Iklan

Iklan

Iklan

Jumat, 11 Juni 2010

ANALISIS TERHADAP PENERAPAN HUKUM DALAM KASUS PAJAK PAULUS TUMEWU

oleh : Denden Imadudin Soleh., SH.

I. PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG

Salah satu ciri dari sistem pemungutan pajak di Indonesia adalah self assessment system yaitu sistem pemungutan pajak yang memberikan kepercayaan kepada masyarakat/Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang terutang. Sistem pemungutan pajak tersebut mempunyai arti bahwa penentuan /penetapan, serta pelaporan secara teratur tentang besarnya pajak terutang dan jumlah pajak yang telah dibayar, sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan dipercayakan sepenuhnya kepada Wajib Pajak (WP). Artinya, keberhasilan dan kegagalan di bidang pajak sangat dipengaruhi oleh Wajib Pajak. System tersebut lebih memandang Wajib Pajak sebagai subjek dan bukan objek semata. Hak dan Kewajiban Wajib Pajak menurut undang-undang sekarang sama dengan fiskus . Agar suatu Self assessment system berhasil, tidak hanya diperlukan pengetahuan yang cukup dari wajib pajak . Tanpa dilandasi oleh kesadaran , kejujuran, dan kedisiplinan yang memadai, maka kepercayaan yang diberikan kepada Wajib Pajak (WP) dapat disalahgunakan.Untuk itu Administrasi perpajakan harus berperan aktif dalam melaksanakan pengendalian administrasi pemungutan pajak yang meliputi tugas-tugas pembinaan, pelayanan, pengawasan, dan penerapan sanksi perpajakan.

Salah satu pengendalian administrasi pemingutan pajak adalah dengan adanya kewajiban untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) dengan benar dan lengkap seperti yang tercantum dalam Pasal 3 UU KUP, Seperti yang kita ketahui belakangan ini muncul pemberitaan berbagai kasus pajak seperti kasus “Gayus Tambunan” dan “Paulus Tumewu”, tapi yang menjadi latar belakang dari makalah ini adalah kasus penghentian penyidikan kasus Penggelapan Pajak “Paulus Tumewu” yang Berdasar hasil penyelidikan, Paulus diduga melakukan tindak pidana perpajakan yang berhubungan dengan Surat Pemberitahuan karena tidak melaporkan sebagian penghasilan (telah melanggar ketentuan pasal 39 ayat (1) UU nomor 16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) sebelum perubahan oleh UU No 28 tahun 2007 ) yaitu, menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap dan telah P-21 (berkas dinyatakan lengkap) oleh Kejaksaan atas dasar surat permohonan dari Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, agar Jaksa Agung mengeluarkan surat untuk menghentikan kasus Paulus Tumewu. Surat permohonan itu dibuat atas surat permohonan dari Paulus Tumewu yang telah melunasi utang pajaknya ke Menkeu (Sri Mulyani). Yang akhirnya Dibalas Menkeu dengan memberi disposisi ke Sekjen Depkeu yang menyatakan Paulus dikenakan denda 400 persen dari hutang pokok pajak. Paulus meminta Menkeu mengusulkan ke Jaksa Agung menghentikan penyidikan dan penuntutan atas dirinya. Dan akhirnya memang berkas kasus pidana pajak “Paulus Tumewu” yang telah P-21 itu tidak berlanjut ke Pengadilan. Padahal di dalam ketentuan Pasal 39 itu sanksi pidananya bukan alternatif tetapi kumulatif yaitu pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. sehingga pemberhentian penyidikan/ pengeluaran SKPP tersebut oleh sebagian kalangan di anggap ada intervensi dari Menteri Keuangan.
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis membuat makalah dengan judul “PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PAJAK YANG BERKAITAN DENGAN KEWAJIBAN MENYAMPAIKAN SURAT PEMBERITAHUAN DENGAN BENAR DAN LENGKAP MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2007 MENGENAI KETENTUAN UMUM PERPAJAKAN”

B. RUMUSAN MASALAH
Bagaimana penegakan hukum dalam tindak pidana pajak yang berkaitan dengan kewajiban menyampaikan surat pemberitahuan dengan benar dan lengkap menurut Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan ?

II. PEMBAHASAN
Dalam berbagai macam literatur dapat ditemukan berbagai pengertian atau definisi tentang pajak dari berbagai pakar yang satu sama lain ada kesamaan dan ada juga perbedaan, sehingga supaya pengertian atau definisi ini bisa diterima semua kalangan maka di ambillah pengertian atau definisi yang berasal dari Undang-Undang KUP (UU 28/2007) yang tercatum dalam pasal 1 angka 1 yang menyatakan bahwa,
“Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Undang-undang KUP sendiri telah mengalami tiga kali perubahan sejak diundangkan pertama kali dengan UU Nomor 6 Tahun 1983 yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1984. Perubahan pertama dilakukan dengan UU Nomor 9 Tahun 1994 dan mulai berlaku 1 Januari 1995. Perubahan kedua dilakukan dengan UU Nomor 16 Tahun 2000 dan mulai berlaku tanggal 1 Januari 2001. Perubahan terakhir dilakukan dengan UU Nomor 28 Tahun 2007 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 2008 sampai sekarang.
Dalam pajak sendiri ada berbagai macam system pemungutan di antaranya, yaitu :
1. Official Assessment System : suatu system pemungutan pajak yang berdasarkan undang-undang pemerintah (fiskus) diberi wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang.
2. Self Assesmentsystem : suatu system pemungutan pajak yang berdasarkan undang-undang memberikan kepercayaan lepada wajib pajak (WP) untuk melaksanakan hak dan kewajibannya dibidang perpajakan.
3. With Holding System : suatu system pemungutan pajakyang berdasarkan undang-undang memberi kepercayaan /wewenang kepada pihak ketiga(bukan pemerintah dan bukan wajib pajak (WP) yang bersangkutan ) untuk memotong atau memungut pajak yang wajib dipotong /dipungut dari wajib pajak (WP) yangwajib membayarnya.
Undang-undang KUP sendiri menganut system pemungutan pajak Self Assessment System. Jiwa Self Assessment tercantum dalam pasal 12 UU KUP yang berbunyi :
(1) Setiap WP wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya SKP.
(2) Jumlah Pajak yang terutang menurut SPT yang disampaikan oleh WP adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(3) Apabila Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang menurut SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar, Dirjen Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang.
Dari bunyi Pasal 12 UU KUP tersebut dapat dilihat bahwa penghitungan pajak yang terutang pembayarannya ke Kas Negara, dan pelaporannya diserahkan sepenuhnya kepada WP serta tidak didasarkan pada SKP yang diterbitkan administrasi pajak. Perhitungan, pembayaran dan pelaporan yang dilakukan WP tersebut dianggap benar (sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan) sepanjang Dirjen Pajak tidak dapat membuktikan sebaliknya. Pada prinsip self assessment beban pembuktian (bahwa pajak terutang yang telah dilaporkan adalah tidak benar) berada di pihak fiskus (Dirjen Pajak). SKP hanya diterbitkan oleh fiskus apabila perhitungan wajib pajak tersebut tidak benar berdasarkan pada suatu pembuktian oleh fiskus.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, Sistem pemungutan pajak dengan self assessment ini mempunyai arti bahwa penentuan /penetapan, serta pelaporan secara teratur tentang besarnya pajak terutang dan jumlah pajak yang telah dibayar, sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan dipercayakan sepenuhnya kepada Wajib Pajak (WP). Artinya, keberhasilan dan kegagalan di bidang pajak sangat dipengaruhi oleh Wajib Pajak.
Lepas dari kesadaran kewargaan dan solidaritas nasional, lepas pula dari pengertian tentang kewajibannya terhadap Negara, pada sebagian besar di antara rakyat tidak akan pernah meresapi kewajibannya membayar pajak sedemikian rupa sehingga memenuhinya tanpa menggerutu. Bahkan, bila ada sedikit kemungkinan saja, maka pada umumnya cenderung untuk meloloskan diri dari setiap pajak. Dalam usaha perlawanan inilah, terletak faktor utama dari perlawanan terhadap pajak, yang dapat di bedakan ke dalam :
1. Perlawanan pasif
Perlawanan pasif ini terdiri dari hambatan-hambatan yang mempersukar pemungutan pajak dan erat hubungannya dengan struktur ekonomi suatu Negara, dengan perkembangan intelektual dan moral penduduk, dan dengan teknik pemungutan pajak itu sendiri.
2. Perlawanan aktif
Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan, yang secara langsung ditujukan terhadap fiskus dan bertujuan untuk menghindari pajak di antaranya dapat dibedakan dengan cara-cara sebagai berikut :
• Penghindaran diri dari pajak
• Pengelakan/ penyelundupan pajak
• Melalaikan pajak
Dari berbagai macam perlawanan terhadap pajak ini kemudian dengan berdasar pada self assessmet system ini, maka dalam undang-undang KUP ini mewajibkan si wajib pajak (WP) untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT), yang dimaksud Surat Pemberitahuan (SPT) ini sendiri seperti yang tercantum dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang KUP, yaitu :
Surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Kewajban melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam SPT tercantum dalam Pasal 3 ayat 1 UU KUP yang berbunyi sebagai berikut :
Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Yang dimaksud dengan benar, lengkap, dan jelas dalam mengisi SPT adalah :
a. benar adalah benar dalam perhitungan, termasuk benar dalam penerapan ketentuan peraturan UU Pajak, dalam penulisan, dan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya;
b. lengkap adalah memuat semua unsur-unsur yang berkaitan dengan objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam SPT; dan
c. jelas melaporkan asal-usul / sumber objek pajak dan unsur lain yang harus diisikan dalam SPT.
Bahkan kewajiban untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) dengan benar dan lengkap ini juga ada sanksi pidananya seperti yang tercantum dalam UU KUP Pasal 38, yaitu :
Setiap orang yang karena kealpaannya:
a. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
b. menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A, didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.

Dan juga di Pasal 39 ayat (1) menyatakan bahwa,

Setiap orang yang dengan sengaja:
a. tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b. menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
c. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;
d. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap;
e. menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29;
f. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya;
g. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;
h. tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi on-line di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11); atau
i. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut.
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

Dari isi pasal-pasal di atas bisa dilihat bahwa kedua-duanya memiliki sanksi pidana baik di Pasal 38 yang karena kealpaan juga Pasal 39 yang karena kesengajaan.
Tetapi harus diingat bahwa dalam pelaksanaan ketentuan di bidang perpajakan itu ada 2 jenis penegakan hukum, yaitu :
1. Penegakan Hukum Administrasi
Penegakan hukum administrasi bertujuan agar sesuatu yang menyimpang dapat dibenahi. Dalam hal ini, yang menjadi fokus perhatian untuk mendapatkan penanganan adalah perbaikan atau perubahan sikap atau perilaku dari si subjek. Penegakan hukum administrasi kurang memberikan tekanan pada si subjek atau pelaku pelanggaran, melainkan lebih menekankan pada perbuatannya. Penegakan hukum administrasi dilakukan oleh aparat pemerintah dibidang pajak, jadi bukan oleh hakim.
2. Penegakan Hukum Pidana
Penegakan hukum pidana dilakukan melalui melalui proses peradilan. Dalam rangka penegakan hukum pidana di mungkinkan adanya kumulasi eksternal atas penerapan sanksi. Penerapan sanksi kumulatif secara eksternal adalah pengenaan sanksi administrasi dan pengenaan sanksi pidana secara sekaligus.
Di dalam hukum pidana ada berbagai macam cara penerapan sanksi / stelsel pemidanaan, yaitu :
1. Stelsel Alternatif
Ciri khas suatu UU mengatur stelsel pemidanaan yang alternatif yaitu norma dalam UU ditandai dengan kata “atau”. Misalnya ada norma dalam UU yang berbunyi “… diancam dengan pidana penjara atau pidana denda …”.
2. Stelsel Kumulatif
Stelsel kumulatif ini ditandai dengan cirri khas adanya kata “dan”.UU Tindak Pidana Korupsi merupakan salah satu contoh UU yang menganut stelsel ini. Dengan adanya kata “dan”, maka hakim harus menjatuhkan pidana dua-duanya.
3. Stelsel Alternatif Kumulatif
Berbeda halnya dengan dua stelsel di atas, berdasarkan stelsel alternatif kumulatif ini, ditandai dengan ciri “dan/atau”. Suatu UU yang menganut stelsel ini, memberikan kebebasan hakim untuk menjatuhkan pidana apakah alternatif (memilih) ataukah kumulatif (menggabungkan).
Bila dianalisa dari cara penerapan sanksi / stelsel pemidanaan, maka Pasal 38 UU KUP ini menggunakan cara penerapan sanksi / stelsel pemidanaan alternatif karena di dalam isi pasalnya menggunakan kata atau antara sanksi denda dan penjaranya, sedangkan untuk Pasal 39 ayat (1) UU KUP ini menggunakan cara penerapan sanksi / stelsel pemidanaan Kumulatif karena menggunakan kata dan antara sanksi denda dan penjaranya.
Lalu bagaimana dengan penerapan kasus Paulus Tumewu seperti yang telah di jelaskan sebelumnya di latar belakang, untuk kasus Paulus Tumewu ini memang menurut jaksa berdasarkan hasil penyidikan, Paulus diduga melakukan tindak pidana perpajakan karena telah melanggar ketentuan pasal 39 ayat (1) UU nomor 16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) sebelum perubahan oleh UU No 28 thun 2007 yang isinya pada intinya sama. Tetapi meskipun Pasal 39 ayat (1) ini menganut penerapan sanksi / stelsel pemidanaan Kumulatif , dalam UU KUP ini baik yang tahun 2000 maupun yang tahun 2007 juga di Pasal 44B menyatakan bahwa,
(1) Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan.
(2) Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan setelah Wajib Pajak melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan dan ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan.

Bila melihat isi Pasal 44B ini. Maka, apa yang di lakukan Menteri Keuangan dan Jaksa Agung ini adalah sudah sesuai dengan undang-undang apabila memang sebelum masuk ke Pengadilan Paulus Tumewu telah melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan dan ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan.

III. PENUTUP

A. KESIMPULAN
Bahwa penegakan hukum dalam tindak pidana pajak yang berkaitan dengan kewajiban menyampaikan surat pemberitahuan dengan benar dan lengkap menurut Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan adalah :
1. Apabila karena kealpaan maka penerapan sanksinya / stelsel pemidanaannya alternatif seperti yang tercantum dalam Pasal 38 UU KUP
2. Apabila karena kesengajaan maka penerapan sanksinya / stelsel pemidanaannya kumulatif seperti yang tercantum dalam Pasal 39 ayat (1) UU KUP

B. SARAN

Penekanan penerapan sanksi pidana itu harus lebih di tekankan pada tindak pidana yang di lakukan oleh pegawai Dirjen Pajak, sedangkan kepada wajib pajak lebih baik di tekankan penerapan sanksi administrasi untuk kepentingan penerimaan Negara.


Daftar Pustaka
Buku:
Gunadi dkk, Perpajakan Buku 1, Edisi Revisi 2, Lembaga Penerbit FEUI, Jakarta, 2001,
Hasan Basri, MODUL KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN, PUSDIKLAT Pajak dan BPPK,
Oyok Abuyamin, Perpajakan Pusat dan Daerah, Humaniora, Bandung, 2010,
R Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, cetakan keduapuluh satu, Refika Aditama, Jakarta, 2008,
Y Sri Pudyatmoko, Penegakan dan Perlindungan Hukum Di bidang Pajak, Penerbit Salemba Empat, Jakarta, 2007,
Bahan lainnya :
http://www.mediaindonesia.com/read/2010/04/21/137543/16/1/Kronologi-Kasus-Penggelapan-Pajak-Paulus-Tumewu Rabu 21 April 2010.
http://www.dutamasyarakat.com/artikel-29080-ani-dibidik-kasus-adik-edy-tanzil.html
Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Perpajakan

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas UU KUP
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU KUP
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas UU KUP

2 komentar: