Iklan

Iklan

Iklan

Sabtu, 28 Agustus 2010

KEDUDUKAN PUTUSAN ARBITRASE ONLINE DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA

oleh : Denden Imadudin Soleh, SH.

I. PENDAHULUAN

A. LATARBELAKANG
Seiring dengan banyaknya negara di dunia yang menganut dan menerapkan sistem ekonomi terbuka dan berorientasi pasar, maka perdagangan internasional antar negara pun belakangan ini semakin berkembang, Di samping itu perkembangan penggunaan internet sebagai alat komunikasi jarak jauh/lintas negara di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia cukup signifikan[1], sehingga komunikasi antar negara pun terasa begitu dekat dan sangat mudah, sehingga berdampak pula pada perkembangan bisnis internasional karena hubungan bisnis internasional atau transaksi perdagangan internasional pun sekarang bisa di lakukan secara elektronik dengan jarak jauh melalui internet atau sering kita sebut dengan transaksi elektronik (e-commerce)[2]. Sehingga meski tidak saling bertemu secara fisik pun bisa melakukan transaksi bisnis.
Tetapi harus kita ingat bahwa dalam suatu hubungan bisnis atau perjanjian, selalu ada kemungkinan timbulnya sengketa. Sengketa yang perlu diantisipasi adalah mengenai bagaimana cara melaksanakan klausul-klausul perjanjian, apa isi perjanjian ataupun disebabkan hal lainnya[3]. Bila konteks ini terjadi dalam perdagangan dalam negeri, tentunya tidak menjadi masalah, karena pihak yang dirugikan dapat melakukan upaya hukum melalui pengadilan. Bahkan di Indonesia bila salah satu pihak adalah kreditur yang piutangnya jatuh tempo namun belum dibayar, maka ia dapat mempailitkan debiturnya dengan mengajukan perkara tersebut ke pengadilan niaga. Tapi dengan transaksi secara elektronik ini justru kebanyakan melibatkan 2 negara atau lebih. Dengan meningkatnya kegiatan e-commerce melalui media internet, yang sering kali menimbulkan sengketa di antara para pihak yang bersangkutan, maka dunia internasional membutuhkan cara penyelesaian sengketa yang lebih cepat, murah, dn efektif daripada melalui arbitrase tradisional[4]. Tapi justru dengan meningkatnya transaksi secara elektronik (e-commerce) ini telah mengilhami dilakukannya penyelesaian sengketa secara elektronik pula (online). Di tengah kebingungan atas sistem hukum yang tidak mudah mengikuti perkembangan dan cepatnya kemajuan, teknologi telah melahirkan gagasan tentang penyelesaian sengketa secara online.

Upaya penyelesaian sengketa arbitrase online sudah mulai dikenal dan diberlakukan di negara-negara maju seperti Amerika, Inggris, Kanada dan beberapa negara di Eropa. Cara penyelesaian sengketa ini sangat menarik karena dilakukan secara online sehingga memudahkan para pihak untuk menyelesaikan sengketa dimanapun mereka berada tanpa terhalang waktu dan tempat. Arbitrase online menjadi suatu pilihan yang menrik dalam penyelesaian sengketa e-commerce, mengingat hukum menginginkannya demikian[5].
Di Indonesia arbitrase online merupakan hal baru dan belum diatur dalam suatu peraturan khusus. Peraturan tentang arbitrase di Indonesia terdapat pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Namun, dalam undang-undang tersebut tidak ada pengaturan mengenai arbitrase yang dilakukan secara online. Arbitrase online sendiri hampir sama dengan arbitrase konvensional, perbedaannya dalam arbitrase online proses pendaftaran perkara, pemilihan arbiter, pembuatan putusan, penyerahan dokumen, permusyawaratan arbitrator, serta pemberitahuan akan adanya putusan dilakukan secara online.
Seperti yang kita ketahui bahwa Putusan Arbitrase bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap) sehingga ketua pengadilan tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut[6].
Dalam jurisprudensi, kita mengetahui ada suatu kasus yaitu Arrest Artist de Labourer dimana perkara tersebut diajukan ke Pengadilan Negeri padahal sudah memuat klausul arbitrase untuk penyelesaian sengketanya. Pada praktek saat ini juga masih dijumpai pengadilan negeri yang melayani gugatan pihak yang kalah dalam arbitrase.


B. Identifikasi Masalah

1.Bagaimana kedudukan putusan arbitrase online di dalam sistem hukum Indonesia ?

II. PEMBAHASAN

A. Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan
Karena berbagai kelemahan yang melekat pada badan pengadilan dalam menyelesaikan sengketa, baik kelemahan yang diperbaiki ataupun tidak, maka banyak kalangan yang ingin mencari cara lain atau institusi lain dalam menyelesaikan sengketa di luar badan-badan pengadilan[7]. Di Indonesia sulit untuk mendapatkan pengaturan yang memadai (lengkap) mengenai penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa ( selanjutnya disingkat APS ). Dalam Pasal 1 angka 10 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 disebutkan bahwa :
“Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati oleh para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli”.[8]

Dalam Pasal 1 tidak memberikan penjelasan lebih lanjut apa dan bagaimana prosedur APS. Tidak disebutkan pengertian dari konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi dan penilaian ahli. Padahal masing – masing cara penyelesaian tersebut seharusnya diatur secara rinci untuk menghindari kesalahan subjektivitas di dalam penafsiran. Dari 82 Pasal dalam Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 hanya ada 1 Pasal yaitu pasal 6 yang hanya menjelaskan proses penyelesaian sengketa melalui APS.

B. Cara-cara Altenatif Penyelesaian Sengketa
Munir Fuady menyatakan ada beberapa macam alternatif penyelesaian sengketa, yaitu sebagai berikut[9]:
1. Arbitrase
2. Negosiasi
3. Mediasi
4. Konsiliasi
5. Pencari Fakta
6. Peradilan Mini (Mini Trial)
7. Ombudsman
8. Pengadilan Kasus kecil (Smaal Claim Court)
9. Peradilan Adat
Tetapi selain alternatif penyelesaian sengketa diatas yang dilakukan secara konvensional, untuk mengantisipasi peningjatan kegiatan e-commerce melalui media internet yang juga sering menimbulkan sengketa, maka harus di dukung oleh suatu perangkat hukum yang tidak menghambat perkembangan e-commerce, yaitu melalui cara penyelesaian sengketa yang di kenal dengan Online Dispute Resolution[10], yang dapat dilakukan melalui media interconnected networking (internet) dan/atau jika diperlukan pertemuan face to face dapat dilakukan secara audiovisual melalui video-conferencing[11]. Adapun bentuk dari Online Dispute Resolution adalah[12]:
1. Online negotiation
2. Online mediation
3. Online arbitration
Namun dari berbagai macam model penyelesian sengketa di luar pengadilan baik yang konvensional maupun secara online yang sangat popular adalah arbitrase,baik itu arbitrase konvensional ataupun arbitrase online.

C. Pengertian Arbitrase dan Arbirase Online
Kata arbitrase sendiri berasal dari bahasa Latin arbitrare yang artinya kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut “kebijaksanaan“. Dikaitkannya istilah arbitrase dengan kebijaksanaan seolah – olah member petunjuk bahwa majelis arbitrase tidak perlu memerhatikan hukum dalam menyelesaikan sengketa para pihak, tetapi cukup mendasarkan pada kebijaksanaan. Pandangan tersebut keliru karena arbiter juga menerapkan hukum seperti apa yang dilakukan oleh hakim di pengadilan.[13]
Menurut Black's Law Dictionary: "Arbitration is reference of a dispute to an impartial (third) person chosen by the parties to the dispute who agree in advance by the arbitrator’s award issues after hearing at which both parties have an opportunity to be heard".[14]
Sedangkan menurut Pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999

“Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”.[15]

Seperti yang kita ketahui arbitrase merupakan suatu cara penyelesaian sengketa di luar lembaga peradilan, berdasarkan perjanjian di antara para pihak yang bersengketa, dengan bantuan arbiter sebagai pihak ketiga yang netral. sama halnya dengan arbitrase online yang juga menggunakan jasa pihak ketiga yang netral sebagai pembuat keputusan. Hanya saja, di dalam arbitrase online terdapat pihak keempat (the fourth party) yaitu teknologi yang membantu artbiter dalam melaksanakan tugasnya.[16]
Adapun pengertian arbitrase online menurut Rafak Morek adalah[17]:
online arbitration is understood in the broader meaning, as an arbitration procedure conducted, at least partly, through electronic means related to the advancement of the Internet.(Terjemahan bebasnya : arbitrase online dipahami dalam arti luas, sebagai prosedur arbitrase yang dilakukan, setidaknya sebagian, melalui elektronik berarti terkait dengan kemajuan Internet).
Sedangkan pengertian arbitrase online dalam http://www.odernews.com. adalah :
“Arbitration, where parties make their case to a neutral party who does have decision making authority . Arbitration works like a courtroom, the arbitrator is like a judge, and after hearing both sides renders a decisions. This decision can be either binding or non binding, depending on what the parties agree to before take arbitration take place”[18] (Terjemahan bebasnya : Arbitrase, di mana para pihak menyerahkan kasus mereka kepada pihak netral yang memiliki wewenang pengambilan keputusan. Arbitrase bekerja seperti dalam ruang siding, arbiter seperti hakim, dan sesudah mendengar kedua belah pihak menyajikan sebuah keputusan. Keputusan ini dapat berupa mengikat atau tidak mengikat, tergantung pada apa yang para pihak setuju untuk sebelum mengambil arbitrase berlangsung)
Menurut Mochamad Basarah Berdasarkan pengertian tersebut, maka putusan arbitrase dapat bersifat binding atau non-binding tergantung kepada kesepakatan para pihak sebelum putusan itu dilaksanakan.[19]

D.Dasar hukum Arbitrase
Pengaturan tentang masalah arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa di Indonesua di atur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, sebelumnya ketentuan – ketentuan tentang arbitrase tercantum dalam Pasal 615 sampai Pasal 651 dari Reglement op de Rechtsvorderin (Rv), yang merupakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata untuk penduduk Indonesia yang berasal dari Golongan Eropa atau yang disamakan dengan mereka.

a. Pasal 377 HIR
Tata hukum Indonesia memiliki aturan mengenai arbitrase. Landasan hukumnya bertitik tolak dari Pasal 377 HIR atau pasal 705 RBG yang menyatakan bahwa jika orang Indonesia dan orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh juru pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang berlaku
bagi bangsa Eropa.
Pasal ini menegaskan hal – hal sebagai berikut :
1. Pihak–pihak yang bersangkutan diperbolehkan menyelesaikan sengketa melalui juru pisah atau arbitrase.
2. Arbitrase diberi fungsi dan kewenangan untuk menyelesaikannya dalam bentuk keputusan.
3. Untuk itu, baik para pihak maupun arbiter “ wajib “ tunduk menuruti peraturan hukum acara yang berlaku bagi bangsa bangsa atau golongan Eropa.
b. Pasal 615 – 651 Rv
Sebagaimana sudah dijelaskan, landasan aturan keberadaan arbitrase berpijak pada ketentuan pasal 377 HIR. Akan tetapi, HIR maupun RBG tidak memuat aturan lebih lanjut tentang arbitrase. Untuk mengisi kekosongan aturan tentang arbitrase, Pasal 377 HIR atau pasal 705 RBG langsung menunjuk aturan pasal–pasal arbitrase yang terdapat dalam Reglement Hukum Acara Perdata (Reglement op de Bergelijke Rechtsvordering, disingkat Rv, S 1847 – 52 jo 1849 – 63). Hal itu jelas terbaca dalam kalimat “wajib memenuhi peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa”). Sebagai pedoman umum aturan arbitrase yang diatur dalam Reglemen Acara Perdata meliputi lima bagian pokok berikut :
a. Bagian pertama (615 – 623) : Persetujuan arbitrase dan pengangkatan arbiter.
b. Bagian kedua (624 – 630) : Pemeriksaan di muka badan arbitrase.
c. Bagian ketiga (631 – 640) : Putusan arbitrase.
d. Bagian keempat (641 – 647) : Upaya–upaya terhadap putusan arbitrase.
e. Bagian kelima (647 – 651) : Berakhirnya acara – acara arbitrase.
Penggunaan Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtvordering, Staadblad 1847 : 52), Pasal 377 Reglemen Indonesia yang diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement Staadblad 1941 : 44), dan Pasal 705 Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buistengewesten, staatsblad 1927:227) sebagai pedoman arbitrase sudah tidak memadai lagi dengan ketentuan dagang yang bersifat internasional. Pembaharuan pengaturan mengenai arbitrase sudah merupakan conditio sine qua non dan perlu perubahan secara substantif dan filosofis atas pengaturan mengenai arbitrase yang ada.[20]
Pada tanggal 12 Agustus 1999, telah disahkan Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999. Undang – Undang ini merupakan perubahan atas pengaturan mengenai arbitrase yang sudah tidak memadai lagi dengan tuntutan perdagangan Internasional. Ketentuan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtvordering, Staadblad 1847 : 52), Pasal 377 Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement Staadblad 1941 : 44), dan Pasal 705 Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buistengewesten, staatsblad 1927 : 227), sudah tidak berlaku.

E.Dasar Hukum Arbitrase online
Apabila mengacu kepada UU No.30 tahun 1999, suatu perjanjian arbitrase harus di buat dalm bentuk tertulis Prosedur untuk berarbitrase online dapat dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang berbunyi :
“Dalam hal disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi dalam bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram, faksimili, e-mail, atau dalam bentuk sarana komunikasi lainnya, wajib disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh para pihak ”.

Dari ketentuan di atas, dapat dilihat bahwa penyelenggaraan arbitrase online dimungkinkan apabila ada kesepakatan terlebih dahulu dari para pihak untuk menyelenggarakan arbitrase secara online.
Klausula tertulis perjanjian arbitrase terdapat dalam Pasal 1 angka 3 yang menyatakan :
“Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa “.

Dari pengertian yang dipaparkan di atas undang - undang tidak memberikan batasan tentang bentuk apa yang harus digunakan yaitu harus tercetak atau tidak, hanya memberikan batasan bahwa perjanjian tersebut secara tertulis. Undang – undang di atas tidak mengatur bahan atau media apa yang digunakan untuk menulis. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase konvensional mendasarkan kegiatannya pada pertukaran dan pemeriksaan dokumen bermedia kertas. Sedangkan dalam arbitrase online, media kertas
telah tergantikan oleh data digital sehingga tidak diperlukan adanya dokumen berbentuk kertas. Masyarakat sering memahami bahwa suatu dokumen yang asli adalah dokumen yang tertulis di atas kertas, padahal untuk suatu sistem dokumentasi yang menggunakan komputer, dokumen yang asli sebenarnya adalah dalam bentuk data elektronik (softcopy) yang tersimpan dalam hardisk komputer bukan dalam bentuk cetaknya (hardcopy).[21] Dengan demikian, nilai dari suatu perjanjian secara substansial tidak bergantung pada media apa yang digunakan melainkan tergantung pada proses terjadinya perjanjian itu sendiri. contohnya, suatu perjanjian arbitrase yang tertulis di atas kertas pun kalau proses penyusunannya tidak memenuhi syarat sah perjanjian maka
batal demi hukum.
Istilah perjanjian arbitrase harus ditandatangani terdapat dalam Pasal 4 angka 2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang menyatakan :
“ Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dimuat dalam suatu dokumen yang ditandatangani oleh para pihak”.

Berdasarkan pemaparan di atas mengartikan bahwa suatu perjanjian arbitrase sah apabila ditandatangani oleh para pihak yang membuatnya. Penggunaan tanda tangan dalam kegiatan sehari – hari secara harfiah disamakan dengan penggunaan digital signature dalam internet yaitu ditujukan untuk nilai keotentikan suatu data atau informasi. Perbedaannya adalah tanda tangan lazimnya merupakan kombinasi atau variasi dari nama atau singkatan nama seseorang. Di lain pihak dalam internet tanda tangannya berupa kombinasi digital yaitu kombinasi dari bilangan biner 0 dan 1 yang diinterpretasikan menjadi karakter yang unik dan melalui proses penyandian (enkripsi).
Dalam ketentuan Pasal 4 angka 2 di atas tentang adanya dokumen dan tanda tangan dari para pihak, tidak diberi penjelasan apakah dokumen harus berupa berkas-berkas yang terbuat dari kertas ataupun meliputi dokumen dalam media yang lain, sehingga penulis berpendapat dokumen di sini dapat berupa file-file informasi elektronik. Selain hal tersebut istilah dokumen yang ditandatangani pada Pasal 4 angka 2 tidak mensyaratkan keharusan bahwa perjanjian tertulis dibuat di atas kertas dan tanda tangan dengan di atas kertas. Hal ini berarti untuk perjanjian tertulis dalam arbitrase nasional dapat berupa informasi elektronik. Hal ini sejalan dengan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 yang menganggap sah tanda tangan elektronik yang berupa informasi elektronik dalam sebuah transaksi elektronik yang menyatakan :
(1) Tanda Tangan Elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah selama memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. data pembuatan Tanda Tangan Elektronik terkait hanya kepada penanda tangan ;
b. data pembuatan Tanda Tangan Elektronik pada saat proses penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa penanda tangan ;
c. segala perubahan terhadap Tanda Tangan Elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui ;
d. segala perubahan terhadap Informasi Elektronik yang terkait dengan Tanda Tangan Elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui ;
e. terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi ;
f. terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa Penanda Tangan telah memberikan persetujuan terhadap Informasi Elektronik yang terkait.

Dalam Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 :
“ Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentifikasi “.

Berdasarkan pemaparan di atas dapat ditafsirkan bahwa fungsi tanda tangan untuk mengotensifikasi penandatanganan dengan dokumen yang ditandatanganinya. Sehingga pada saat penandatanganan membubuhkan tanda tangan dalam bentuk yang khusus, tulisan tersebut akan mempunyai hubungan dengan penandatanganan. Dalam transaksi elektronik keabsahan tanda tangan digital harus diterima keabsahannya sebagai sebuah tanda tangan. Alasan yang dapat menguatkan sebagai berikut :
a. tanda tangan elektronik merupakan tanda-tanda yang bisa dibubuhkan oleh seseorang atau beberapa orang yang diberi kuasa oleh yang berkehendak untuk diikat secara hukum;
b. sebuah tanda tangan digital dapat dimasukkan dengan menggunakan menggunakan peralatan mekanik, sebagaimana tanda tangan tradisional;
c. keamanan tanda tangan digital sama dengan keamanan tanda tangan tradisional;
d. sebagaimana tanda tangan biasa, tanda tangan elektronikpun dapat diletakkan di bagian mana saja pada sebuah dokumen dan tidak harus berada di bagian bawah dokumen kecuali hal tersebut diisyaratkan dalam mekanisme legislasi.
Sehingga, apabila keperluan tanda tangan dalam perjanjian arbitrase adalah untuk pembuktian, perlindungan keotentikan suatu dokumen yang menggunakan tanda tangan digital jauh lebih kuat, karena sebuah tanda tangan digital memiliki karakter yang sangat unik dan telah tersandikan (encrypted) sehingga kemungkinan untuk ditiru sangat kecil. Berdasarkan hal tersebut, seharusnya penggunaan tanda tangan digital dalam perjanjian arbitrase khususnya perjanjian arbitrase online tidak perlu dipermasalahkan. Justru dengan adanya tanda tangan digital seluruh data dalam proses arbitrase akan terlindung kerahasiaan dan keotentikannya, karena yang dapat membuka data tersebut hanyalah pihak yang tanda telah diterima dalam dokumen saja yang dapat membuka dokumen.

F. PUTUSAN ARBITRASE ONLINE
Sebagaimana diketahui, bahwa bentuk putusan arbitrase online berbeda dengan bentuk putusan secara tradisional karena putusan dalam arbitrase online dibuat melalui media elektronik dalam bentuk digital, namun dalam ketetentuan yang mengatur mengenai putusan arbitrase tradisional juga berlaku bagi putusan online.
Undang-Undang No.30 tahun 1999 juga mengatur bahwa suatu putusan harus dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh arbiter atau majelis arbitrase. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 54 yang menyatakan bahwa :
(2) Tidak ditandatanganinya putusan arbitrase oleh salah seorang arbiter dengan alasan sakit atau meninggal dunia tidak mempengaruhi kekuatan berlakunya putusan dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan.
(3) Alasan tentang tidak adanya tanda tangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus dicantumkan dalam putusan.

Ketentuan dalam Pasal 54 itu menentukan bahwa diperlukan tandatangan arbiter. Ketentuan tersebut tidak sepenuhnya menandakan bahwa putusan arbitrase harus dibuat secara tertulis. Ketentuan dalam Pasal 59 ayat (1) dan (2) lebih memperjelas bahwa putusan harus dibuat secara tertulis. Pasal 59 ayat (1) dan (2) berbunyi :
(1) Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri.
(2) Penyerahan dan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan dengan pencatatan dan penandatanganan pada bagian akhir atau di pinggir putusan oleh Panitera Pengadilan Negeri dan arbiter atau kuasanya yang menyerahkan, dan catatan tersebut merupakan akta pendaftaran.

Dari pasal tersebut sangat jelas bahwa putusan arbitrase tersebut harus tertulis, asli, dan ditandatangani oleh arbiter atau majelis arbitrase.
Ketentuan mengenai putusan arbitrase yang harus asli, ditandatangan dan tertulis nampaknya tidak dapat ditawar lagi, meskipun dalam Pasal 6 UU ITE No.11 tahun 2008 menyatakan bahwa :
Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dija¬min keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.
Ketentuan tersebut tampaknya kurang memperhatikan adanya Undang-Undang No.30 tahun 1999. Di sini yang menjadi persoalan adalah apakah putusan arbitrase dapat dibuat sebagai informasi elektronik. Tapi ternyata putusan arbitrase itu tidak termasuk yang dikecualikan sebagaimana disebutkan dala Pasal 5 ayat ayat (1) dan (4) yang menyatakan bahwa :
(1). Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(4). Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan
b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.

Dari pasal tersebut saya melihat bahwa putusan arbitrase termasuk yang harus dikecualikan, sehingga dengan demikian putusan arbitrase dalam bentuk elektronik tidak memenuhi persyaratan sebagai putusan arbitrase yang dinyatakan dalam UU No.30 tahun 1999. Sehingga apabila diajukan permohonan eksekusi, maka pelaksanaannya akan ditolak. Dengan adanya ketentuan tersebut, maka penggunaan mekanisme penyelesaian sengketa secara online menjadi tidak ada artinya, jika putusan arbitrase yang diperoleh para pihak secara online dianggap tidak sah secara hukum karena tidak memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan oleh UU No.30 tahun 1999.













C. PENUTUP

a. Kesimpulan
Bahwa kedudukan putusan arbitrase online dalam sistem hukum Indonesia dianggap tidak sah karena tidak memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan merupakan hal yang dikecualikan dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
b.Saran
Untuk menunjang perkembangan perdagangan Internasional, maka ke depan pembentuk undang-undang harus mengakui Putusan Arbitrase Online (dalam bentuk elektronik) dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.









Daftar Pustaka
Buku
Gatot Soemartono. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006,
Paustinus Siburian, Arbirase Online (Alternaif Penyelesaian sengketa Perdagangan Secara elektronik), Jakarta: Djambatan, 2004
Mochamad Basarah, Prosedur Alternatif Penyelesaian Sengketa Arbitrase Tradisional dan Modern (Online), Bandung: PT. Gwika Wahana Karya Gratifika, 2009
Munir Fuady, Arbitrase Nasional, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2003
Subekti, Arbitrase Perdagangan, Bandung : Binacipta, 1981,
Suyud Margono, 2000, ADR dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Jakarta : Ghalia

Peraturan Perundang-udangan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Bahan Lain
Rafal Morek, Online Arbitration: Admissibility within the current legal framework,Paper (makalah)
http : // www.apjji.or.id/dokumentasi/statistik.php, diakses tanggal 11 Agustus 2010
http://id.wikipedia.org/wiki/Perdagangan_elektronik, di akses tanggal 12 Agustus 2010


End Note :
1.Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyatakan bahwa pada akhir tahun 2007 pelanggan Internet di Indonesia mencapai mencapai 25 juta orang. Dibanding tahun lalu,pertumbuhan pengguna internet di Indonesia naik 25 persen, dari sebelumnya 20 juta di akhir 2006 dan pada tahun 2005 sekitar 16 juta pengguna APJJI , “Statistik APJJI”,
http : // www.apjji.or.id/dokumentasi/statistik.php, diakses tanggal 11 Agustus 2010

2.Perdagangan elektronik atau e-dagang (bahasa Inggris: Electronic commerce, juga e-commerce) adalah penyebaran, pembelian, penjualan, pemasaran barang dan jasa melalui sistem elektronik seperti internet atau televisi, www, atau jaringan komputer lainnya. E-dagang dapat melibatkan transfer dana elektronik, pertukaran data elektronik, sistem manajemen inventori otomatis, dan sistem pengumpulan data otomatis.
http://id.wikipedia.org/wiki/Perdagangan_elektronik di akses tanggal 12 Agustus 2010

3. Gatot Soemartono. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006, hal.3.

4. Mochamad Basarah, Prosedur Alternatif Penyelesaian Sengketa Arbitrase Tradisional dan Modern (Online), Bandung: PT. Gwika Wahana Karya Gratifika, 2009, Hal.5.

5. Paustinus Siburian, Arbirase Online (Alternaif Penyelesaian sengketa Perdagangan Secara elektronik), Jakarta: Djambatan, 2004, hal.9.

6. Gatot Soemartono, op.cit., hal 74.

7. Munir Fuady, Arbitrase Nasional, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2003, Hal 33

8. Gatot Soemartono, op.cit., hal 4.

9. Munir Fuady, Op.Cit, Hal 39-40

10. “ODR refers to ADR processes conducted with the assistance of information technology, particulary the internet” Terjemahan bebasnya (ODR mengacu pada proses ADR dilakukan dengan bantuan teknologi informasi, khususnya internet)

11. Mochamad Basarah, Op.cit. Hal 5

12.Menurut Taylor, Melisa Conley, di kutip dari Mochamad Basarah, Ibid. Hal 6

13. Subekti, Arbitrase Perdagangan, Bandung : Binacipta, 1981, hal.1-3.

14. “Suatu cara penyelesaian sengketa melalui pihak ketiga yang bersifat netral yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk mematuhi suatu putusan yang dibuat oleh arbiter atas pokok persoalan setelah mendengarkan dan memberikan kesempatan yang sama kepada kedua belah pihak. (Terjemahan bebas oleh Mochamad Basarah) : Mochamad Basarah, Op.cit. Hal 21-22

15. Lihat Pasala 1 angka 1 UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

16. Mochamad Basarah, Op.cit. Hal 123

17. Rafal Morek, Online Arbitration: Admissibility within the current legal framework,Paper. Hal.5
18. Mochamad Basarah, Op.cit. Hal 123
19. Loc.Cit

20.. Suyud Margono, 2000, ADR dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Jakarta : Ghalia
Indonesia, hal.11

21. Edmon Makarim, Pengantar Hukum Telematika : Suatu Kompilasi Kajian, Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2005, hal.239.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar