersebut sudah jelas di cantumkan di dalam Pasal 29 ayat (4) huruf a bahwa,
Pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah diusulkan. kepada Presiden berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRD bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan dan atau tidak melaksanakan kewajiban. kepala daerah dan wakil kepala daerah

Jadi dalam hal ini pemberhentian bupati/walikota ini bukan wilayah kewenangan pemberian sanksi yang dimiliki oleh gubernur. Dan untuk cara penerepannya, karena tidak diatur secara spesifik dalam PP 19 tahun 2010 ini, maka gubernur dapat menggunakan kewenangan diskresi (discretionary power) berdasarkan penilaian sendiri yang dijamin oleh aturan untuk mengambil kebijakan, keputusan dan tindakan terhadap kinerja bupati/walikota serta menerapkan sanksi bagi yang dinilai menyimpang dari aturan. Diskresi memang diperlukan karena lingkup aturan yang ada selama ini belum mampu menjangkau secara komprehensif bagaimana gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dalam menjalankan fungsi pembinaan, pengawasan dan koordinasi atas bupati/walikota dalam menjalankan tugas, wewenang dan tanggungjawabnya dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan. Agar tidak menciptakan kesewenang-wenangan baru, diskresi yang membolehkan pejabat publik melakukan sebuah kebijakan dimana undang-undang belum mengaturnya harus berdasarkan pertimbangan untuk mengisi terjadinya kekosongan hukum, demi kepentingan negara, demi kepentingan umum, harus dalam batas wilayah kewenangannya, dan/atau diskresi tidak melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Oleh karena itu, Gubernur telah dapat menjatuhkan sanksi sesuai dengan kadar pelanggaran yang dlakukan oleh bupati/walikota. Namun agar PP ini dapat berjalan lebih efektif, Pemerintah pusat harus segera menerbitkan pedoman penentuan dan tatacara penerapan sanksi.

III. KESIMPULAN

kewenangan yang dimiliki oleh Gubernur dalam memberikan sanksi terhadap bupati/walikota adalah :
1) pembatalan pengangkatan pejabat,
2) penangguhan dan pembatalan suatu kebijakan daerah,
3) administratif , dan
4) sanksi financial
dan untuk penerapan sanksinya gubernur dapat menggunakan kewenangan diskresi (discretionary power) yang berpedoman pada Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik.












Daftar Pustaka
Buku-buku:
Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah,Yogyakarta: Pusat Studi Hukum(PSH) Fakultas Hukum UII,2001
Jimly Asshiddiqie, Komentar Atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sinar Grafika, 2009
Ni’matul Huda, Pengawasan Pusat Terhadap Daerah Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, FH UII Press, Yogyakarta, 2007
Pipin Syaripin dan Dedah Jubaedah, Hukum Pemerintahan Daerah, Pustaka Bani Quraisy, Bandung, 2005
Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Edisi revisi Ilmu Administrasi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1995.
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Jakarta, Rajarafindo Persada, 2006.

Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Perturan Pemerintah Nomor 65 tahun 2005 Tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal
Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2005 Tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2008 Tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang Serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Di Wilayah Provinsi
Bahan Lainnya:
http:www.legalitas.org. Asrinaldi A, Benarkah Gubernur Wakil Pemerintah di Daerah?, ARTIKEL HUKUM TATA NEGARA , Dikirim/ditulis pada 14 June 2008,
http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=48091 (Koran Jakarta – Selasa, 23 Maret 2010)

Senin, 19 April 2010

Penafsiran terhadap maksud penyelenggara jalan dalam Pasal 273 UU No.22 tahun 2009

oleh : Denden Imadudin Soleh,.S.H.

I. Latarbelakang

Ada berita yang menarik di harian Pikiran Rakyat terbitan tanggal 13 April 2010, yaitu tentang berita yang berjudul ”Jalan pun harus ber-SNI” berita tersebut berisi tentang aksi dari Forum Club Motor Bandung (FCMB) yang mendesak Pemerintah Kota Bandung untuk segera memperbaiki jalan yang rusak di Kota Bandung, karena menurut mereka kerusakan jalan dinilai turut andil sebagai penyebab kecelakaan lalu lintas.salah seorang Ketua FCMB berujar bahwa “kalau helm ada yang SNI,jalan juga harus SNI”.
Di dalam Undang-Undang No.22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan memang disebutkan di Pasal 203 ayat (1) bahwa,
“Pemerintah bertanggung jawab atas terjaminnya Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan”

dan di Pasal 24 ayat (1),
Penyelenggara Jalan wajib segera dan patut untuk memperbaiki Jalan yang rusak yang dapat mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas.

Dan di ayat (2)-nya,
Dalam hal belum dapat dilakukan perbaikan Jalan yang rusak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara Jalan wajib memberi tanda atau rambu pada Jalan yang rusak untuk mencegah terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas.

bahkan di Pasal 273 yang memuat ketentuan Pidana ini menyebutkan bahwa, untuk Penyelenggara Jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki Jalan yang rusak dapat di berikan sanksi pidana apabila, Pertama, menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan Kendaraan dan/atau barang, dipidana penjara paling lama 6 bulan atau denda paling banyak Rp 12 juta. Kedua, mengakibatkan luka berat, dipidana penjara paling lama 1tahun atau denda paling banyak Rp 24 juta. Ketiga, mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp 120 juta. Dan Keempat, tidak memberi tanda atau rambu pada Jalan yang rusak dan belum diperbaiki dipidana penjara paling lama 6 bulan atau denda paling banyak Rp 1,5 juta.
Sementara itu pakar hukum pidana Unpad, Yesmil Anwar mengatakan, dalam UU Lalu lintas yang baru diatur mengenai ketentuan pidana. Namun, di dalam UU tersebut hanya disebutkan sebagai penyelenggara jalan, tetapi tidak secara langsung disebutkan lembaganya. Jadi, menurut Yesmil, masih sumir mengenai siapa yang bertanggungjawab dalam penyelenggaraan jalan itu .
Ketidakpastian hal tersebut bisa berdampak pada penerapan pasal 273 tersebut oleh penegak hukum, sehingga Pasal 273 ini tidak bisa dilaksanakan dilapangan pada prakteknya, atau bahkan penegak hukum harus menunggu Peraturan Pemerintah yang mengatur secara lebih rinci tentang masalah penyelenggara jalan tersebut. Tetapi di dalam Pasal 16 UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi :
“Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.

Dengan dasar hukum tersebut, maka hakim dapat menggunakan metode penafsiran atau metode penemuan hukum yang ada, Sehingga Undang-Undang No.22 tahun 2009 ini bisa diterapkan tanpa harus menunggu Peraturan Pemerintah untuk pelaksanaannya. Dari latar belakang masalah di atas, maka penulis membuat makalah berjudul ” Analisis terhadap penerapan Pasal 273 UU No.22 tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan”



II.Perumusan Masalah
Siapakah yang dimaksud penyelenggara jalan pada Pasal 273 UU No.22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan ?

III.Pembahasan
Menurut Simons sebagaimana disitir Ateng Syafrudin bahwa kepercayaan atau yang diperintah terhadap peraturan perundang-undangan itu hanya dapat dipertahankan, bilamana peraturan perundang-undangan itu memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan. Selain daripada adil, suatu peraturan perundang-undangan harus pula memenuhi persyaratan-persyaratan teknis, tepat, cocok untuk mencapai maksud dan tujuannya tanpa menghamburkan energi (tenaga) yang tidak perlu .
Di dalam Pasal 5 Undang-Undang No.10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan bahwa,
Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perudang-undangan yang baik yang meliputi:
a. Kejelasan tujuan;
b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d. Dapat dilaksanakan;
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. Kejelasan rumusan; dan
g. Keterbukaan.
Selain Undang-Undang tersebut di atas, para ahli juga mengemukan pendapatnya tentang asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, di antaranya yaitu I.C. van der Vlies dan A.Hamid.S.Attamimi. Didalam bukunya yang berjudul ”Het wetsbegrip en beginselen van behoorlijke regelgeving” I.C.van der Vlies membagi asas-asas dalam pembentukan peraturan negara yang baik ke dalam asas-asas yang formal dan materiil.
Asas-asas yang formal meliputi :
1. Asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling);
2. Asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste organ);
3. Asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel);
4. Asas dapatnya dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid);
5. Asas konsensus (het beginsel van consensus).
Asas-asas yang materiil meliputi :
1. Asas tentang terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van duidelijke terminology en duidelijke systematiek);
2. Asas tentang dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid);
3. Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechtsgelijkheidsbeginsel);
4. Asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel);
5. Asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual (het beginsel van de individuele rechtsbedeling).
A.Hamid.S.Attamimi juga membagi menjadi dua asas,yaitu asas formal dan asas materiil.Untuk Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Asas-asas formal meliputi :
a. Asas tujuan yang jelas;
b. Asas perlunya pengaturan;
c. Asas organ atau lembaga yang tepat;
d. Asas materi muatan yang tepat;
e. Asas dapat dilaksanakan;
f. Asas dapat dikenali.
2. Asas-asas materiil meliputi :
a. Asas sesuai dengan cita hukum dan norma fundamental negara;
b. Asas sesuai dengan hukum dasar negara;
c. Asas sesuai dengan prinsip-prinsip negara berdasar atas hukum; dan
d. Asas sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan berdasarkan konstitusi.
Dari tulisan di atas menunjukan bahwa dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undangan yang baik harus berdasarkan pada asas-asas pembentukan perundangan. Lalu bagaimana Undang-Undang No.22 tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan, khususnya dengan isi Pasal 273, yaitu :
(1) Setiap penyelenggara Jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki Jalan yang rusak yang mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) sehingga menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan Kendaraan dan/atau barang dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah).
(4) Penyelenggara Jalan yang tidak memberi tanda atau rambu pada Jalan yang rusak dan belum diperbaiki sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah).

Didalam pasal tersebut dikemukakan tentang tanggungjawab pidana penyelenggara jalan, akan tetapi rumusan pasal tersebut tidak menjelaskan siapa penyelenggara jalan tersebut, pasal tersebut bila kita analisis menggunakan asas-asas Pembentukan Peraturan Perudang-undangan yang baik dalam Pasal 5 Undang-Undang No.10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka isi pasal tersebut tidak memenuhi Asas Kejelasan rumusan, sehingga sebagian kalangan berpendapat bahwa pasal tersebut belum bisa digunakan sebelum pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang mengatur lebih lanjut tentang penyelenggara jalan tersebut, akan tetapi seperti yang telah dikemukakan sebelumnya di latar belakang bahwa di dalam Pasal 16 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, menyatakan bahwa,
“Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”

Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa interpretasi undang-undang dapat dilakukan oleh hakim/pengadilan dan penegak hukum lainnya (advokat, penasehat hukum, pihak yang berperkara sendiri+warga negara) dan jaksa penuntut umum dalam urusan pidana . menurut Mochtar Kusumaatmadja ada 7 macam cara penafsiran/ Interpretasi yang bisa dilakukan, yaitu :
1. Interpretasi bahasa atau tata bahasa
2. interpretasi sejarah
3. Interpretasi sistematis
4. interpretasi sosiologis
5. interpretasi teleologis
6. tafsir otentik
7. keleluasaan interpretasi oleh hakim : kebalikan dari interpretasi otentik
Sedangkan C.S.T.Kansil menyebutkan bahwa ada 10 macam cara penafsiran, yaitu :
1. Penafsiran Tata Bahasa : Cara penafsiran berdasarkan pada bunyi ketentuan undang-undang, dengan beredoman pada arti perkataan dalam hubungannya satu sama lain dalam kalimat kalimat-kalimat yang dipakai oleh undang-undang dengan menggunakan arti perkataan menurut tata bahasa atau menurut kebiasaan, yakni arti dalam pemakaian sehari-hari.
2. Penafsiran Sahih (autentik, resmi) : Penafsiran yang pasti terhadap arti kata-kata itu sebagaimana yang diberikan oleh pembentuk undang-undang.
3. Penafsiran Historis : penafsiran berdasarkan sejarah terjadinya undang-undang tersebut, atau maksud pembentuk undang-undang pada waktu itu.
4. Penafsiran Sistematis (dogmatis) : Penafsiran menilik dari susunan yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam undang-undang itu, maupun dengan undang-undang yang lain.
5. Penafsiran Nasional : Penafsiran menilik sesuai tidaknya dengan sistem hukum yang berlaku.
6. Penafsiran Teleologis (Sosiologis) : Penafsiran dengan mengingat maksud dan tujuan undng-undnag ini.
7. Penafsiran Ekstensif : Memeberi tafsirn dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan itu sehingga sesuatu peristiwa dapat dimasukannya.
8. Penafsiran Restriktif : Penafsiran dengan membatasi (mempersempit) arti kata-kata dalam peraturan itu.
9. Penafsiran analogis : Memberi tafsiran pada sesuatu peraturn hukum dengan memberi ibarat (kiyas) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga sesuatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut.
10. Penafsiran a contrario (menurut pengingkaran) : Suatu cara menafsirkan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam suatu pasal undang-undang.
Dari berbagai macam cara penafsiran di atas penulis berpendapat bahwa cara penafsiran otentik,sahih, atau resmi dan sistematik harus di dahulukan dibanding dengan cara penafsiran yang lainnya, karena penafsiran otentik,sahih, atau resmi dan Penafsiran sistematik penafsirannya akan lebih kuat secara hukum karena berdasarkan isi peraturan perundang-undangan juga. Lalu bagaimana dengan isi Pasal 273 Undang-Undang No.22 tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan, Siapakah yang dimaksud penyelenggara jalan tersebut ?. Pertama bila kita menggunakan metode penafsiran otentik atau resmi, ternyata di dalam Undang-Undang No.22 tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan tersebut tidak dijelaskan definisi atau siapa penyelenggara jalan tersebut. Lalu selanjutnya bila kita menggunakan metode penafsiran sistematis, maka kita bisa temukan definisi penyelenggara jalan tersebut di pada Undang-Undang No. 38 tahun 2004 tentang Jalan, Pasal 1 huruf 14 UU tersebut mendefinisikan
Penyelenggara jalan adalah pihak yang melakukan pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan jalan sesuai dengan kewenangannya

Kemudian dari pasal tersebut di atas yang harus kita ketahui selanjutnya yaitu masalah kewenangannya. Untuk masalah kewenangannya bisa kita lihat pada,
Pasal 13
(1) Penguasaan atas jalan ada pada negara.
(2) Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi wewenang kepada Pemerintah dan pemerintah daerah untuk melaksanakan penyelenggaraan jalan.

Pasal 14
(1) Wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan jalan meliputi penyelenggaraan jalan secara umum dan penyelenggaraan jalan nasional.
(2) Wewenang penyelenggaraan jalan secara umum dan penyelenggaraan jalan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan.

Pasal 15
(1) Wewenang pemerintah provinsi dalam penyelenggaraan jalan meliputi penyelenggaraan jalan provinsi.
(2) Wewenang penyelenggaraan jalan provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan jalan provinsi.
(3) Dalam hal pemerintah provinsi belum dapat melaksanakan sebagian wewenangnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah provinsi dapat menyerahkan wewenang tersebut kepada Pemerintah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai wewenang penyelenggaraan jalan provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penyerahan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam peraturan pemerintah.

Pasal 16
(1) Wewenang pemerintah kabupaten dalam penyelenggaraan jalan meliputi penyelenggaraan jalan kabupaten dan jalan desa.
(2) Wewenang pemerintah kota dalam penyelenggaraan jalan meliputi penyelenggaraan jalan kota.
(3) Wewenang penyelenggaraan jalan kabupaten, jalan kota, dan jalan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan.
(4) Dalam hal pemerintah kabupaten/kota belum dapat melaksanakan sebagian wewenangnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), pemerintah kabupaten/kota dapat menyerahkan wewenang tersebut kepada pemerintah provinsi.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai wewenang penyelengaraan jalan kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wewenang penyelengaraan jalan kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan penyerahan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam peraturan pemerintah.
Pasal 45
(1) Wewenang penyelenggaraan jalan tol berada pada Pemerintah.
(2) Wewenang penyelenggaraan jalan tol meliputi pengaturan, pembinaan, pengusahaan, dan pengawasan jalan tol.
(3) Sebagian wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan jalan tol sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh BPJT.
(4) BPJT sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibentuk oleh Menteri, berada di bawah, dan bertanggung jawab kepada Menteri.
(5) Keanggotaan BPJT sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas unsur Pemerintah, unsur pemangku kepentingan, dan unsur masyarakat.

Dengan menggunakan metode penafsiran sistematis dan dilihat dari isi pasal-pasal di atas maka bisa kita ketahui siapakah yang di maksud dengan “Penyelenggara Jalan” dalam Pasal 273 Undang-Undang No.22 tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan, yaitu :
1. Untuk jalan nasional sesuai dengan kewenangannya, maka yang bertanggungjawab adalah Pemerintah Pusat.
2. Untuk jalan propinsi sesuai dengan kewenangannya, maka yang bertanggungjawab adalah Pemerintah Propinsi
3. Untuk jalan kota sesuai dengan kewenangannya, maka yang bertanggungjawab adalah Pemerintah Kota.
4. Untuk jalan kabupaten dan jalan desa sesuai dengan kewenangannya, maka yang bertanggungjawab adalah Pemerintah Kabupaten.
5. Untuk jalan tol sesuai dengan kewenangannya, maka yang bertanggungjawab adalah Pemerintah Pusat.




IV. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dengan menggunakan menggunakan metode penafsiran sistematis dapat disimpulkan bahwa penyelenggara jalan yang dimaksud dalam Pasal 273 Undang-Undang No.22 tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan, yaitu :
1. Untuk jalan nasional sesuai dengan kewenangannya, maka yang bertanggungjawab adalah Pemerintah Pusat.
2. Untuk jalan propinsi sesuai dengan kewenangannya, maka yang bertanggungjawab adalah Pemerintah Propinsi
3. Untuk jalan kota sesuai dengan kewenangannya, maka yang bertanggungjawab adalah Pemerintah Kota.
4. Untuk jalan kabupaten dan jalan desa sesuai dengan kewenangannya, maka yang bertanggungjawab adalah Pemerintah Kabupaten.
5. Untuk jalan tol sesuai dengan kewenangannya, maka yang bertanggungjawab adalah Pemerintah Pusat.

















Daftar Pustaka

Buku-Buku

1. C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesiam Balai Pustaka, Jakarta, 2002,

2. Haposan Siallagan dan Efik Yusdiansyah, Ilmu Perundang-undangan Indonesia, UHN Press, Medan 2008,

3. Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-undangan, Kanisius, Jakarta, 2007,

4. Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta, Pengantar Ilmu hukum, Buku I, Alumni, Bandung, 2000.

Peraturan Perundang-undangan

1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,
2. Undang-Undang Nomor 38 tahun 2004 tentang Jalan,
3. Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan
Bahan lainnya
1. Harian Pikiran Rakyat terbitan hari Selasa, 13 April 2010

Selasa, 13 April 2010

Jalan SNI siapa yang harus bertanggung jawab?

Oleh : Denden Imadudin Soleh,.S.H.


Ada berita yang menarik di harian Pikiran Rakyat terbitan tanggal 13 April 2010, yaitu tentang berita yang berjudul ”Jalan pun harus ber-SNI” berita tersebut berisi tentang aksi dari Forum Club Motor Bandung (FCMB) yang mendesak Pemerintah Kota Bandung untuk segera memperbaiki jalan yang rusak di Kota Bandung, karena menurut mereka kerusakan jalan dinilai turut andil sebagai penyebab kecelakaan lalu lintas.salah seorang Ketua FCMB berujar bahwa “kalau helm ada yang SNI,jalan juga harus SNI”.
Di dalam Undang-Undang No.22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan memang disebutkan di Pasal 203 ayat (1) bahwa “Pemerintah bertanggung jawab atas terjaminnya Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan” , dan di Pasal 24 ayat (1) Penyelenggara Jalan wajib segera dan patut untuk memperbaiki Jalan yang rusak yang dapat mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas. Dan di ayat (2)-nya Dalam hal belum dapat dilakukan perbaikan Jalan yang rusak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara Jalan wajib memberi tanda atau rambu pada Jalan yang rusak untuk mencegah terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas. bahkan di Pasal 273 yang memuat ketentuan Pidana ini menyebutkan bahwa untuk Penyelenggara Jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki Jalan yang rusak dapat di berikan sanksi pidana apabila, Pertama, menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan Kendaraan dan/atau barang, dipidana penjara paling lama 6 bulan atau denda paling banyak Rp 12 juta. Kedua, mengakibatkan luka berat, dipidana penjara paling lama 1tahun atau denda paling banyak Rp 24 juta. Ketiga, mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp 120 juta. Dan Keempat, tidak memberi tanda atau rambu pada Jalan yang rusak dan belum diperbaiki dipidana penjara paling lama 6 bulan atau denda paling banyak Rp 1,5 juta.
Lalu, pertanyaannya adalah siapa “penyelenggara Jalan” ?, sebab di dalam UU No. 22 Tahun 2009 sama sekali tidak mendefinisikannya. Tetapi, sebenarnya walaupun UU No.22 Tahun 2009 tidak mendefinisikannya, maka kita bisa menggunakan salah satu penafsiran hukum, yaitu dengan menggunakan penafsiran sistematis dengan merujuk pada UU No. 38 tahun 2004 tentang Jalan, Pasal 1 huruf 14 UU tersebut mendefinisikan Penyelenggara jalan adalah pihak yang melakukan pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan jalan sesuai dengan kewenangannya. Dan dalam UU tersebut menyebutkan bahwa tanggung jawab penanganan jalan yaitu : Pemerintah Pusat(Kementerian Pekerjaan Umum) : Jalan Nasional, Pemerintah Provinsi (Dinas Pekerjaan Umum) : Jalan Provinsi, Pemerintah Kabupaten (Dinas Pekerjaan Umum) : Jalan Kabupaten dan Jalan Desa, Pemerintah Kota (Dinas Pekerjaan Umum) : Jalan Kota. Tetapi masalah selanjutnya adalah ketika berbicara masalah pidana adalah siapa perorangan yang bertanggungjawab ketika berbicara tentang masalah pidana kurungan, karena bila kita berbicara tentang hukuman denda atau ganti kerugian mungkin kelembagaan tinggal membayar saja, tetapi berkaitan dengan masalah pidana kurungan siapa yang akan menjalani pidananya atau pejabat mana yang akan menjalaninya. Berkaitan dengan masalah pertanggungjawaban dalam hukum administrasi, maka harus kita lihat dari sumber kewenangannya apakah Atribusi, delegasi,Sub-delegasi atau kah mandat? Sumber kewenangan ini penting karena untuk melihat siapa sebenarnya yang harus bertanggungjawab dalam hal ini dan berkaitan dengan perbaikan jalan pada akhirnya nanti akan berbenturan dengan alasan anggaran yang terbatas yang pada akhirnya akan kembali kepada Presiden sebagai penanggung jawab pemerintahan secara keseluruhan.
Tetapi daripada kita membuat tafsir sendiri tentang penyelenggara jalan dan siapa sebenarnya yang harus bertanggungjawab dan melaksanakan pidana bila terjadi kecelakaan, alangkah lebih baiknya Pemerintah mengeluarkan peraturan lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah tentang pertanggungjawaban penyelenggara jalan ini dan mengkaji kembali tentang pertanggungjawaban pidananya, karena bila pidana dendanya mungkin dapat dilaksanakan, tetapi pidana kurungannya saya rasa akan sulit dilaksanakan pada implementasinya.

Senin, 12 April 2010

Konstitusi Mesir


Konstitusi Mesir

Sejarah

hukum Konstitusi sebagaimana didefinisikan dalam yurisprudensi konstitusional bahwa Undang-undang Dasar, yang menunjukkan negara sistem pemerintahan dan otoritas publik untuk mengatur komposisi dan kerangka acuan dan hubungan mereka satu sama lain, dan menentukan hak-hak dan kebebasan individu dan menetapkan jaminan dasar hak-hak dan kebebasan-kebebasan.

Konstitusi sehingga kecoklatan pada semua pihak berwenang di Negara, dan merupakan hasil alamiah untuk menunjukkan hukum konstitusi oleh hukum yang tidak mungkin dikeluarkan dengan konstitusi, tetapi secara hukum harus batal demi hukum Alqdhaoualamtnaa dari penerapannya.

Dan ekstrapolasi perkembangan konstitusional negara mungkin merasa telah melalui beberapa melawan pahit perjuangan Rakyat Mesir untuk konstitusi dan berdiri di depan penguasa pendudukan asing, yang berperang kehadirannya dalam berbagai cara dan jalan.

Antara 1805 - 1882 negara telah menyaksikan perjuangan panjang rakyat Mesir berakhir dengan konstitusi tahun 1882, dan segera pekerjaan pemerintah untuk Inggris dihapuskan, tetapi orang-orang melanjutkan perjuangan mereka tidak berhenti jihad nya demi konstitusi telah dikeluarkan pada 19 April 1932 Undang-Undang Dasar 1932 dan sesuai dengan Konstitusi ini diadakan parlemen Mesir pertama pada tanggal 15 Maret 1924.

“PERBANDINGAN MAHKAMAH KONSTITUSI INDONESIA DENGAN PORTUGAL”



Oleh : Denden Imadudin Soleh., SH.



I. PENDAHULUAN

Salah satu ciri negara hukum adalah adanya ciri pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Pembatasan itu dilakukan dengan hukum yang kemudian menjadi ide dasar paham konstitusionalisme modern. Oleh karena itu, konsep negara hukum juga disebut sebagai negara konstitusional atau Constitutional State, yaitu negara yang dibatasi oleh konstitusi . Semua konstitusi selalu menjadikan kekuasaan sebagai pusat perhatian, karena kekuasaan itu sendiri pada intinya memang perlu di atur dan dibatasi sebagaimana mestinya , Constitutions, menurut Ivo D. Duchacek, adalah “identify the sources, purposes, uses and restraints of public power” (mengidentifikasikan sumber-sumber, tujuan-tujuan, penggunaan-peng¬guna¬an, dan pem¬batasan-pembatasan kekuasaan umum). Pembatasan kekuasaan pada umumnya dianggap merupakan corak umum materi konstitusi Agar konstitusi benar-benar menjadi hukum tertinggi, maka ketentuan-ketentuan dasar konstitusional yang menjadi materi muatannya harus dilaksanakan melalui peraturan perundang-undangan di bawah konstitusi. Peraturan perundang-undangan, baik yang dibuat oleh legislatif maupun peraturan pelaksana yang dibuat oleh eksekutif tidak boleh bertentangan dengan konstitusi itu sendiri .

KEDUDUKAN DAN FUNGSI ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YANG LAYAK DALAM MEMUTUS SENGKETA TUN DI PTUN


Oleh : SOLIHATI
NUR AKHRIYANI
I I R SYAHRIL MUBAROK
BAGUS IRAWAN
FANI MUFTIAWAN



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Pembahasan

Asas-asas umum pemerintahan adalah asas yang menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan dan aturan hukum. Asas-asas ini tertuang pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Asas hukum adalah jantungnya aturan hukum, ia menjadi titik tolak untuk berpikir, membentuk dan mengintepretasikan hukum. Peraturan hukum merupakan pedoman tentang perilaku yang seharusnya, berisi apa yang boleh, apa yang diperintahkan, dan apa yang dilarang.
Beberapa istilah untuk menyebut asas pemerintahan yang baik ini bermacam-macam, misalnya di Belanda dikenal dengan Algemene Beginselen van Behoorllijke Bestuungr (ABBB), di Inggris dikenal The Principal of Natural Justice , di Perancis diistilahkan Les Principaux Generaux du Darioit Coutumier Publique, di Belgia disebut Aglemene Rechtsbeginselen, di Jerman dinamakan Verfassung Sprinzipien dan di Indonesia dikatakan sebagai “Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Layak”.
Pengertian asas-asas umum pemerintahan yang layak menurut Jazim Hamidi, merupakan nilai-nilai etik yang hidup dan berkembang dalam lingkungan HAN. Asas-asas umum pemerintahan yang layak berfungsi sebagai pegangan bagi pejabat administrasi negara dalam menjalankan fungsinya, merupakan alat uji bagi hakim administrasi dalam menilai tindakan administrasi negara (yang berwujud beschikking), dan sebagai dasar pengajuan gugatan bagi penggugat. Sebagian besar asas-asas umum pemerintahan yang layak, masih merupakan asas-asas yang tidak tertulis, abstrak, dan dapat digali dalam praktik kehidupan masyarakat. Sebagian asas yang lain sudah menjadi kaidah Hukum tertulis dan terpencar dalam berbagai peraturan Hukum positif.

Pidana mati dalam pandangan Islam


Oleh : Rani SP., SH

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Hukuman mati selalu menjadi perdebatan menarik setiap kali terpidana mati dieksekusi. Misalnya, eksekusi mati bagi Sumiarsih dan anaknya Sugeng, pelaku pembunuhan Letkol Purwanto dan keluarganya pada tahun 1988, atau hukuman mati yang di jatuhkan kepada dukun palsu Usep yang membunuh 8 orang yang merupakan tamunya. Mengenai hukuman mati ini, banyak kalangan yang setuju, namun tidak sedikit yang menolak.
Kalangan organisasi non-pemerintah atau Komnas HAM meminta semua peraturan yang memuat hukuman mati tidak diberlakukan. Mereka menilai hukuman mati tidak sesuai dan bertentangan dengan pasal 28 I butir 1 UUD 1945 (Amandemen Kedua) yang menegaskan bahwa hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Ini berarti seluruh produk hukum yang masih mencantumkan hukuman mati sebagai ancaman pidana harus ditiadakan.
Di lain pihak banyak yang setuju atas penerapan hukuman mati. Sepanjang pidana mati masih dicantumkan dalam KUHP dan undangundang lainnya, maka pelaksanaan hukuman tersebut harus dilakukan dan tidak dapat dihindari. Menurut KUHP, di Indonesia ada sembilan macam kejahatan yang diancam pidana mati. 1. Makar dengan maksud membunuh presiden dan wapres pasal 104); 2. Melakukan hubungan dengan negara asing sehingga terjadi perang (pasal 111 ayat 2); 3. Pengkhiatan memberitahukan kepada musuh di waktu perang (pasal 124 ayat 3); 4. Menghasut dan memudahkan terjadinya huru-hara (pasal 124); 5. Pembunuhan berencana terhadap kepala negara sahabat (pasal 140 ayat 3); 6. Pembunuhan berencana (pasal 340); 7. Pencurian dengan kekerasan secara bersekutu mengakibatkan luka berat atau mati (pasal 365 ayat 4); 8. Pembajakan di laut mengakibatkan kematian (pasal 444); 9. Kejahatan penerbangan dan sarana penerbangan (pasal 149 K ayat 2 dan pasal 149 O ayat 2).

Rabu, 07 April 2010

“ PROFESI HAKIM DALAM PERSPEKTIF SYARI’AT ISLAM “

Oleh: Goenawan Wanaradja, SH

A. Latar Belakang Masalah

Profesi Hakim 1 adalah jabatan yang mulia sekaligus penuh resiko dan tantangan. Mulia karena ia bertujuan menciptakan ketentraman dan perdamaian di dalam masyarakat. Penuh resiko karena di dunia ia akan behadapan dengan mereka yang tidak puas dengan keputusannya, sedangkan di akhirat diancam dengan neraka jika tidak menetapkan keputusan sesuai dengan yang seharusnya. Jabatan tersebut membutuhkan persyaratan-persyaratan baik fisik maupun non fisik. Di samping itu, ada kode etik yang harus mendapatkan perhatian yang mendalam oleh para hakim yang meliputi dua aspek, yaitu aspek moral dan intelektual. Kedua aspek ini, lebih-lebih aspek moral, masih menjadi persoalan di hampir setiap pengadilan pada masa sekarang. Oleh karena itu Profesi Hakim ini mendapat perhatian khusus, tidak hanya dalam hukum positif saja, dalam hukum Islam pun mendapat perhatian khusus melalui ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits yang membahas tentang Profesi Hakim seperti di bawah ini.
“ Hendaklah engkau menghukum antara mereka menurut pengaturan yang diturunkan Alloh “ ( QS. Al-Maidah ayat 49 ).
“ Dan jika kamu menghukum antara manusia hendaklah kamu hukum dengan seadil-adilnya “ ( QS. An-Nisaa ayat 58 ).
“ Bahwa Alloh adalah Hakim yang seadil-adilnya “ ( Q.S. At-Tin ayat 8 )

“ Dan jangan sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan bathil. Dan janganlah membawa urusan harta itu kepada hakim sebagai umpan untuk - Menyuap Hakim - dengan maksud supaya kamu memakan sebagian harta orang lain dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui “ ( Q.S. Al-Baqoroh ayat 188 ).