Iklan

Iklan

Iklan

Rabu, 14 Juli 2010

Mengapa Negara Tak Berhak Mengajukan PK?

Oleh: H. Adami Chazawi
(FH Universitas Brawijaya)


PK perkara pidana merupakan:
• upaya pengembalian keadilan& hak-hak terpidana yang telahdirampas negara secara tidak sah
• bentuk pertanggungjawaban negara pada terpidna
• wujud penebusan dosa negara pada terpidana atas kesalahan negara yang telahmerampas keadilan dan hak-haknya secara tidak sah

A. LANDASAN FILOSOFIS dan SEJARAH LEMBAGA PK PIDANA
Lembaga Peninjauan Kembali (disingkat PK) semata-mata ditujukan bagi kepentingan terpidana dan ahli warisnya, merupakan azas/prinsip PK, diwujudkan dalam norma Pasal 263 Ayat (1) KUHAP. Dapat dicari pada dua landasan: filosofis dan sejarah lembaga PK.
1. Dasar Filosofi Lembaga PK
Substansi upaya hukum PK berpijak pada dasar, bahwa negara telah salah mempidana penduduk yang tidak berdosa yang tidak dapat diperbaiki lagi dengan upaya hukum biasa. Membawa akibat telah dirampasnya keadilan dan hak-hak terpidana secara tidak sah.
Negara merasa berdosa dan hendak bertanggung jawab untuk mengembalikan keadilan dan hak-hak terpidana yang telah dirampas secara tidak sah tersebut. Bentuk pertanggungjawaban itu, ialah negara memberikan hak kepada terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan PK, bukan kepada negara[1].
Dengan demikian dapatlah diartikan, bahwa PK adalah wujud nyata penebusan dosa yang telah dilakukan negara pada penduduk negara, karena negara telah menghukum penduduk negara yang tidak bersalah.
Dicontohkan beberapa kasus konkret. Pada tahun 1977 negara telah menghukum Sengkon dan Karta karena merampok dan membunuh suami istri Suleman. Keduanya sudah ditahan sejak tahun 1974. Dalam perkara lain terbukti bahwa yang merampok dan membunuh suami istri Suleman adalah Gunel, Siih dan Wasita yang kemudian dipidana masing-masing 10, 8 dan 6 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Bekasi.[2] Contoh lain, pada tahun 2002 Risman Lakoro dan istrinya dijatuhi hukuman karena membunuh Alta Lakoro anak kandungnya sendiri oleh Pengadilan Negeri Gorontalo. Oleh karena disiksa polisi pada saat penyidikan hingga cacat seumur hidup, terpaksa mengaku membunuh. Keterangan terdakwa dan bukti patah tulang di sidang pengadilan akibat disiksa polisi tidak digubris hakim. Risman Lakoro dipidana 3 tahun penjara. Tahun 2007 tiba-tiba Alta Lakoro kembali ke kampung halamannya. Terbukti bahwa Suami istri Risman Lakoro tidak membunuh anak kandungnya, yang memang sejak tahun 2001 pergi karena cekcok dengan kedua orang tuanya tersebut.[3] Contoh ketiga dan masih segar dalam ingatan kita. Negara telah menghukum dalam peradilan sesat Devid Eko Priyanto dan Imam Chambali (2008) di Jombang, dan masih banyak lagi.
Dari ketiga contoh tersebut diatas, nampak benar kesalahan dan dosa negara yang telah menghukum penduduk yang sesungguhnya tidak bersalah. Oleh sebab itulah maka lembaga PK semata-mata ditujukan untuk memperbaiki putusan pemidanaan yang salah tersebut. Negara tidak dibenarkan mengajukan PK untuk sebaliknya mengukum terdakwa yang sudah dibebaskan atau lepas dari tuntutan hukum yang sudah tetap. Tidak dibenarkan negara untuk membongkar putusan pembebasan yang sudah tetap, dengan alasan mencai keadilan. Logika dan alasannya adalah.
1) Apabila negara merasa bahwa putusan pembebasan terdakwa sebelumnya keliru, ketidakmampuan negara membuktikan kesalahan terdakwa, merupakan kesalahan negara sendiri. Apabila karena kesalahan negara yang demikian itu membawa kerugian bagi negara, maka tidak dibenarkan negara membebankan pengembalian akibat dari ketidak mampuan membuktikan kesalahan terdakwa tersebut pada terdakwa yang sudah dibebaskan dengan putusan yang tetap.
2) Lembaga PK berpijak pada keadilan dan hak-hak terpidana yang telah dilanggar oleh negaradengan mempidana terdakwa, yang seharusnya tidak. PK semata-mata untuk mengembalikan keadilan dan hak-hak terpidana yang sudah dirampas negara tanpa hak tersebut. Lembaga PK tidak lagi untuk mencari keadilan melalui pasal-pasal yang didakwakan penuntut umum.Melainkan mengembalikan hak-hak dan keadilan yang sudah dirampas dan diperkosa negara tanpa hak.
3) Landasan filosofis PK tersebut diwujudkan dalam norma Pasal 263 Ayat (1) KUHAP. Hal itu merupakan kehendak pembentuk UU. Hakim tidak dibenarkan membuat tafsir dengan melanggar kehendak pembentuk UU.
4) Berdasarkan azas keseimbangan, negara telah diberi hak yang sama dan cukup untuk memperbaiki putusan pemidanaan salah yang telah tetap dengan alasan untuk kepentingan umum/negara, yakni melalui upaya kasasi demi kepentingan hukum (Pasal 259 KUHAP).[4]
5) Azas PK yang semata-mata untuk kepentingan terpidana atau ahli warisnya, merupakan nyawa/jiwa lembaga PK. Apabila jiwa/nyawa ini dicabut, maka lembaga PK pun mati, tanpa arti lagi.
6) Negara telah melanggar azas ne bis in idem – Pasal 76 KUHP. Azas mana bukan sekedar berlatar belakang untuk membatasi hak negara (due proces of law) semata dalam hal menuntut demi kepastian hukum, agar negara tidak sewenang-wenang dan secara terus menerus mengancam dengan menuntut pidana pada penduduk, melainkan juga dilandasi pada dorongan dan kehendak negara untuk menegakkan kewibawan negara itu sendiri serta kebutuhan memenuhi tuntutan perdamaian dan kepastian bagi individu.[5]
2. Landasan - Sudut Sejarah PK
Jaman Hindia Belanda, lembaga PK terdapat dalam Reglement op de Strafvordering (RSv) – Stb. nomor 40 jo 57 tahun 1847 khususnya dalam titel 18, hukum acara pidana bagi golongan Eropah (pada Raad van Justitie), dan tidak terdapat pada hukum acara peradilan untuk golongan Bumiputra (pada Landraad).[6]
Menurut Pasal 357 Sv: upaya PK dapat diajukan dengan suatu permohonan ke Mahkamah Agungoleh Jaksa Agung (door den procureur general) atau seorang terpidana yang dijatuhi pidana dengan putusan yang telah tetap.[7] Nyatalah bahwa meskipun dalam Sv. permohonan PK boleh diajukan oleh Jaksa Agung, namun hanyalah terhadap putusan yang menghukum terdakwa yang tetap saja, bukan terhadap putusan pembebasan yang tetap. Jadi upaya PK hanya dapat diajukan terhadap putusan pemidanaan yang tetap saja, dan tidak terhadap putusan pembebasan yang telah tetap, juga merupakan azas lembaga PK.
Setelah kemerdekaan, ketentuan PK pertama kali terdapat dalam PERMA No. 1/1969. Menurut Perma ini PK perkara pidana dapat diajukan oleh: terpidana, atau pihak yang berkepentingan atau Jaksa Agung terhadap putusan yang tidak mengandung pembebasan yang telah tetap (Pasal 3 jo 4).
PERMA 1/1969 dicabut oleh PERMA No. 1/1971. Sejak itu terjadi kekosongan hukum mengenai lembaga PK perkara pidana sampai keluarnya PERMA No. 1/1980 tanggal 1-12-1980.
PERMA No. 1/1980 sifatnya sementara dengan tujuan utama untuk mengatasi kesalahan negara yang telah terlanjur menghukum SENGKON dan KARTA yang kemudian terbukti tidak bersalah[8](ditahan 1974, dipidana tahun1977). Sifat sementara ini dikarenakan, bahwa hukum acara mengenai PK tidak seharusnya dibuat dalam bentuk PERMA, melainkan harus melalui UU. Namun dalam keadaan yang sangat mendesak, toh MA memberanikan diri mengulangi kembali mengeluarkan PERMA sebagaimana PERMA No. 1 Tahun 1969 yang sudah dicabut. Menurut PERMA No. 1 Tahun 1980 pihak yang berhak mengajukan PK, ialah terpidana, pihak yang berkepentingan atau JAGUNG terhadap putusan pemidanaan yang telah tetap.
Satu bulan setelah diberlakukan, dengan menggunakan dasar PERMA No. 1/1980 tersebut, tanggal 31 Januari 1981 Sdr. SENGKON dan KARTA di bebaskan MA atas permohonan Jaksa Agung.
Kasus SENGKON dan KARTA ini pula yang menjiwai lembaga PK dalam Bab XVIII Pasal 263 s/d 269KUHAP. Sebagaimana nampak dalam pandangan umum fraksi-fraksi di parlemen ketika membahas RUU KUHAP, kasus Sengkon dan Karta ini dijadikan alasan utama untuk memasukkan ketentuan PK dalam KUHAP. Kasus ini pula yang menjadi penyebab tidak ada perdebatan panjang mengenai norma-norma Pasal 263 s/d 269 KUHAP tersebut.
Jelaslah, bahwa dari sudut dasar falsafah lembaga PK dan sejarah PK, khususnya dari pengalaman kasus SENGKON dan KARTA itulah yang menjadi latar belakang dan merupakan ratio dari lahirnya konsepsi lembaga PK yang azasnya dirumuskan dalam Pasal 263 Ayat (1) KUHAP. Bahwa PK disediakan semata-mata untuk memulihkan keadilan dan hak-hak terpidana yang telah dirampas negara secara tidak sah. Bukan digunakan oleh negara untuk membongkar kasus yang sudah diputus pembebasan dan lepas dari tuntutan hukum yang tetap. Sementara norma selebihnya dalam Pasal 263 Ayat (2) s/d 269 KUHAP merupakan penjabaran dari azas dan fondasi PK dalam Ayat (1) tersebut.


B. SYARAT MATERIIL PENGAJUAN PK
Syarat materiil pengajuan PK dalam Pasal 263 (2) KUHAP adanya keadaan baru, ada beberapa putusan yang saling bertentangan dan putusan yang memperlihatkan suatu kekhilafan hakimatau kekelirun nyata
a. Keadaan baru, adalah suatu keadaan yang sudah ada sebelum/pada saat sidang - pemeriksaan perkara berlangsung, yang baru diketahui setelah putusan menjadi tetap. Sesungguhnya yang baru bukan keadaannya. Keadaan tersebut sudah ada pada saat sidang berlangsung, bahkan sebelumnya. Namun baru diketahui keberadaannya dari alat-alat bukti yang baru diketahui setelah perkara diputus dan menjadi tetap. Alat- bukti ini sesungguhnya juga bukan alat bukti baru, melainkan alat bukti yang sudah ada pada saat sidang berlangsung, bahkan sebelumnya, namun belum diajukan dan diperiksa di sidang,[9] oleh sebab berbagai hal.
b. Pelbagai putusan yang saling bertentangan, adalah terdapatnya dua atau lebih putusan yang saling berhubungan dan bersifat saling menentukan terhadap satu dengan yang lain secara timbal balik, dimana pertimbangan hukumnya atau amar putusannya saling bertentangan.
c. Putusan yang memperlihatkan kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata, merupakan kesalahan hakim dalam memutus perkara. Disebabkan oleh banyak hal dan keadaan yang sangat luas. Dapat dicari dalam beberapa keadaan, antara lain:
1) Pertimbangan hukum putusan maupun amarnya secara nyata bertentangan dengan azas-azashukum dan norma hukum;
2) Putusan tersebut melampaui kewenangan hakim;
3) Amar putusan yang sama sekali tidak didukung oleh pertimbangan hukum;
4) Amar putusan menyimpang jauh dari pertimbangan hukum;
5) Putusan dibuat atas pelaksanaan peradilan yang menyalahi prosedur;
6) Putusan peradilan yang sesat, baik karena kesesatan fakta maupun kesesatan hal hukumnya.
7) Pengadilan telah melakukan penafsiran suatu norma yang secara jelas melanggar kehendak pembentuk UU mengenai maksud dibentuknya norma tersebut;
8) Pengadilan telah menafsirkan suatu norma di luar cara-cara yang lazim & dikenal dalam doktrin hukum. Penafsiran suatu norma secara bebas, tanpa landasan teoritis dan diluar logika hukum. Penafsiran yang merusak (interpretatio est perversio).
9) Putusan yang mengakibatkan norma hukum yang sudah jelas, tuntas menjadi berubah/berlainan atau norma yang sudah limitatif menjadi bertambah, norma yang tertutup menjadi terbuka.
Putusan MA yang mengabulkan PK yang dimohonkan JPU dapat dikategorikan sebagai putusan yang memperlihatkan suatu kekhilafan atau kekeliruan yang nyata, dengan alasan:
• Pertimbangan hukum putusan maupun amarnya secara nyata bertentangan dengan azas-2 hukum dan norma hukum, karena bertentangan dengan syarat formil yang merupakan azas/fondasi PK dan syarat materiill PK yang dirumuskan dalam Pasal 263 Ayat (1) dan (2) KUHAP.
• Putusan tersebut melampaui kewenangan hakim, karena negara (melalui alat-alatnya) telah menggunakan suatu hak (mengajukan dan mengabulkan PK oleh jaksa) yang sesungguhnya tidak dimilikinya. Subjek hukum yang menggunakan suatu hak yang sesungguhnya tidak dimilkinya, maka perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan hukum, melainkan perbuatan yang melawan hukum, dan karenanya batal demi hukum.
• Amar putusan yang sama sekali tidak didukung oleh pertimbangan hukum, karena dengan mengabulkan PK yang dimohonkan JPU tidak mungkin dapat didukung dengan pertimbangan hukum yang sesuai dengan hukum PK dalam KUHAP, dan dengan demikian dapat dipastikan sudah diluar logika hukum. Karena MA yang mengabulkan permohona PK oleh JPU sejak awalnya telah melanggar hukum mengenai PK dalam KUHAP.
• Putusan dibuat atas pelaksanaan peradilan yang menyalahi prosedur, karena KUHAP tidak mengatur prosedur pengajuan PK yang diajukan JPU terhadap putusan bebas yang tetap. Yang ada dan diatur dalam KUHAP ialah prosedur pengajuan PK yang diajukan oleh terpidana atas putusan pemidanaan yang tetap saja.
• Putusan MA termasuk putusan peradilan yang sesat, dalam hal ini kesesatan hukum, Dengan mengabulkan PK yang dimohonkan JPU, yang artinya JPU telah melaksanakan suatu hak yang dia sendiri tidak memiliki hak tersebut, dapat dikualifikasikan sebagai putusan yang sesat hukum. Demikian juga MA yang mengabulkan PK yang diajukan oleh Jaksa dengan dasar pertimbangan Pasal 23 Ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, juga termasuk putusan peradilan yang sesat in casu putusan yang dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
• MA telah melakukan penafsiran suatu norma yang secara jelas melanggar kehendak pembentuk UU mengenai maksud dibentuknya Pasal 263 Ayat (1) KUHAP. Kehendak pembentuk UU bahwa pihak yang dapat mengajukan PK ialah terpidana atau ahli warisnya, bukan negara.
• MA telah menafsirkan suatu norma diluar cara-cara yang lazim dan dikenal dalam doktrin hukum. Penafsiran suatu norma secara bebas, tanpa landasan teoritis dan diluar logika hukum. MA telah menggunakan penafsiran bebas yang merusak (interpretatio est perversito).
• MA telah memutuskan sesuatu yang mengakibatkan norma hukum yang sudah jelas, tuntasmenjadi berubah/berlainan atau norma yang sudah limitatif menjadi bertambah, norma yang tertutup menjadi terbuka. Karena MA telah menambahkan norma baru dalam Pasal 263 Ayat (1) KUHAP, yakni JPU dapat mengajukan PK disamping terpidana atau ahli warisnya. MA telah masuk ke dalam wilayah kewenangan pembentuk UU.


C. PUTUSAN PENGADILAN BUKAN MERUPAKAN KEADAAN BARU
Dalam hal putusan pertama MA yang membebaskan seorang terdakwa dengan putusan tetap. Kemudian setelah itu ada putusan lain yang mempidana terdakwa lain. Putusan pengadilan yang dikeluarkanbelakangan, bukan merupakan keadaan baru. Karena yang dimaksud dengan keadaan baru adalah keadaan yang sesungguhnya sudah ada sebelum/ saat sidang berlangsung, namun belum diketahui keberadaannya. Keadaan tersebut diperoleh dari alat bukti, alat bukti mana sesungguhnya juga sudah ada sebelum/pada saat sidang berlangsung, namun tidak dimunculkan dan diperiksa di muka sidang.Sementara putusan pengadilan lain sebagai alat bukti, diterbitkan pada waktu sesudah putusan pertama dikeluarkan.


D. PASAL 23 AYAT (1) UU NO. 4/2004 TIDAK DAPAT DIGUNAKAN SEBAGAI DASAR PENGAJUAN PK OLEH JPU
Pihak-pihak yang dapat mengajukan PK yang dimaksud Pasal 23 Ayat (1) UU No. 4/2004 tidak termasuk negara (JPU), alasannya adalah:
• Norma Pasal 23 Ayat (1) UU No. 4/2004 yang menyebut pihak-pihak adalah merupakan norma lex generalis. Sementara PK perkara pidana diatur khusus (lex specialis) dalam Pasal 263 (1) KUHAP, maka yang khususlah berlaku (lex specialis derogat legi generali).
• Norma Pasal 263 Ayat (1) KUHAP merupakan norma yang sudah jelas, limitatif dan tuntas, makabersifat tertutup (lihat penjelasan Pasal 263 KUHAP). Rumusan norma hukum yang demikian, tidak dapat ditafsirkan lagi (interpretation cessat in claris). Sementara Pasal 23 Ayat (1) UU No. 4/2004 merupakan norma umum yang masih diperlukan penjabaran (khusus), bersifat terbuka.
• Rumusan Pasal 23 Ayat (1) UU 4/2004 jangan dibaca dan dimaknai secara sepotong-sepotong dengan maksud semata-mata untuk menghukum terdakwa yang sudah dibebaskan dengan putusan yang tetap dan diluar nalar dan akal sehat, tapi harus lengkap -menyeluruh. Dalam rumusan norma Ayat (1) tersebut terdapat syarat umum PK yakni bila terdapat hal atau keadaan tertentu dalam UU. Dalam perkara pidana, UU yang dimaksud adalah KUHAP, khususnya Pasal 263 Ayat (1), dimana hal atau keadaan tertentu yang dimaksud adalah keadaan putusan penghukuman yang telah tetap dan tiga syarat materiil PK dalam Ayat (2). Sementara subjek hukum yang berhakmengajukan PK pada keadaan dan syarat-syarat yang demikian hanyalah semata-mata terpidana atau ahli warisnya saja, bukan negara atau pihak lain.
• Syarat materiil pengajuan PK Pasal 263 Ayat (2) KUHAP tidak terpisahkan dengan syarat formil tentang subjek hukum yang berhak mengajukan PK dalam Ayat (1). Syarat materiil dalam Ayat (2) hanya dapat digunakan oleh subjek hukum yang disebutkan dalam Ayat (1) saja (penafsiran sistematis). Tidak dapat digunakan oleh subjek hukum lain diluar Ayat (1).
• Bahwa dari sudut pemahaman norma UU dengan menggunakan logika umum terhadap suatu syarat yang ditentukan secara limitatif, maka tidak diperkenankan menambah syarat lain diluar yang telah disebutkan. Sebab rumusan norma tersebut bersifat tertutup.
• Bahwa oleh karena itu maka putusan MA yang membenarkan alasan pengajuan PK oleh JPU tersebut merupakan putusan yang dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata sebagaimana dimaksud Pasal 263 Ayat (2) huruf c KUHAP.


E. ARTI PK DIAJUKAN HANYA SATU KALI
Pasal 23 Ayat (2) UU 4/2004 yang menyatakan PK hanya dapat diajukan satu kali, hanya semata-mata ditujukan bagi PK yang diajukan menurut ketentuan dan syarat-2 dalam Pasal 263 Ayat (1 ) dan (2) KUHAP, yakni PK yang diajukan oleh terpidana terhadap putusan pemidanaan yang tetap. Ketentuan tersebut tidak bisa diberlakukan terhadap putusan MA yang mengabulkan PK yang dimohonkan JPU terhadap putusan bebas yang in casu melanggar Pasal 263 Ayat (1) KUHAP. Hak terpidana tidak/belum dipergunakan untuk mengajukan PK sebagaimana dihehendaki UU.
Pelanggaran MA yang mengabulkan PK yang dimohonkan JPU, berimbas pada akibat hukum yang sangat merendahkan martabat dan merampas keadilan dan hak-hak terdakwa yang paling mendasar yang telah dibebaskan dengan putusan tetap. Pengabulan PK yang demikian ini melanggar hukum, menempatkan terdakwa yang semula dibebaskan tadi dalam suatu keadaan serba salah, serba merugikan hak-hak dan kepentingan hukumnya. Mengapa demikian?
• Pertama, jika dilihat dari sudut maksud pembentuk UU bahwa PK yang hanya dapat diajukan “satu kali”, adalah permohonan PK yang diajukan terpidana (bukan oleh JPU) terhadap putusan pemidanaan yang tetap berdasarkan syarat-syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 263 KUHAP. Sementara PK yang diajukan JPU yang kemudian dikabulkan MA bukan diajukan terpidana terhadap putusan pemidanaan sesuai syarat-syarat dalam Pasal 263 KUHAP tersebut. Dalam hal ini terpidana yang sekarang belum menggunakan haknya. Maka sesungguhnya dibenarkan untuk mengajukan PK. Subjek hukum sah menggunakan suatu hak apabila Ia memiliki hak yang digunakannya tersebut. Sebaliknya subjek hukum yang menggunakan suatu hak yang sesungguhnya tidak dimilikinya, maka penggunaan hak tersebut tidak sah dan tidak membawa suatu akibat hukum apapun bagi siapapun.
• Kedua, namun apabila dilihat dari sudut azas ne bis idem (diwujudkan dalam norma Pasal 76 KUHP), bahwa putusan pertama (pembebasan yang tetap) tersebut tidak boleh diubah lagi dengan cara apapun, maka terdakwa semula yang sekarang terpidana menjadi terhalang untuk mengajukan PK, padahal hak tersebut belum digunakan olehnya. Justru yang menghalangi dan menghilangkan hak terpidana yang sekarang ini, adalah ulah dan perbuatan negara sendiri yang telah melawan putusan bebas yang tetap, padahal hak itu tidak ada pada negara. Negara telah menggunakan sesuatu hak, yang sesungguhnya tidak dimilikinya. Karena itu putusan MA yang demikian harus dinyatakan batal demi hukum oleh upaya PK yang diajukan oleh terpidana yang sekarang, yang dahulu telah dibebaskan dengan putusan tetap.
Oleh karena itu, “andaikata” terdakwa semula yang sudah dibebaskan dengan putusan tetap atau terpidana sekarang yang mengajukan PK, kemudian tidak diterima/ditolak MA dengan alasan PK hanya satu kali, dan sudah dipergunakan (sesungguhnya oleh JPU, bukan oleh terpidana), maka benar-benar MA telah melakukan penyalahgunaan kekuasaannya secara terang dan terbuka kepada segenap bangsa Indonesia dan masyarakat dunia, tanpa memerhatikan hukum yang seharusnya ditegakkan oleh MA sendiri. MA telah melakukan dua perkosaan yang amat serius terhadap keadilan dan hak penduduk negara sekaligus, ialah:
• Pertama hak ketenangan hidup setiap penduduk negara yang telah dibebaskan dengan putusan tetap, hak agar perkaranya tidak diungkit-ungkit lagi.
• Kedua, hak untuk mengajukan upaya PK, yang menurut azasnya adalah hak asli terpidana yang tidak dapat dikurangi sedikitpun dengan alasan apapun yang sama sekali belum dipergunakannya.


F. SEMA NO. 10 TAHUN 2009 MENGENAI PK SATU KALI DAN TIDAK PERLU DIKIRIM KE MA TIDAK TERMASUK PK YANG DIAJUKAN TERPIDANA YANG DAHULU DI BEBASKAN KEMUDIAN DIPIDANA OLEH MA ATAS PENGAJUAN PK OLEH JPU
MA mengeluarkan SEMA No. 10 Tahun 2009, yang pada pokoknya:
• Permohonan PK perkara yang sama perdata maupun pidana yang diajukan lebih dari satu kali bertentangan dengan UU.
• Bila ada permohonan PK yang dimaksudkan, agar dengan Penetapan Ketua Pengadilan Tingkat Pertama, permohonan tersebut dinyatakan tidak dapat diterima dan berkas perkaranya tidak perlu dikirim ke Mahkamah Agung.
Bahwa karena sifatnya, maka isi SEMA tersebut tidak berlaku terhadap permohonan PK yang diajukan terpidana yang dahulu telah dibebaskan dengan putusan telah tetap, yang kemudian dipidana oleh MA atas permohonan PK oleh JPU. SEMA tersebut hanya berlaku terhadap permohonan PK yang sesuai dengan Pasal 263 KUHAP, ialah PK yang dimohonkan oleh terpidana terhadap putusan pemidanaan yang telah tetap. Prinsip PK hanya satu kali, hanya berlaku bagi PK yang dimohonkan terpidana yang sejak awal dipidana dengan putusan yang telah tetap.
Oleh karena itu, “apabila” Ketua Pengadilan Negeri tidak mengirimkan berkas permohonan PK dan kelengkapannya yang diajukan terpidana karena dipidana oleh MA yang mengabulkan permohonan JPU, yang semula sudah dibebaskan dengan putusan tetap, dengan alasan melaksanakan Perma No. 10 Tahun 2009, maka Ketua Pengadilan Negeri telah melakukan suatu kebodohan dan kebohongan publik yang amat besar. Sewajarnya sang ketua ini dilaporkan saja ke Komisi Yudisial untuk diusulkan ke MA agar diberi sanksi sesuai dengan kebodohannya tersebut.


G. NEGARA (JPU) DAPAT MENGAJUKAN PK BUKAN MERUPAKAN HASIL PENAFSIRAN UNTUK MENEMUKAN HUKUM
Dalam hal/keadaan dan dengan syarat-syarat tertentu hakim dapat melakukan penggalian melalui penafsiran untuk menemukan hukum. Penegak hukum lain, jaksa dan advokat dapat pula menggali untuk menemukan hukum. Juga para ahli hukum. Temuan hukum oleh ahli hukum merupakan doktrin, dan menjadi hukum setelah diadopsi dalam putusan hakim.
Menggali untuk menemukan hukum harus dilakukan dalam hal dan keadaan khusus serta dengan syarat-2 yang amat ketat, ialah:
a. bila hukumnya tidak ada, namun sangat mendesak untuk memutus perkara. Maka norma yang paling dekat dengan kasus dapat ditafsirkan dengan menggunakan cara-2 yang lazim dalam doktrin dan tidak boleh keluar dari logika. Apabila sama sekali tidak ada norma yang paling dekat, maka tidak mungkin dapat mengadakan penafsiran.
b. hukumnya ada namun tidak/kurang jelas, untuk memperjelas dalam rangka penerapannya dapat dengan menggunakan tafsir yang sesuai dengan cara-2 penafsiran yang lazim dan dikenal dalam doktrin hukum.
c. hukumnya ada dan jelas namun tidak persis ketepatan penerapannya dalam suatu kasus. Dengan menggunakan logika berdasarkan cara-cara menafsirkan yang lazim dan dikenal dalam doktrin masih mungkin ditafsirkan.
Hak hakim menafsirkan dalam hukum pidana sangat ketat, harus memenuhi syarat-syarat dan dengan menggunakan cara-cara yang lazim dan dikenal dalam doktrin hukum, disebabkan karena:
• dibatasi oleh azas legalitas dalam Pasal 1 KUHP.
• Indonesia tidak menganut hukum preseden, hakim menjalankan hukum UU, bukan menjalankan hukum putusan hakim (preseden).
Putusan MA yang mengabulkan PK yang dimohonkan JPU, tidak masuk pada masalah penafsiran terhadap norma Pasal 263 (1) KUHAP, karena:
• Rumusan Pasal 263 Ayat (1) KUHAP merupakan rumusan yang sudah jelas dan limitatif (lihat penjelasan Pasal 263 KUHAP), bersifat tertutup. Tidak dapat ditafsirkan lagi (adagium interpreation cesat in claris).
• Tidak ada landasan yuridis, filosofis maupun sosiologis dari pendapat bahwa JPU berhak mengajukan PK
• Negara (JPU) telah menggunakan sesuatu hak (mengajukan PK) yang sesungguhnya tidak dimilikinya.
• Tidak ada norma yang paling dekat dalam KUHAP yang dapat ditafsirkan bahwa Negara (JPU) adalah juga berhak mengajukan PK disamping terpidana atau ahli warisnya.
• Sudah berada diluar cara-2 penafsiran yang diperkenankan dan lazim dalam doktrin. MA sudah merubah dan atau menambah norma hukum baru diluar Pasal 263 Ayat (1) KUHAP.
• Putusan MA sudah merubah atau menambah norma baru. Oleh sebab itu bukan lagi masuk wilayah interprestasi yang menjadi kewenangan hakim. Melainkan sudah masuk wilayah kewenangan pembentuk UU.


H. MAHKAMAH AGUNG TELAH MELAMPAUI PENAFSIRAN ANALOGI
Apa yang dilakukan MA sudah melampaui analogi. Analogi adalah salah satu cara menafsirkan, meskipun hampir semua ahli hukum menolak karena bertentangan dengan azas legalitas. Namun dengan menggunakan logika analogi masih dapat dicari landasannya. Dicontohkan, dalam arrest HR mengenai pencurian listrik (1921), bahwa aliran listrik sebagai benda yang bernilai ekonomi yang sama dengan benda yang menjadi objek pencurian.[10] Mencuri dalam trem yang berjalan dianalogkan pada mencuri dalam bis yang sedang berjalan[11], dapat dicari dari persamaan kepentingan hukum yang hendak dilindungi, untuk melindugi kepentingan hukum si pemilik barang dalam sebuah kendaraan umum yang sedang berjalan. Trem adalah kendaraan umum, bis juga adalah kendaraan umum. Namun pendapat bahwa JPU berhak mengajukan PK, bukan lagi masalah penafsiran, tetapi sudah masuk wilayah kewenangan pembentuk UU. Sudah merubah atau menambah norma baru dari Pasal 263 Ayat (1) KUHAP.


I. MA BUKAN MENGGALI UNTUK MENEMUKAN HUKUM
Juga tidak dapat dianggap bahwa MA menggali nilai-nilai hukum & keadilan masyarakat menurut Pasal 28 Ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004, karena:
• Pertama, menggali nilai hukum dibatasi pada masalah (1) hukumnya belum ada atau (2) hukumnya tidak jelas, (3) hukumnya ada dan jelas – namun tidak tepat benar diterapkan pada suatu kasus, diperlukan untuk menyelesaikan suatu kasus. Norma hukum PK Pasal 263 Ayat (1) KUHAP telah jelas, pasti, tuntas dan limitatif, merupakan rumusan tertutup. Tidak dapat ditafsirkan lagi (adagium interpreation cesat in claris). Menggali untuk menemukan hukum tidak sama artinya dengan menciptakan / membuat hukum baru, seperti yang dipraktikan MA dengan menambah norma baru ke dalam Pasal 263 Ayat (1) KUHAP.
• Kedua, hakim boleh menggali untuk menemukan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat dengan tidak melanggar norma hukum yang sudah berlaku difinitif. Hakim tidak dibenarkan melanggar norma hukum dengan alasan menciptakan hukum. Indonesia tidak menganut hukum preseden.
• Ketiga, menggali nilai-nilai hukum harus melalui hukum dengan cara-cara penafsiran yang sudah lazim dalam doktrin dan tidak keluar dari logika. Tidak menggunakan penafsiran bebas yang merusak (interpretatio est perversito).


J. PUTUSAN MA TERSEBUT BUKAN YURISPRODENSI
Putusan MA yang mengabulkan PK yang dimohonkan JPU tidak dapat disebut yurisprodensi, alasannya adalah:
• Putusan tersebut bertentangan dengan hukum dan melanggar kehendak pembentuk UU.
• MA telah menggunakan suatu hak yang menurut hukum tidak dimilikinya. Karena itu putusan MA tersebut batal demi hukum.
• Tingkat keberlakuan hukum dari putusan hakim berada di bawah hukum UU. Sementara hukum UU mengenai PK tidak dilaksanakan.
• Putusan hakim tidak wajib diikuti oleh putusan hakim lain, tapi norma UU wajib ditegakan oleh semua hakim.
• Dengan terdapatnya suatu keadaan dimana disatu pihak MA mengabulkan PK JPU sementara dipihak lain menolak, menimbulkan kekacauan praktik penegakan hukum PK. Berdaskan azas penerobosan legalitas, seharusnya MA memilih putusan (hukum) yang menguntungkan terdakwa.


K. SOLUSI, PUTUSAN MA PERKARA MULYAR bin SAMSI DAPAT MENJADI YURISPRODENSI
Disamping ada putusan MA yang mengabulkan PK dimohonkan JPU, ada pula putusan MA yang menyatakan tidak dapat menerima PK dimohonkan JPU, ialah dalam perkara Sdr. Mulyar bin Samsi.
• Putusan hakim adalah hukum. Dalam hal ini ada dua sumber hukum setingkat mengenai hal yang sama yang saling bertentangan. Maka berdasarkan azas penerobosan legalitas, ialah harus menggunakan hukum yang paling menguntungkan terdakwa. Azas ini diwujudkan dalam norma Pasal 1 Ayat (2) KUHP.
• Sesuai dengan azas penerobosan legalitas tersebut maka Putusan MA perkara Mulyar bin Samsi No. 84 PK/Pid/2006 tanggal 18 Juli 2007, dapat dijadikan dasar MA untuk menolak setiap permohonan PK yang dimohonkan JPU.
• Apabila dalam perkara pidana yang telah diputus pembebasan yang tetap, disadari kemudian terdapat kekeliruan hakim dan karena itu menimbulkan kerugian negara, maka pengembalian kerugian negara tidak harus dengan cara-cara yang melanggar hukum, seperti selama ini negara (JPU) mengajukan permohonan PK terhadap putusan pembebasan yang tetap. Kerugian negara tersebut dapat dikembalikan dengan melalui gugatan perdata. Selain negara tidak melanggar hukum, kewibawaan negara dan kewibawaan hukum negara akan tetap terjaga, hak-hak terdakwa yang telah dibebaskan dengan putusan yang tetap dijujung tinggi dan dihargai. Suatu penceriman dari suatu negara hukum, bukan negara kekuasaan seperti jaman orde baru terdahulu.


L. PK TIDAK LAGI MENCARI KEADILAN MELALUI PASAL YANG DIDAKWAKAN JAKSA, MELAINKAN MENGEMBALIKAN KEADILAN PADA TERPIDANA YANG TELAH DIRAMPAS NEGARA TANPA HAK
Putusan pembebasan dan pelepasan dari tuntutan hukum yang sudah tetap. Tidak dapat dilawan lagi dengan upaya hukum biasa maupun luar biasa oleh pihak manapun juga. Tidak dapat dibenarkan negara mempersoalkan lagi tentang keadilan dalam putusan tersebut. Prosesnya sudah berlalu, sudah kasep. Logikanya:
• Bahwa dalam setiap norma hukum sudah berbobot keadilan, disamping kemanfaatan dan tentu saja sesuai logika. Dibentuknya norma hukum adalah untuk keadilan dan kemanfaatan. Jika hukum diterapkan - kepastian hukum dicapai, maka keadilan dan kemanfaatan juga dengan sendirinya ikut serta ditegakkan. Tidak mungkin sebaliknya. Mencari keadilan harus melalui hukum, bukan dengan menafsirkan norma secara bebas yang merusak (interpretatio est perversito).
• Kepastian hukum adalah konkret – lebih terukur karena itu menjadi tujuan utama penegakan hukum.Sementara keadilan abstrak - relatif dan tidak bisa diukur, oleh karenanya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kepastian hukum, bukan semata-mata menjadi tujuan satu-satunya yang lepas terlempar jauh dari kepastian hukum.
• Negara membawa terdakwa ke sidang pengadilan untuk menegakkan hukum yang sekaligus di dalamnya keadilan. Selama proses peradilan berjalan – pada saat itu saja negara berhak mencari keadilan dengan melalui norma-norma hukum. Pada saatnya proses itu akan berakhir, ialah ketika putusan menjadi tetap. Sementara proses PK tidak lagi mempersoalkan keadilan dengan melalui penerapan norma-norma hukum seperti itu. Proses tersebut sudah berlalu, sudah liwat, sudah kasep.Melainkan mengembalikan keadilan dan hak-hak kepada terpidana yang sudah dirampas negara oleh putusan pemidanaan. Tidak dibenarkan negara secara terus menerus melakukan penuntutan.
Dengan mengabulkan PK yang dimohonkan JPU, MA telah melakukan sesuatu kesalahan yang amat serius, karena:
• melanggar azas fondamental bahwa PK semata-mata ditujukan untuk kepentingan terpidana.
• Melanggar syarat formil dan materiil PK dalam Pasal 263 KUHAP.
• melanggar kehendak pembentuk UU sebagaimana maksud yang sesungguhnya dibentuknya lembaga PK.
• MA telah mempraktikkan negara kekuasaan seperti zaman Orde Baru, yang semula tidak rela Sdr. Muchtar Pakpahan dibebaskan (1995). Negara telah menyalahgunakan kekuasaannya untuk melanggar hukum UU. Latar belakang dan jiwa penegakan hukum yang demikian kini sudah ketinggalan jaman. MA sudah mundur jauh ke belakang.
• Putusan MA bertentangan dengan dasar filosofi, sosiologis dan yuridis dari keberadaan lembaga PK.
Akibatnya adalah:
• Tidak ada lagi kepastian hukum mengenai PK di Indonesia, baik bagi negara maupun penduduk negara khususnya bagi terdakwa yang telah dibebaskan.
• Negara telah bertindak sewenang-wenang pada penduduk negara. Negara sudah masuk ke praktik negara kekuasaan.
• Azas PK yang semata-mata ditujukan bagi kepentingan terpidana, yang fungsinya membatasi kekuasaan negara (due proces of law), dengan tujuan untuk menghindari perlakuan sewenang-wenang negara pada penduduk negara di bidang peradilan, sebagai suatu ciri dari negara hukum, telah dilanggar secara terbuka dan terang-terangan.
• Putusan MA telah mengacaukan sistem hukum acara lembaga PK itu sendiri. Telah menjungkirbalikan norma Pasal 263, 264, 265, 266, dan 268 KUHAP, yang tegas, tuntas dan limitatif,sebagaimana kehendak pembentuk UU.
• Putusan pembebasan tidak membuat ketentraman bagi yang bersangkutan. Selalu dihantui perasaan ketakutan dan was-was seumur hidupnya, bahwa suatu saat akan dituntut lagi melalui PK.
• Dengan pembolehan JPU mengajukan PK membuka peluang untuk dapat disalahgunakan oleh oknum-oknum sebagai alat pemerasan terhadap terdakwa diputus bebas yang telah tetap.


M. KESIMPULAN
1. Azas lembaga PK, semata-mata ditujukan bagi kepentingan terpidana tidak dapat disimpangi dengan alasan apapun. Karena merupakan fondasi dari lembaga PK. Fondasi mana dibangun dan tegak diatas falsafah dan sejarah lembaga PK itu sendiri.
2. Apabila JPU mengajukan upaya PK terhadap putusan pembebasan terdakwa yang sudah tetap, maka demi kewibawan negara dan kewibawan hukum dalam suatu negara hukum, MA dengan jiwa besar (sesuai dengan konotasi “agung” dibelakang frasa mahkamah) harus secara tegas menyatakan tidak menerima permohonan yang melanggar hukum tersebut.
3. Apabila dalam perkara pidana yang sudah diputus pembebasan yang tetap, disadari kemudian terdapat kekeliruan hakim yang dapat menimbulkan kerugian negara, maka pengembalian kerugian negara dapat dilakukan dengan melalui gugatan perdata – perbuatan melawan hukum atau wanprestasi (bergantung pada keadaan dan sifat perkaranya), dan tidak dibenarkan dengan cara JPU mengajukan permohoan PK terhadap putusan pembebasan yang tetap tersebut. Dengan demikian akan tetap terjaga kewibawan negara atau MA sebagai pengadilan tertinggi di republik ini. Sekaligus dapat dipulihkannya kerugian negara, apabila dapat dibuktikan akibat dari perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) atau wanprestasi.

Kampus FH UB, 10 Juli 2009.

________________________________________
[1] Lihat M Yahya Harahap, 1988. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Jilid II), Penerbit Pustaka Kartini, Jakarta, halaman 1200. Bandingkan pula dengan H. Rusli Muhamad, 2007. Hukum Acara Pidana Kotemporer, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, halaman 287.
[2] Hendari Djenawi Tahir, 1982. Bab Tentang Herziening Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Penerbit Alumni, Bandung., halaman 7.
[3] www.gatra.com, diakses tanggal 10 Juli 2009.
[4] Lihat M Yahya Harahap, Op.cit., halaman 1201.
[5] Bandingkan dengan Jan Remmelink, 2003. Hukum Pidana, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, halaman 425.
[6] Hendari Djenawi, Op.cit. halaman 9.
[7] H. Rusli Muhammad, Op.cit, halaman 289.
[8] Hadari Djenawi, Op.cit., halaman 20..
[9] Adami Chazawi, 2008. Kemahiran & Keterampilan Praktik Hukum Pidana, Penerbit Bayumedia Publishing, Malang, halaman 265.
[10] Lihat FAP Lamintang dan Djisman Samosir, 1979. Delik-delik Khusus Kejahatan yang Ditujukan Terhadap Hak Milik dan Lain-lain Hak yang Timbul dari Hak Milik, Penerbit Tarsito, Bandung, halaman 89.
[11] Lihat Wirjono Prodjodikoro, 2003. Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Penerbit Reflika Aditama, Bandung, halaman 25.
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar