Iklan

Iklan

Iklan

Senin, 29 Maret 2010

Asas-Asas Pemerintahan Dalam Islam

Oleh : Denden Imadudin Soleh,S.H.

I.   LATARBELAKANG
Dengan adanya kewenangan bagi administrasi negara untuk bertindak secara bebas dalam melaksanakan tugas-tugasnya maka ada kemungkinan bahwa administrasi n egara melakukan perbuatan yang menyimpang dari peraturan yang berlaku sehingga menimbulkan kerugian bagi warga masyarakat. Oleh sebab itu  untuk meningkatkan perlindungan hukum secara lebih baik bagi warga masyarakat maka pada tahun 1950 panitia de Monchy di Nederland telah membuat laporan tentang azas-azas umum pemerintahan yang baik (algemene beginselen van behoorlijk bestaur atau the general principles of good asministration)[1]. Jadi lahirnya istilah azaza-azas umum pemerintahan yang baik ini dapat ditunjuk secara tepat yaitu dari laporan penitia de Monchy. Istilah itu dipakai dalam pekerjaan-pekerjaan atau tulisan-tulisan  Commissie de Monchy (1946-1950) untuk mempertinggi perlindungan hukum terhadap administrabele.[2]

Asas-asas umum pemerintahan yang baik ini sudah jelas dianut Indonesia karena hukum di Indonesia sangat dipengaruhi oleh Belanda, sehingga wajar apabila asas-asas umum pemerintahan yang baik ini dianut oleh sistem hukum Indonesia, tetapi perlu ditegaskan bahwa azas-azas pemerintahan yang baik tersebut belum pernah dituangkan secara resmi didalam perturan perundang-undangan sebagai azas-azas umum pemerintahan, sehingga kekuatan hukumnya secara yuridis formal belum ada[3]. disisi lain Penduduk Indonesia juga mayoritas menganut ajaran agama Islam yang tentu punya sistem hukum juga yang berkaitan dengan asas-asas pemerintahan dalam pelaksanaan pemerintahannya, maka dari itu dengan latar belakang diatas saya ingin menulis tentang “Azas-azas Pemerintahan dalam Islam”.    

II . RUMUSAN MASALAH
Bagaimana Islam mengatur tentang Azas-azas pemerintahan ?

III. PEMBAHASAN
            Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa Azas-azas pemerintahan ini dipopulerkan di Belanda, karena ingin adanya peningkatan perlindungan hukum secara lebih baik. adapun menurut  Laporan Panitia de Monchy di Nederland azas-azas umum pemerintahan yang baik di kategorikan kedalam tiga belas azas, yaitu [4]:
  1. Azas kepastian hukum (principle of legal security)
  2. Azas keseimbangan (principle of proportionality)
  3. Azas kesamaan dalam mengambil keputusan pengreh (principle of equality)
  4. Azas bertindak cermat ( principle of careulness)
  5. Azas Motivasi untuk setiap keputusan pangreh (principle of Motivation)
  6. Azas jangan mencampur-adukan  kewenangan (principle of non misuse of competence)
  7. Azas permainan yang layak (principle of fair play)
  8.  Azas Keadilan atau kewajaran (principle of reasonable hibition of arbitrariness)
  9. Azas menanggapi pengharapan yang wajar (principle of meeting raised expectation)
  10. Azas meniadakan akibat suatu keputusan yang batal (principle of undoing the consequences of an annulled decision)
  11. Azas perlindungan atas pandangan (cara) hidup pribadi (principle of protecting the personal way of life)
  12. Azas kebijaksanaan (sapientia)
  13. Azas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public service).
Lalu bagaimana islam sendiri mengatur tentang azas-azas pemerintahan, Untuk penyelenggaraan mekanisme sistem politik pada umumnya, khususnya pemerintahan Negara, Al-Qur’an mengemukakan empat prinsip penggunaan kekuasaan politik yang dapat dipandang sebagai asas-asas  pemerintah dalam sistem politik[5]. Dibawah ini akan akan diuraikan dua ayat yang berhubungan dengan prinsip-prinsip penggunaan  kekuasaan politik. Ajaran politik dalam Al-Qur’an sesungguhnya tidak terbatas pada kedua ayat ini, namun kedua ayat tersebut secara langsung relevan dengan masalah yang dikaji. Selain itu ayat-ayat yang lain dapat dikaitkan dengan kedua ayat tersebut sebagai input pembahasan[6]. Oleh karena itu objek kajian dalam bagian ini dibatasi pada kedua ayat dari Q.S.An-Nissa : 58-59 beirkut :
   إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّواْ الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُ
بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُواْ بِالْعَدْلِ إِنَّ اللّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِ إِنَّ
(4:58)للّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا﴿
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي
الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّه
وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ
(4:59وَأَحْسَنُ تَأْوِيل اً﴿
Terjemahan

QS An Nisaa': 58
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat"

QS An Nisaa': 59
"Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya"

1.      Perintah menunaikan amanat

Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kamu agar kamu menunaikan amanat-amanat itu kepada pemiliknya .

Kata Al-amanat yang menjadi fokus pembahasan dalam klousa diatas adalah bentuk jamak dari kata amanat . Apa yang dimaksud amanat disini tidak disepakati ulama. Ibnu Jarir mengemukakan pendapatnya bahwa ayat itu ditujukan kepada para pemimpin umat agar mereka menunaikan hak-hak umat Islam. Ibnu Taimiyat memangdang term tersebut mencakup 2 konsep : Kekuasaan (Al-wilayat) dan harta benda. Al-thabari memandang ayat-ayat diatas ditujukan kepada para wali atau pemimpin pemerintahan mengajukan konsep amanat yang legalistis, sehingga amanat itu mecakup hak-hak sipil dan publik.
            Bertolak dari konsep amanat diatas, maka perintah yang terkandung dalam klausa terdahulu mengandung kewajiban setiap orang yang beriman agar menunaikan amanat yang menjadi tanggungjawabnya, baik amanat itu dari Tuhan ataupun amanat dari sesama manusia. Pada sisi lain, sesuai dengan sebab turunnya ayat, klausa tersebut bermakna khusus, yaitu kewajiban para pejabat untuk menunaikan amanat yang diberikan pada mereka, yaitu kekuasaan politik.Darisini pula dapat dikatakan bahwa ayat diatas memperkenalkan prinsip pertanggungjawaban kekuasaan politik.
            Prinsip tersebut bermakna bahw setiap pribadi yang mempunyai kedudukan fungsional dalam kehidupan politik dituntun agar melaksanakan kewajibannya dengan sebaik-baiknya dan bahwa kelalaian terhadap kewajiban tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi dirinya sendiri. Persoalan lebih lanjut berkenaan dengan kewajiban-kewajiban yang menjadi tanggungjawab dan sumber tanggungjawab tersebut. Persoalan ini terkait pada amanat yang telah dikemukan, yaitu amanat dari Tuhan berupa tugas-tugas keagamaan berupa kewajiban yang dibebankan oleh agama; dan amanat dari sesama manusia, baik amanat perorangan ataupun masyarakat.
            Tugas kegamaan yang dibebankan kepada pemimpin politik adalah menegakan hukum Tuhan. Tugas ini sesungguhnya telah disinggung dalam kontek karakteristik orang-orang beriman yang diberi kekusaan di muka bumi ini, dan dalam konteks kekuassaan politik para utusan Tuhan. Disini persoalan ini akan dilihat dari konteks tugas kepemimpinan politik dan bertolak dari kepemimpinan Nabi Muhamad SAW dalam kedudukannya sebagai pelaksana ajaran politik yang diajarkan oleh Al-Qur’an.


2.      Perintah menetapkan hukum dengan adil
dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkan hukum dengan adil
Ungkapan “menetapkan hukum” dalam dalam ayat diatas mencakup pengertian “membuat dan menerapkan” hukum”. Secara kontektual perintah dalam ayat tersebut tidak hanya ditujukan kepada kelompok sosial tertentu dalam masyarakat muslim, tetapi ditujukan kepada setiap orang yang mempunyai kekuasaan memimpin orang lain., seperti suami terhadap istri-istrinya[7], dan orang tua terhadap anak-anaknya. 
Konsep lain yang terkandung dalam klausa diatas adalah “keadilan” yang diungkapkan dengan Al-‘adl. Tinjauan etimologis dan pengertian yang dimaksud oleh istilah tersebut dalam konteks Qur’ani telah di kemukakan sehingga hal tersebut tidak di ulangi lagi.Para mufasiri teryata tidak sependapat mengenai konsep yang terkandung dalam ungkapan tersebut.Al-Syaukani dengan tegas menyatakan bahwa keadilan adalah menyelesaikan perkara berdasarkan ajaran yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah, bukan menetapan hukum dengan pikiran.Tetapi pendapat ini di tolak oleh Muhammad Abduh dengan argumentasi sebagai berikut :
1.      Menetapkan hukum dengan ketentuan agama bukanlah makna keadilan yang dimaksudkan dalam ayat ini. Makna tersebut ditunjuk oleh ayat yang lain.[8] Segala sesuatu yang ditetapkan agama pastlah sesuai keadilan, tetapi itu bukanlah wujud keadilan. Keadilan ialah mengamalkan dan menerapkannya sehingga setiap hak terpenuhi.
2.      Allah menetapkan keadilan secara mutlak dalam sebagian surat-surat makiyah sebelum hukum-hukum agama ditetapkan. Dan ini berate keadilan itu tidak sama dengan hukum agama.
3.      tidaklah semua masalah pergaulan dan perselisihan manusia diatur oleh Al-Qur’an dan Sunnah. Karena itu apa yang telah dijelaskannya merupakan penolong yang baik untuk mencapai keadilan yang dimaksudkan. Sedangkan apa yang belum dijelaskan Al-Qur’an dan Sunnah, maka para hakim berkewajiban mencari keadilan sesuai dengan kemampuan mereka.
Bertolak dari pengertian ‘adl yang telah dikemukakan bahwa perintah menetapkan hukum dengan adil disini  mengandung arti agar penggunann kekuasaan politik harus berdasarkan dan bertujuan memlihara martabat kemnusiaan, sebab keqdilan disini  adalah keadilan berdimensi formal, yakni pemenuhan hak-hak yang telah diatur secara sah oleh aturan-aturan hukum..Dengan begiu dapat disimpulkan bahwa ayat yang dibahas mengandung prinsip penggunaan kekuasaan politik atau kekuasaan pemerintahan dalam pembuatan hukum dan aturan lainnya yang harus berdasarkan keadilan dalam arti konsisten dengan kodrat manusiawi.Akhirnya sebelum beralih kepada pembahasan prinsip lain yang terkandung dalam ayat kedua, kiranya dapat disimpulkan bahwa ayat yang baru saja dibahas ternyata relevan dengan fungsi-fungsi politik atau pemerintahan, khususnya fungsi-fungsi keluaran (output).
3.      Perintah Ketaatan
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah pula Rasul-Nya dan Ulul amri dari kamu…
Setelah Allah SWT mengemukakan dua perintah-Nya dalam ayat yang lalu dan menegaskan bhwa perintah-perintah tersebut adalah nasihat  yang sebaik-baiknya, maka dalam ayat yang dibahas dikemukakan lagi dua perintah, yaitu agar orang beriman mentaati Allah dn Rasul-Nya dan Ulul Amri dan yang kedua, seperti akan di uraiakan kemudian.
Sebagian ulama mengemukakan bahwa hubungan ayat di atas dengan ayat sebelumnya bertumpu pada hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya. Menurut pendapat ini, ayat pertama di tujukan kepada para pejabat agar menunaikan amanat dan memerintah dengan adil , sedang dalam ayat kedua terdapat perintah agar rakyat mentaati Allah, Rasul-Nya, dan Pemerintah. Pendapat seperti ini dikemukakan antara lain oleh Al-Zamakhsyari dan Al-Qurthubi. Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Al-Maraghi. Ia tidak memandang ayat-ayat tersebut bersifat khusus yang ditujukan kepada pemerintah atau rakyat semata, tetapi bersifat umum. Ini juga berarti ayat itu tidak saja ditujukan kepada rakyat, tetapi juga kepada pejabat pemerintahan.  
            Masalah lain yang terkandung dalam klausa di atas berkenaan dengan konsep “Ulul Amri” siapa yang dimaksud dan bagaimana kedudukannya. Perlu dibedakan antara uli al-amr pada masa Rasulullah SAW dengan Uli al-amr setelah beliau wafat. Yang pertama diangkat oleh Rasulullah SAW, karena itu tanpa di ragukan lagi mereka adalah amir Rasulullah baik menurut kenyataan maupun hukum. Lain halnya dengan yang kedua, Mereka ini tidak diangkat oleh Rasulullah SAW, tetapi diankgat sebagai pelaksana tugas kepemimpinan yng dimiliki oleh Rasulullah semasa hidupnya, yakni mengatur kehidupan umat dengan menegakan hukum-hukum Tuhan.Atas dasar ini, mereka juga termasuk konsep amir Rasulullah SAW. Dari sini dapat dismpulkan bahwa antara Rasulullah SAW dan par Uli Al-Amr terdapat ikatan yang meghubungkan mereka berupa kewajiban menegakan hukum Tuhan, atau dalam ungkapan lain Uli Al-amr adalah khalifah Rasulullah SAW dalam melaksanakan tugas-tugas kepemimpinan politik atas umat Islam.
            Kesimpulan ini berimplikasi bahwa fimna Allah yang dibahs tidak hanya mengandung kewajiban taat kepada Rasulullah SAW dan Uli al-amr, tetapi juga menjadi dasar keberadaan kekuasaan politik yang dimiliki pemerintahan dan keabsahannya.Keabsahan kekasaan Uli al-amr mengandung makna bahwa hukum-hukum dan kebijaksanaan politik yang mereka putuskan, sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah, mempunyai kekuatan yang mengikat seluruh rakyat. Karena itu seluruh rakyat yang menjadi subjek hukum wajib mentaatinya. Keberadaan hukum ini, disamping hukum Tuhan, sebagai hukum positif memperlihatkn wajah dari tata hukum yang menjadi bagian dari system politik dan pemerinthan yang dikenal dalam Al-Qur’an. Dalam hal ini dikenal dua hukum yang berlaku dalam Negara: Hukum Allah (Syariat) yang bersumber dari Al-Qur;an dan Sunnah, dan Hukum Negara yang bersumber dari keputusan Uli Al-amr.
4.      Kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah
Kemudian jika kamu berselisih dalam sesuatu, maka kembalikanlah ia kepda Allah dan Rasul-Nya, jika kmau beriman lepada Allah dan hari kemudian. Itu adalah pilihan yang terbaik 
Ayat diatas dengan tegas memrintahkan agar perselisihan yang terjadi di antara orang-orang yang beriman diselesaikan dengan kembali berpedoman kepada Al-Qqur’an dan Sunnah. Cara penyelesaian seperti ini merupakan alternatif  terbaik di antara kemungkinan penyelesaian yang ada dan juga merupakan cara yang memberikan hasil yang lebih baik.
Pada umumnya para mufasir memandang ayat di atas sebagai bagian dari metodologi hukum islam dan mengaitkan dengan kias sebagai sumber hukum. Pendapat seperti ini mempersempit jangkauan ayat dalam batas pembinaan fiqih. Sejalan pendapat ini, maka perintah dalam ayat ini ditujukan kepada para mujthid, yakni ahli-ahli pengetahuan yang berusaha menemukan hukum-hukum agama dari Al-Qur’an dan Sunnah. Pendapat ini jelas tidak konsisten dengan seruan yang bersifat umum kepada orang-orang yang beriman  di awal ayat ini. Karen itu masalah yang timbul disini antara lain adalah bagaimana perpautan klausa diatas dengan dengan klausa sebelumnya, apa yang dimaksud dengan soal-soal yang diperselisihkan, bagaimana cara mengembalikan masalah tersebut kepada Al-Qur’an dan Sunnah.
Klausa  Fa in tananza’tum fi syai’in farudduhu ilallah  mengisyaratkan adanya kemungkinan terjadi perselisihan di antara umat Islam tentang sesuatu dan mereka saling menyalahkan. Jika dalam keadaan demikian, maka permasalahan tersebut wajib diselesaikan dengan mengembalikan persoalanya kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Ini berimplikasi kemungkinan adanya kesatuan pendapat di antara mereka sehingga perintah tersebut tidak dituntut lagi. Dengan kata lain, ayat ini mengisyaratkan adanya keputusan bersama atau keputusan Uli al-amr yang tidak berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah. Hal itu dapat terjadi apabila masalah bersangkutan dengan hal-hal atau objek yang didiamkan/ atau tidak diatur oleh Al-Qur’an dan Sunnah. Dari sini, dapat disimpulkan bahwa perintah yang dibahas mengisyaratkan penggunaan musyawarah sebagai metode pembinaan hukum dan pengambilan keputusan politik atau keputusn pemerintahan. Perintah musyawarah mengandung hikmah agar pemimpin umat islam, terutama Uli al-amr, tidak meninggalkan musyawarah, karena di dalam musyawarah mereka dapat memperoleh pandangan dan keinginan dari masyarakat. Pada sisi lain, musyawarah mengandung makna penghargaan kepada tokoh-tokoh dan pemimpin masyarakat, sehingga mereka dapat berpartisipasi dalam urusan dan kepentingan bersama.
Esensi Musyawarah adalah pemberian kesempatan kepada anggota masyarakat yang memiliki kemampuan dan hak untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan yang mengikat, baik dalam bentuk aturan-aturn hukum ataupun kebijaksanaan politik atau pemerintahan. Apabila pendapat yang berkembang dalam musywarah itu disepakati, maka keputusan yang diambil oleh pimpinan adlah pendapat yang disepakati itu. Ini diisyaratkan oleh sebuah hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanadnya dari Ibn Gunn al-asyri bahwa nabi Muhamad SAW berkata kepada Abu bakar dan Umar  Lau Ijtama’ tum fi masyuratin ma khalaftukuma, “Sekiranya kamu berdua sepakat dalam sebuah musyawarah, tiadalah aku menyalahi pendapatmu berdua”. Dari uraian di atas diketahui bahwa musyawarah amat penting dalam kehidupan bersama. Pada sisi lain kenyataan menunjukan bahwa musywarah tidak hanya dipergunakan sejalan dengan ajaran agama, bahkan sering digunakan untuk kepentingan penguasa untuk kejayaan dan kelestarian kekuasaan mereka[9]. Musyawarah seperti ini telah menyimpng dari tujuan yang hendak dicapai, kebenaran atau pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran dan untuk kebaikan bersama. Ini berarti diperlukannya sebuah prinsip yang dapat menghindarkan penggunaan musyawarah sebagai panggung legalisasi kepentingan sepihak.. Untuk itu Al-Qur’an dan Sunnah dijadikan sebagai pemutus akhir.
Bertolak dari eksisitensi musyawarah sebagai metode pembinaan hukum dan pengambilan keputusan, dari kenyataan sejarah, maka dapat dikatakan bahwa perintah penyelesaian perselisihan dalam ayat sebelumnya ditujukan kepada Uli Al-amr, Ini berqrti mereka tidak hanya wajib bermusyawarah, tetapi juga wajib menyelesaikan perselisihan berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah.
IV. KESIMPULAN
Untuk penyelenggaraan mekanisme system politik pada umumhnya, khususnya pemerintahan Negara, Al-Qur’an mengemukakan empat Prisip penggunaan kekuasaan  politik atau kekuasaan pemerintahan yang dapat dipandang sebagai asas-asas pemerintahan dalam system politik atau pemerintahan, yaitu:
  1. Asas Amanat
  2. Asasn Keadilan (keselarasan)
  3. Asas ketaatan (disiplin)
  4. Asas Musyawarah dengan referensi Al-Qur’an dan Sunnah.
Referensi
1.      Al-Qur’an al-karim
2.      Abd.Muin Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an, Grafindo Persada, Jakarta, 1994
3.      Muchsan. Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Liberty, Yogyakarta
4.      Koentjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1978
5.      P.M Hadjon. Dasar-dasar Pengujian Azas-azas Umum Pemerintahan Yang baik,Bahan penataran Peradilan Administrasi Negara, Bandung, Agustus, 1987
6.      SF.Marbun dan Mahfud MD, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, cetakan keempat 2006



[1] Muchsan. Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1982, Hlm 74
[2] P.M Hadjon, Dasar-dasar Pengujian Azas-azas Umum Pemerintahan Yang baik,Bahan penataran Peradilan Administrasi Negara, Bandung, Agustus, 1987. Dikutif dari Bukunya SF.Marbun dan Mahfud MD, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, cetakan keempat 2006, Hlm 57
[3] SF.Marbun dan Mahfud MD, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, cetakan keempat 2006, Hlm 58
[4] Koentjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1978, Hlm.29-30
[5] Abd.Muin Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an, Grafindo Persada, Jakarta, 1994, Hlm 306
[6] Ibd. Hlm 193
[7] Lihat Q.S.An-Nisa 4/92 : 3.
[8] Misalnya Q.S. Al-Ma’idat, 5/112: 49
[9] Contoh klasik musyawarah sebagai upaya pelestarian kekuasaan politik adalah musyawarah yang dilakukan dalam proses pengangkatan Yazid bin Mu’awiyah sebagai putera mahkota.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar