BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Pasal
1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara
tegas menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara
hukum, maka seluruh aspek dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan
kenegaraan termasuk pemerintahan harus senantiasa berdasarkan atas hukum.
Sehingga untuk mewujudkan negara hukum tersebut diperlukan tatanan yang tertib
antara lain di bidang peraturan perundangundangan.
Dalam
rangka mewujudkan tatanan yang tertib di bidang peraturan perundang-undangan di
Indonesia, telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Berdasarkan Pasal Pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, menyatakan bahwa Jenis dan hierarki
peraturan perundang-undangan terdiri atas:
1. Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4. Peraturan
Pemerintah;
5. Peraturan
Presiden, dan;
6. Peraturan
Daerah Provinsi.
Selain
peraturan perundang-undangan yang telah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) tersebut,
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 juga mengakui peraturan perundang-undangan
lain yang dikenal dalam praktek kehidupan bernegara. Pasal 8 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 membuka kemungkinan adanya peraturan
perundang-undangan lainnya yang ditetapkan oleh pimpinan lembaga atau badan
negara seperti misalnya Peraturan Menteri. Berdasarkan Pasal 8 ayat (2) UU
Nomor 12 Tahun 2011, menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan tersebut
diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk
berdasarkan kewenangan. Berdasarkan ketentuan tersebut maka kedudukan Peraturan
Menteri dalam sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia telah jelas
eksistensinya.
Kementerian
Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) yang merupakan salah satu bagian dari
organ pemerintahan menyadari pentingnya fungsi peraturan sebagai sarana
mengatur maupun sebagai instrumen kebijakan. Oleh karena itu dalam praktek pembentukan
peraturan perundang-undangan, Kemkominfo selalu berusaha untuk mematuhi sistem,
asas, tata cara, teknik penyusunan, pemberlakuan maupun penyebarluasan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan kebijakan peraturan
perundang-undangan di Kemkominfo sampai saat ini hanya dikenal satu bentuk peraturan
yaitu Peraturan Menteri Kominfo.
Salah
satu produk hukum dari Kementerian Komunikasi dan Informatika yang menjadi
perdebatan adalah Peraturan Komunikasi dan Informatika Nomor 19 tahun 2014
tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif, Perkumpulan Masyarakat
Pembaharuan Peradilan Pidana atau
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), ELSAM, Lembaga Bantuan Hukum
Pers , Perkumpulan Mitra TIK
Indonesia, dll mengajukan permohonan judicial review untuk menguji legalitas
peraturan menteri tersebut karena dianggap bertentangan Peraturan yang lebih
tinggi[1].
Menurut
para pemohon, Peraturan Menteri Kominfo tersebut haruslah mengacu, melaksanakan
pendelegasian dari UU yang spesifik atau tertentu. Sehingga apabila Permen
Kominfo ini merujuk pada UU ITE, maka yang diatur dalam Permen ini adalah pada
pasal‐pasal larangan dalam UU ITE,
dalam hal ini pasal 27 hingga pasal 29. Atau jika merujuk pada UU Pornografi,
maka Permen ini seharusnya hanya mengatur konten yang bermuatan pornografi.
Maka secara formil, pemberian kewenangan di dalam Permen Kominfo ini telah
bertentangan dengan prinsip umum hierarki peraturan perundang‐undangan (UU No. 12 Tahun
2011), dimana peraturan pelaksanaan tidak boleh melampaui kewenangan UU yang
mendasarinya[2].
Sementara
Kementerian Kominfo menganggap bahwa meskipun dalam dasar hukum mengingatnya
memasukan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik dan Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi , peraturan
menteri tersebut memang bukan delegasi yang tegas dari peraturan yang lebih
tinggi, tetapi didasarkan pada kewenangan atau freis ermessen yang dimiliki oleh pemerintah yang karena meskipun
undang-undang pornografi sudah mengatur pemblokiran konten pornografi, tetapi
masih ada kekosongan peraturan perundang-undangan dalam tata cara pemblokiran
tersebut, sementara permintaan pemblokiran kepada Kominfo sudah sangat banyak,
sehingga peraturan menteri tersebut dianggap sebagai peraturan kebijaksanaan.
Berdasar
latar belakang tersebut di atas, maka kami tertarik untuk menulis makalah
mengenai Analisis
Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Nomor 19 Tahun 2014 Tentang
Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif Menurut Sistem Peraturan Perundang-undangan di Indonesia.
B.
IDENTIFIKASI
MASALAH
1. Bagaimana
Kedudukan Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Nomor 19 Tahun 2014
Tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif Menurut Sistem Peraturan Perundang-undangan di Indonesia?
2. Bagaimana
Materi Muatan yang diatur dalam Peraturan Menteri Komunikasi
Dan Informatika Nomor 19 Tahun 2014 Tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan
Negatif ditinjau dari Sistem
Peraturan Perundang-undangan di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kedudukan Peraturan
Menteri Komunikasi Dan Informatika Nomor 19 Tahun 2014 Tentang Penanganan Situs
Internet Bermuatan Negatif Menurut Sistem Peraturan Perundang-undangan
di Indonesia.
Menurut
E.Utrecht, terdapat dua macam pengertian sumber hukum (sources of law), yaitu
sumber hukum dalam arti formal atau formele zein (source of law in its formal
sense) dan sumber hukum dalam arti substansial, material atau in materiele zin
(source of law in its material sense). Sumber hukum dalam arti formal ialah
tempat formal dalam bentuk tertulis dari mana suatu kaedah hukum diambil,
sedangkan sumber hukum dalam arti material adalah tempat dari mana norma itu
berasal, baik yang berbentuk tertulis ataupun yang tidak tertulis.[3]
Bagi
kebanyakan sarjana hukum, biasanya yang lebih diutamakan adalah sumber hukum
formal, baru setelah itu sumber hukum material apabila hal itu dipandang perlu.
Sumber hukum dalam arti formal adalah sumber hukum yang dikenali bentuk
formalnya. Dengan mengutamakan bentuk formalnya itu, maka sumber norma hukum itu
haruslah mempunyai bentuk hukum tertentu yang bersifat mengikat secara hukum.[4]
Menurut
Jimly Asshiddiqie, sumber hukum formal itu haruslah mempunyai salah satu bentuk
sebagai berikut :
1) Regels
yaitu bentuk produk legislasi ataupun produk regulasi tertentu;
2) Contract,
treaty yaitu bentuk perjanjian atau perikatan tertentu yang mengikat para
pihak;
3) Vonnis
yaitu bentuk putusan hakim tertentu; atau
4) Beschikking
yaitu bentuk-bentuk keputusan administratif tertentu dari pemegang kewenangan
administrasi negara.
Dalam doktrin, hanya dikenal dua
macam peraturan perundang-undangan dilihat dasar kewenangan pembentukannya,
yaitu peraturan perundang-undangan yang dibentuk atas dasar:
1. atribusi
pembentukan peraturan perundang-undangan; dan
2. delegasi
pembentukan peraturan perundang-undangan
A.
Hamid S. Attamimmi, menegaskan Atribusi kewenangan perundang-undangan
diartikan penciptaan wewenang (baru) oleh
konstitusi/grondwet atau oleh pembentuk undang-undang (wetgever)
yang diberikan kepada suatu organ negara, baik yang sudah ada maupun yang
dibentuk baru untuk itu.[5]
Sebagai contoh, peraturan
perundang-undangan atribusian dalam UUD
1945, berupa Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) dan Peraturan
Daerah (Perda). Dalam UU No. 12/2011 juga dikenal satu jenis
peraturan perundang-undangan atribusian di luar UUD 1945, yaitu Peraturan
Presiden (Perpres), yang pada masa lalu dikenal sebagai Keputusan Presiden yang
bersifat mengatur yang dasarnya adalah Pasal 4 ayat (1) UUD 1945.
Sementara itu, delegasi dalam bidang
perundang-undangan ialah pemindahan/ penyerahan kewenangan untuk membentuk
peraturan dari pemegang kewenangan asal yang memberi delegasi (delegans)
kepada yang menerima delegasi (delegataris) dengan tanggungjawab
pelaksanaan kewenangan tersebut pada delegataris sendiri,
sedangkan tanggungjawab delegans terbatas sekali.[6]
Contohnya dari peraturan perundang-undangan delegasi, misalnya tergambar dalam
Pasal 19 ayat (4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan,
yang menegaskan bahwa: ”Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
menyampaikan pernyataan untuk menjadi Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.”
Untuk peraturan menteri yang
diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (delegasi) bisa dikaitkan dengan teori
hierarki, teori hierarki merupakan teori yang mengenai sistem hukum
yang diperkenalkan oleh Hans Kelsen yang menyatakan bahwa sistem hukum
merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang. Hubungan antara norma
yang mengatur perbuatan norma lain dan norma lain tersebut dapat disebut
sebagai hubungan super dan sub-ordinasi dalam konteks spasial[7]. Norma yang menentukan
pembuatan norma lain adalah superior, sedangkan norma yang dibuat inferior.
Pembuatan yang ditentukan oleh norma yang lebih tinggi menjadi alasan validitas
keseluruhan tata hukum yang membentuk kesatuan. Seperti yang diungkapkan oleh
Kelsen “The unity of these norms is
constituted by the fact that the creation of the norm–the lower one-is
determined by another-the higher-the creation of which of determined by a still
higher norm, and that this regressus is terminated by a highest, the basic norm
which, being the supreme reason of validity of the whole legal order,
constitutes its unity[8].
Maka
norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum yang lebih
tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus berpegangan
pada norma hukum yang paling mendasar (grundnorm). Menurut Kelsen norma hukum
yang paling dasar (grundnorm) bentuknya tidak kongkrit (abstrak), Contoh norma
hukum paling dasar abstrak adalah Pancasila.
Teori
Hans Kelsen mengenai hierarki norma hukum ini diilhami oleh Adolf Merkl dengan
menggunakan teori das doppelte rech stanilitz, yaitu norma hukum memiliki dua
wajah, yang dengan pengertiannya:
1. Norma
hukum itu keatas ia bersumber dan berdasar pada norma yang ada diatasnya
2. Norma
hukum ke bawah, ia juga menjadi dasar dan menjadi sumber bagi norma yang
dibawahnya
Sehingga
norma tersebut mempunyai masa berlaku (rechkracht) yang relative karena masa
berlakunya suatu norma itu tergantung pada norma hukum yang diatasnya, sehingga
apabila norma hukum yang berada diatasnya dicabut atau dihapus, maka
norma-norma hukum yang berada dibawahnya tercabut atau terhapus pula[9].
Peraturan menteri yang dibentuk
atas dasar perintah dari undang-undang tersebut dikategorikan sebagai peraturan
perundang-undangan atas dasar delegasi (delegated legislation). Dengan
demikian, secara umum peraturan perundang-undangan delegasi adalah peraturan
perundang-undangan yang dibentuk atas dasar perintah peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi. Sehingga validitasnya bisa dicari dalam peraturan lebih
tinggi.
Bisa
dibandingkan juga bagaimana kedudukan peraturan menteri dalam berbagai hierarki
peraturan perundang-undangan yang pernah berlaku di Indonesia, adapun hierarki
peraturan perundang-undangan yang pernah berlaku di Indonesia antara lain
sebagai berikut:
1.
Hierarki
Peraturan Perundang-undangan berdasarkan Undang-Undang No.1 tahun 1950
Hierarki
peraturan perundang-undangan mulai dikenal sejak dibentuknya Undang-Undang No.1
tahun 1950 yaitu Peraturan tentang Jenis dan Bentuk Peraturan yang dikeluarkan
oleh Pemerintah Pusat yang ditetapkan pada tanggal 2 Februari 1950.
Dalam Pasal 1
Undang-Undang No.1 Tahun 1950 dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 1
Jenis peraturan-peraturan Pemerintah
pusat ialah:
a. Undang-Undang
dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
b. Peraturan
Pemerintah
c. Peraturan
Menteri
Pasal 2
Tingkat
kekuatan peraturan-peraturan Pemerintah Pusat ialah menurut urutannya pada
Pasal I.
2.
Hierarki Peraturan
Perundang-undangan berdasarkan Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966
Dalam lampiran
II tentang “Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Repubik Indonesia menurut
Undang-Undang Dasar 1945 dirumuskan sebagai berikut:
1) Bentuk-bentuk
Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia menurut UUD 1945 ialah sebagai
berikut:
-
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
-
Ketetapan MPR
-
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang
-
Peraturan Pemerintah
-
Keputusan Presiden
Peraturan-peraturan
Pelaksana lainnya seperti:
-
Peraturan Menteri,
-
Instruksi Menteri,
-
Dan lain-lain.
2) Sesuai dengan
sistem konstitusi seperti yang dijelaskan dalam penjelasan autentik
Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia adalah bentuk
peraturan perundang-undangan yang tertinggi, yang menjadi dasar dan sumber bagi
semua peraturan-peraturan bawahan dalam negara.
3) Sesuai pula
dengan Prinsip Negara Hukum, maka setiap peraturan harus bersumber dap berdasar
dengan tegas pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang lebih tinggi
tingkatannya.
Dalam lampiran
tersebut juga dijelaskan mengenai peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya
seperti:
Peraturan
Menteri, Instruksi Menteri dan lain-lainnya, harus dengan tegas berdasar dan
bersumber pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
3. Hierarki Peraturan Perundang-undangan berdasarkan
Ketetapan MPR No.III/MPR/2000
Masalah
hierarki peraturan perundang-undangan menurut ketetapan MPR
No.III/MPR/2000 dirumuskan sebagai
berikut:
Pasal 2
Tata urutan
peraturan perundang-undangan merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum di
bawahnya.
Tata urutan
peraturan perundang-undangan Republik Indonesia adalah:
1. Undang-Undang
Dasar 1945;
2. Ketetapan MPR;
3. Undang-Undang;
4. Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU);
5. Peraturan
Pemerintah;
6. Keputusan
Presiden;
7. Peraturan
Daerah.
Dalam hierarki
tersebut tidak ada peraturan menteri atau keputusan menteri, ketiadaan
peraturan menteri atau keputusan menteri dalam Pasal 2 Tap MPR No.III/MPR/2000
tersebut menimbulkan pula berbagai permasalahan dan menimbulkan pertanyaan
tentang bagaimana keberadaan peraturan menteri atau keputusan menteri dalam
hierarki peraturan perundang-undangan, karena bidang-bidang tugas pemerintahan
yang diberikan Presiden kepada Menteri seharusnya dapat ditindaklanjuti dengan
pembentukan suatu Keputusan Menteri (Peraturan Menteri) yang mengikat umum.
Sehubungan
dengan hal tersebut pada tanggal 23 Februari 2001 Menteri Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia menetapkan Surat Edaran. M.UM.01.06-27 yang menyatakan bahwa
Keputusan Menteri yang bersifat mengatur merupakan salah satu jenis peraturan
perundang-undangan, dan secara hierarkis terletak di antara Keputusan Presiden
dan Peraturan Daerah.
4. Hierarki Peraturan Perundang-undangan berdasarkan
Undang-Undang No.10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
Dalam
Undang-Undang No.10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
dinyatakan tentang jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang
dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 7
1) Jenis dan
Hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a. UUD 1945
b. UU/PERPU
c. Peraturan
Pemerintah
d. Peraturan
Presiden
e. Peraturan
Daerah
2) Peraturan
Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:
a. Peraturan
Daerah Provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama
gubernur;
b. Peraturan
Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat di daerah
kabupaten/kota bersama bupati/walikota;
c. Peraturan
Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama
lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
3) Ketentuan lebih
lanjut mengenai tata cara pembuatan peraturan desa/peraturan yang setingkat
diatur dengan peraturan daerah kabupaten/kota yang bersangkutan.
4) Jenis peraturan
perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan
oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi,
5) Kekuatan hukum
peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
Dalam
penjelasan Pasal 7 ayat (4) dinyatakan sebagai berikut:
Jenis peraturan
perundang-undangan selain dalam ketentuan ini antara lain, peraturan yang
dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa
Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang
setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah
undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Berdasar hal
tersebut maka kedudukan peraturan menteri dalam Undang-Undang No.10 tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan merupakan sebuah peraturan
perundang-undangan jika diperintahkan oleh peraturan yang lebih tinggi.
5. Hierarki Peraturan Perundang-undangan berdasarkan
Undang-Undang No.12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
Berdasarkan
Pasal Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, menyatakan bahwa
Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas:
1. Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4. Peraturan
Pemerintah;
5. Peraturan
Presiden, dan;
6. Peraturan
Daerah Provinsi.
Peraturan menteri dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak diatur dalam ketentuan
Pasal ayat 7 (1). Namun demikian, jenis peraturan tersebut
keberadaannya diatur dalam Pasal 8 ayat (1) UU No. 12/2011, yang menegaskan:
“Jenis Peraturan Perundang-undangan selain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang
ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan
Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia,Menteri, badan,
lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau
Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota,
Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.”
Walaupun
ketentuan di atas tidak menyebut secara tegas jenis peraturan
perundang-undangan berupa “Peraturan Menteri”, namun frase “…peraturan
yang ditetapkan oleh… menteri…” di atas, mencerminkan keberadaan
Peraturan Menteri sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan. Dengan
demikian, Peraturan Menteri setelah berlakunya UU No. 12/2011 tetap diakui
keberadaannya.
Persoalan selanjutnya, bagaimanakah
kekuatan mengikat Peraturan Menteri tersebut? Pasal 8 ayat (2) UU No. 12/2011
menegaskan:
“Peraturan
Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.”
Dari
ketentuan di atas, terdapat dua syarat agar peraturan-peraturan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) UU No. 12/2011 memiliki kekuatan mengikat
sebagai peraturan perundang-undangan, yaitu:
1. diperintahkan
oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; atau
2. dibentuk
berdasarkan kewenangan.
Dalam Undanh-Undang Nomor 10 tahun 2004 hanya mengakui
peraturan menteri sebagai peraturan perundang-undanga jika diperintahkan oleh
peraturan yang lebih tinggi, tetapi
berdasarkan Pasal 8 ayat (2) UU No. 12/2011 juga menegaskan adanya peraturan
perundang-undangan “yang dibentuk atas dasar kewenangan”. Sehingga
Peraturan Menteri tersebut tetap dikategorikan sebagai peraturan
perundang-undangan. Padahal dalam doktrin tidak dikenal jenis peraturan
perundang-undangan demikian.
Hal ini perlu dikaji lebih lanjut
dari perspektif Ilmu Perundang-undangan terutama dalam kaitannya peraturan
perundang-undangan sebagai norma hukum yang bersifat hierarkis dimana norma
hukum yang lebih rendah mencari validitasnya pada norma hukum yang lebih tinggi
sebagaimana dikemukakan Hans Kelsen atau yang disebut oleh Joseph Raz sebagai chain
of validity[10].
Dalam undang-undang sebelumnya
(Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004), tidak dikenal peraturan perundang-undangan
yang dibentuk atas dasar kewenangan, termasuk dalam hal peraturan menteri.
Peraturan Menteri yang dibentuk tanpa adanya pendelegasian dari peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi sebelum berlaku UU No. 12/2011, dikenal
secara teoritik sebagai peraturan kebijakan (beleidregels).Yaitu suatu
keputusan pejabat administrasi negara yang bersifat mengatur dan secara tidak
langsung bersifat mengikat umum, namun bukan peraturan perundang-undangan[11].
Karena bukan peraturan
perundang-undangan, peraturan kebijakan tidak dapat diuji oleh Mahkamah Agung
yang memiliki kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang terhadap undang-undang. Dengan adanya ketentuan Pasal 8 ayat (2)
UU No. 12/2011, maka tidak lagi perbedaan antara Peraturan Menteri yang
merupakan peraturan perundang-undangan dengan Peraturan Menteri yang merupakan
Aturan Kebijakan.
Kedudukan Peraturan Menteri yang
telah dibentuk sebelum berlakunya UU No. 12/2011, tetap berlaku sepanjang tidak
dicabut atau dibatalkan. Namun demikian, menurut saya, terdapat dua jenis
kedudukan Peraturan Menteri yang dibentuk sebelum berlakunya UU No.
12/2011.
Pertama, Peraturan Menteri yang
dibentuk atas dasar perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
berkualifikasi sebagai peraturan perundang-undangan.
Kedua, Peraturan Menteri yang
dibentuk bukan atas dasar perintah peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi (atas dasar kewenangan), berkualifikasi sebagai Aturan Kebijakan. Hal
ini disebabkan UU No. 12/2011 berlaku sejak tanggal diundangkan (vide Pasal
104 UU No. 12/2011 2011), sehingga adanya Peraturan Menteri yang dibentuk
sebelum tanggal diundangkannya UU No. 12/2011 masih tunduk berdasarkan
ketentuan undang-undang yang lama (UU No.10/2004). Konsekuensinya, hanya
Peraturan Menteri kategori pertama di atas, yang dapat dijadikan objek
pengujian Mahkamah Agung.
Selanjutnya, kedudukan Peraturan
Menteri yang dibentuk setelah berlakunya UU No. 12/2011, baik yang dibentuk
atas dasar perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maupun yang
dibentuk atas dasar kewenangan di bidang urusan pemerintahan tertentu yang ada
pada menteri, berkualifikasi sebagai peraturan perundang-undangan. Dengan
demikian, Peraturan Menteri tersebut memiliki kekuatan hukum yang bersifat
mengikat umum dan dapat dijadikan objek pengujian pada Mahkamah Agung, apabila
dianggap bertentangan dengan undang-undang. Sekedar menegaskan kembali,
kedudukan Peraturan Menteri yang dibentuk tanpa delegasi/ atas kewenangan di
bidang administrasi negara perlu dikaji lebih lanjut.
Kembali pada persoalan keberadaan
dan kekuatan mengikat peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 8
ayat (1) UU No. 12/2011, termasuk Peraturan Menteri, Pasal 8 ayat (2)
UU No. 12/2011 tidak hanya mengatur keberadaan peraturan
perundang-undangan atas dasar delegasi (peraturan yang diperintahkan oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi). Pasal 8 ayat (2) UU No. 12/2011 juga
menegaskan adanya peraturan perundang-undangan “yang dibentuk atas dasar
kewenangan”.
Istilah “kewenangan” dalam ketentuan
tersebut, tentu saja bukan kewenangan membentuk peraturan melainkan kewenangan
pada ranah lain. Misalnya, Menteri melaksanakan kewenangan atas urusan
pemerintahan tertentu yang merupakan kekuasaan Presiden di bidang komunikasi
dan Informatika. Artinya, apabila Menteri membentuk Peraturan Menteri tanpa adanya
“perintah dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”, dulu hal
tersebut dinamakan peraturan kebijakan.
Produk peraturan kebijakan tidak
terlepas dari penggunaan Freies Ermessen, yaitu badan atau pejabat tata usaha
negara yang bersangkutan merumuskan kebijaksanaannya dalam berbagai bentuk “juridische regels” seperti peraturan,
pedoman, pengumuman, surat edaran dan mengumumkan kebijaksanaan itu.[12]
Freies Ermessen merupakan kebebasan
administrasi negara melakukan suatu tindakan (dengan berbuat atau tidak
berbuat) untuk mencapai tujuan atau manfaat tertentu (doelmatigheid) di luar
batas ketentuan yang berlaku. Namun demikian, tidak berarti dapat dilakukan
secara atau untuk sesuatu yang melawan hukum. Kendali terhadap asas Freies
Ermessen adalah asas-asas umum penyelenggaraan administrasi negara yang baik
(algemene beginselen van behoorlijk bestuur).[13]
Freies Ermerssen dalam
pelaksanaannya memperhatikan kepantasan atau kepatutan sesuai dengan keadaan
faktual yang dihadapi pejabat administrasi.[14]
Kebebasan bertindak (Freies Ermessen) tersebut dilaksanakan untuk menyelesaikan
suatu permasalahan konkrit yang pada dasarnya.
1. belum atau tidak peraturan
perundang-undangan yang mengatur penyelesaian masalah tersebut, padahal masalah
tersebut menuntut segera untuk diselesaikan;
2. peraturan perundang-undangan telah
memberikan kebebasan untuk bertindak penuh; dan
3. adanya delegasi dari suatu peraturan
perundang-undangan.[15]
Kebebasan
bertindak tersebut diwujudkan dalam bentuk penerbitan peraturan kebijakan
(beleidregel) dalam berbagai format sebagaimana yang telah disebut di atas
tadi. Pembentukan peraturan kebijakan ini merupakan hal lumrah terjadi dalam
praktik pemerintahan.
Peraturan kebijakan tetap diakui
sebagai peraturan perundangan selama memenuhi ciri-ciri sebagai berikut:
a. Berupa keputusan atau peraturan
tertulis yang mempunyai bentuk dan format tertentu;
b. Dibentuk atau ditetapkan oleh
lembaga negara atau pejabat yang berwenang baik di tingkat pusat maupun di
tingkat daerah yang dibentuk berdasarkan kewenangan perundang-undangan, baik
bersifat atribusi maupun bersifat delegasi;
c. Memuat norma hukum yang mengikat
secara umum artinya norma hukum yang ditujukan untuk orang banyak dan tidak
ditujukan kepada individu tertentu, tetapi berlaku bagi siapapun.
d. Melalui prosedur yang ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan artinya pembentukan peraturan
perundang-undangan tersebut telah diatur dalam peraturan perundang-undangan
tertentu.
Menurut Bagir Manan, sebagai
peraturan yang bukan merupakan peraturan perundang-undangan, peraturan
kebijakan tidak secara langsung mengikat secara hukum tetapi mengandung
relevansi hukum.[16]
Namun demikian, tidak berarti bahwa
seseorang yang tidak menjalankan substansi peraturan kebijakan tidak dapat
dikenai sanksi hukum. Setiap perbuatan yang tidak melaksanakan sustansi
peraturan kebijakan tentu saja akan memiliki konsekuensi tertentu, meskipun
tidak berupa sanksi hukum pidana atau perdata. Jika pejabat administrasi
berwenang membentuk peraturan kebijkan, dengan sendirinya pejabat administrasi
tersebut berwenang menerapkan sanksi atau konsekuensi terhadap setiap perbuatan
yang melanggar substansi peraturan kebijakan tersebut.[17]
Bahwa
kewenangan menteri untuk membentuk peraturan menteri selain atas perintah
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi itu, merupakan kewenangan yang
dapat ditelusuri kembali dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD NRI 1945).
Bahwa dalam Pasal 17 UUD NRI 1945 ditegaskan:
(1)
Presiden
dibantu oleh menteri-menteri negara.
(2)
Menteri-menteri
itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
(3)
Setiap
menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
(4)
Pembentukan,
pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang.
Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 17
ayat (4) UUD NRI 1945 telah ditetapkan UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang
Kementerian Negara. Bahwa UU 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dibentuk
dan ditetapkan berdasarkan prinsip fundamental bahwa Presiden adalah pemegang
kekuasaan pemerintah menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, dan dalam menjalankan tugasnya Presiden dibantu oleh
menteri-menteri negara yang membidangi urusan tertentu di bidang pemerintahan.
Bahwa setiap menteri memimpin kementerian negara untuk menyelenggarakan urusan
tertentu dalam pemerintahan guna mencapai tujuan negara sebagaimana diamanatkan
dalam Pembukaan UUD NRI 1945. Urusan pemerintahan yang diselenggarakan oleh
Menteri sebagai pembantu presiden, merupakan urusan yang memiliki akar dari
ketentuan-ketentuan UUD NRI 1945.
Bahwa Menteri Komunikasi dan
Informatika diberikan mandat oleh Presiden untuk menyelenggarakan urusan
komunikasi dan informasi. Urusan ini merupakan urusan pemerintahan yang ruang
lingkupnya disebutkan dalam UUD NRI 1945.
Bahwa dalam Pasal 8 ayat (2) UU 39/2008
dengan tegas diatur:
Dalam melaksanakan tugasnya,
Kementerian yang melaksanakan urusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(2) menyelenggarakan fungsi:
a.
perumusan,
penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidangnya;
b.
pengelolaan
barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya;
c.
pengawasan
atas pelaksanaan tugas di bidangnya;
d.
pelaksanaan
bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian di daerah;
dan
e.
pelaksanaan
kegiatan teknis yang berskala nasional.
Bahwa Pasal 11 UU 39/2008 mengatur Ketentuan lebih lanjut
mengenai tugas, fungsi, dan susunan organisasi Kementerian diatur dengan
Peraturan Presiden. Peraturan Presiden yang dimaksud ialah Peraturan Presiden Nomor
47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara dan
Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi
Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I
Kementerian Negara.
Kementerian Komunikasi dan Informatika dibentuk
berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 (vide Pasal 1 angka 24).
Selanjutnya, bahwa dalam Bagian Keduapuluh Perpres 24/2010 diatur mengenai
Kementerian Komunikasi dan Informatika. Dalam Pasal 517 Perpres 24/2010 diatur:
Kementerian Komunikasi dan
Informatika mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang komunikasi dan
informatika dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan
pemerintahan negara.
Selanjutnya dalam Pasal 518 Perpres 24/2010
diatur
Dalam melaksanakan tugas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 517, Kementerian Komunikasi dan Informatika
menyelenggarakan fungsi:
a.
perumusan,
penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang komunikasi dan informatika;
b.
…;
c.
pengawasan
atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Komunikasi dan Informatika;
d.
pelaksanaan
bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Komunikasi
dan Informatika di daerah; dan
e. pelaksanaan kegiatan teknis yang
berskala nasional.
Bahwa berdasarkan
argumentasi terhadap ketentuan yang dimaksud, Menteri Komunikasi dan
Informatika diberikan wewenang oleh Pasal 17 UUD NRI 1945 dan UU 39/2008 untuk
merumuskan dan menetapkan serta melaksanakan kebijakan di bidang komunikasi dan
informatika. Urusan komunikasi dan informasi merupakan urusan pemerintah yang
dimandatkan oleh UUD NRI 1945. UUD NRI 1945 dan UU 39/2008 menjadi dasar hukum
bagi Menteri Komunikasi dan Informatika untuk menjalankan amanat sebagaimana
dimaksud pada frase “dibentuk berdasarkan
kewenangan” dalam Pasal 8 ayat (2) UU 12/2011.
Bahwa Peraturan Menteri
Kominfo Nomor 19 Tahun 2014 merupakan wujud dari pelaksanaan kewenangan di
bidang Komunikasi dan Informatika. Sehingga
meskipun Peraturan Menteri Kominfo Nomor 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet bermuatan Negatif ini
didasarkan pada kewenangan yang dimiliki yang jika secara teori dianggap
Peraturan Kebijakan tetapi berdasar pada Undang-Undang 12 tahun 2011 kedudukan
peraturan menteri ini merupaka peraturan perundang-undangan.
B. Materi Muatan Peraturan
Menteri Kominfo Nomor 19 Tahun 2014
tentang Penanganan Situs Internet bermuatan Negatif
Sesuai dengan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011
tentang Pembentukan Perarturan Perundang-undangan disebutkan bahwa:
Dalam
membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
a.
kejelasan tujuan;
b.
kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c.
kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d.
dapat dilaksanakan;
e.
kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f.
kejelasan rumusan; dan
g.
keterbukaan.
Kemudian dalam penjelasan Pasal 5 berbunyi sebagai
berikut:
Huruf a
yang dimaksud dengan
“asas kejelasan tujuan” adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan
yang jelas yang hendak dicapai.
Huruf b
yang dimaksud dengan “asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang
tepat” adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan
harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan
Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau
pejabat yang tidak berwenang.
Huruf c
yang dimaksud dengan
“asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan” adalah bahwa dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi
muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan.
Huruf d
yang dimaksud dengan
“asas dapat dilaksanakan” adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus
memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam
masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
Huruf e
yang dimaksud dengan
“asas kedayagunaan dan kehasil gunaan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang
benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Huruf f
yang dimaksud dengan
“asas kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan
teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau
istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak
menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam
pelaksanaannya.
Huruf g
yang dimaksud dengan
“asas keterbukaan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan
pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan
yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Berdasar
ketentuan Pasal 5 tersebut dapat kita analisa sebagai berikut:
a.
kejelasan tujuan;
Sesuai dengan Pasal 2 Permen Kominfo 19 tahun 2014 tujuan
dari Peraturan ini adalah sebagai berikut:
1. memberikan dasar bagi Pemerintah dan masyarakat terhadap
pemahaman situs internet bermuatan negatif dan peran bersama dalam
penanganannya; dan
2. melindungi kepentingan umum dari konten internet yang
berpotensi memberikan dampak negatif dan atau merugikan.
b.
kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
Dalam peraturan menteri ini sudah jelas bahwa yang membentuk peraturan ini
adalah menteri komunikasi dan informatika yang mendasarkan pada kewenangannya
di bidang Komunikasi dan Informatika, apakah kelembagaan atau pejabat
pembentuknya tepat atau tidak, harus menunggu putusan Mahkamah Agung terhadap
pengujian peraturan menteri tersebut.
c.
kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
Jika
melihat ketentuan-ketentuan dalam peraturan menteri tersebut seharusnya materi
muatan yang diatur dalam peraturan menteri ini diatur dalam Peraturan
Pemerintah jika ada amanat dari Undang-Undang atau minimal dalam Peraturan
Presiden karena mengatur koordinasi antar kementrian dan lembaga, tetapi jika
berdasar pada pada tugas dan fungsi seorang menteri sesuai Pasal 17
ayat (1) UUD 1945 Perubahan, salah satu fungsi dari Peraturan Menteri adalah
menyelenggarakan pengaturan secara umum dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan
pemerintahan di bidangnya. Fungsi ini dimiliki oleh setiap menteri sesuai
dengan bidang tugasnya[18]
misalnya, Menteri Kesehatan mempunyai kekuasaan mengatur segala hal yang
menyangkut bidang kesehatan, Menter keuangan mempunyai kekuasaan mengatur
segalah hal menyangkut bidang keuangan, begitu juga dengan Menteri Komunikasi
dan Informatika mempunyai kekuasaan mengatur segala hal menyangkut bidang
komunikasi dan informatika.
d.
dapat dilaksanakan;
Jika melihat praktek yang sudah berjalan, maka peraturan menteri sudah
jelas dapat dilaksanakan.
e.
kedayagunaan dan kehasilgunaan;
Berdasar latar belakang pembentukan peraturan menteri sudah jelas bahwa
peraturab ini dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam
mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, antara lain dalam mengurangi
akses terhadap konten-konten negatif seperti pornografi, perjudian, dll
f.
kejelasan rumusan;
Bahwa berkaitan dengan terbitnya Peraturan Menteri
Komunikasi dan Informatika Nomor 19 tahun 2014 tentang Penanganan Situs
Internet Bermuatan Negatif yang diterbitkan berdasarkan kewenangan Menteri
Komunikasi dan Informatika mengatur tata cara atau mekanisme pemblokiran situs
internet yang bermuatan negatif dengan alasan mengisi kekosongan hukum yang
diakibatkan tidak adanya peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 44 tahun
2008 tentang Pornografi, Pasal 18 UU Pornografi menyebutkan: “Untuk melakukan
pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pemerintah berwenang:
a.
melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan
produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui
internet;
b.
melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan,
dan penggunaan pornografi; dan
c.
melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai
pihak, baik dari dalam maupun dari luar negeri, dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan,
dan penggunaan pornografi.
Selain
itu juga dalam rangka implementasi UU
ITE yang mengatur peran Pemerintah dalam melindungi kepentingan umum. Pasal 40
ayat (2) UU ITE menyebutkan:
Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan
sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik
yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
Tetapi
dengan diterbitkannya peraturan menteri tersebut menimbulkan kekhawatiran akan
berdampak pada perbuatan pemerintah yang dapat berbuat sewenang-wenang (abuse
of power). Hal tersebut dilihat dari adanya materi dalam Permenkominfo
19/2014 yang mengandung multitafsir, yang dapat menyebabkan Kementerian atau
Lembaga Pemerintah dapat berbuat sesukanya kepada masyarakat dalam hal blokir
situs negatif. Pasal 4 Permenkominfo 19/2014 menyebutkan:
Pasal 4
1)
Jenis situs internet bermuatan negatif yang ditangani
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, yaitu:
a.
pornografi; dan
b.
kegiatan ilegal lainnya berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
2)
Kegiatan ilegal lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b merupakan kegiatan ilegal yang pelaporannya berasal dari
Kementerian atau Lembaga Pemerintah yang berwenang sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Ketentuan tersebut tegas mengatur bahwa ada 2 (dua) situs yang
dikategorikan sebagai situs negatif, yaitu situs pronografi dan situs yang
berisi tentang kegiatan ilegal berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Persoalannya terletak pada Pasal 4 ayat (1) huruf (b), yang
menentukan adanya kegiatan ilegeal berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Di mana kegiatan ilegal tersebut merupakan kegiatan ilegal
yang harus ada laporan terlebih dahulu dari kementrian atau lembaga pemerintah
yang berwenang berdasarkan perturan perundang-undangan.
Rumusan norma Pasal 4 ayat (1) huruf (b) tersebut
mengundang pertanyaan yang sangat mendasar, yaitu apakah yang dimaksud kegiatan
ilegal lainnya? Permenkominfo 19/2014 tersebut tidak mengatur secara tegas
bentuk kegiatan ilegal apa saja yang dimaksud, mengingat dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia ada banyak bentuk kegiatan ilegal.
Bahwa lebih lanjut, berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat
(2) maka yang menentukan kegiatan ilegal adalah lembaga pemerintah yang
berwenang serta kementrian yang berwenang. Ketentuan tersebut telah memberikan
wewenang kepada kementrian dan lembaga pemerintah yang berwenang untuk
menentukan apakah suatu kegiatan di dalam suatu situs internet termasuk ke
dalam kegiatan ilegal atau tidak.
Dengan tidak adanya ukuran yang jelas berkaitan dengan
kegiatan ilegal berdasarkan pertauran perundang-undangan, membuka celah bagi
lembaga pemerintah atau kementrian utnuk dapat berbuat ‘like or dislike’
terhadap suatu situs internet. Dengan demikian, dampak yang terjadi kemungkinan
akibat berlakunya permenkominfo tersebut adalah pemblokiran secara sporadis
yang dilakukan oleh Pemerintah yang tentunya akan merugikan masyarkat itu
sendiri.
Pengaturan
Pasal 4 ayat (2) dianggap tidak memenuhi asas kejelasan rumusan, pilihan kata atau
istilah, serta bahasa hukumnya menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam
pelaksanaannya.
Sementara
Kementerian Komunikasi berpendapat bahwa Frasa “peraturan
perundang-undangan” menjadi kunci untuk menentukan legal tidaknya suatu
kegiatan yang akan diblokir atau difilter. Frasa ini menunjukkan bahwa[19]:
1. Harus
ada peraturan perundang-undangan yang mengatur bahwa satu konten atau kegiatan
merupakan konten atau kegiatan yang ilegal;
2. Adanya
instansi atau lembaga pemerintah yang dapat dimintai pertanggung jawaban
mengenai legalitas konten atau kegiatan tersebut.
Dari perumusan Pasal 4 ayat
(1) Permen 19/2014, tercermin bahwa Kementerian Kominfo memahami bahwa ada
banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur konten ilegal atau kegiatan
ilegal yang dapat dilakukan, didiseminasi, atau disebarluaskan dengan atau
melalui Internet, khususnya melalui website. Peraturan perundang-undangan
tersebut dapat merupakan bagian dari urusan pemerintahan yang menjadi tanggung
jawab Kementerian Kominfo maupun bagian dari urusan pemerintahan yang menjadi
tanggung jawab Kementerian atau Lembaga Pemerintah lain.
Sehingga kekhawatiran akan terjadi kesewenang-wenangan
dapat dihindari karena dalam menentukan sebuah situs internet tersebut diblokir
atau tidak harus ada dasar regulasi yang menyatakan bahwa konten atau kegiatan
tersebut ilegal, jika dianggap sewenang-wenang maka dapat diajukan gugatan
terhadap Pengadilan Tata Usaha Negara untuk menguji Pemblokiran tersebut sesuai
atau tidak dengan peraturan perundang-undangan dan Asas-asas Umum Pemerintahan
yang Baik (AUPB).
g.
keterbukaan.
Berkaitan
dengan pembentukan peraturan ini menurut kami sudah sangat terbuka, dengan
diadakannya proses uji publik terhadap peraturan tersebut sebelum ditetapkan
oleh Menteri Komunikasi dan Informatika.
Dengan
demikian materi muatan dalam peraturan menteri ini Jika melihat
ketentuan-ketentuan dalam peraturan menteri tersebut seharusnya materi muatan
yang diatur dalam peraturan menteri ini diatur dalam Peraturan Pemerintah jika
ada amanat dari Undang-Undang atau minimal dalam Peraturan Presiden karena
mengatur koordinasi antar kementrian dan lembaga, tetapi jika berdasar pada pada tugas dan
fungsi seorang menteri sesuai Pasal 17 ayat (1) UUD 1945 Perubahan, salah satu
fungsi dari Peraturan Menteri adalah menyelenggarakan pengaturan secara umum
dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan di bidangnya. Fungsi ini
dimiliki oleh setiap menteri sesuai dengan bidang tugasnya misalnya, Menteri
Kesehatan mempunyai kekuasaan mengatur segala hal yang menyangkut bidang
kesehatan, Menter keuangan mempunyai kekuasaan mengatur segalah hal menyangkut
bidang keuangan, begitu juga dengan Menteri Komunikasi dan Informatika
mempunyai kekuasaan mengatur segala hal menyangkut bidang komunikasi dan
informatika.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Bahwa
Peraturan Menteri Kominfo Nomor 19 Tahun 2014 merupakan
wujud dari pelaksanaan kewenangan di bidang Komunikasi dan Informatika. Sehingga meskipun Peraturan Menteri
Kominfo Nomor 19 Tahun 2014
tentang Penanganan Situs Internet bermuatan Negatif ini didasarkan pada
kewenangan yang dimiliki yang jika secara teori dianggap Peraturan Kebijakan
tetapi berdasar pada Undang-Undang 12 tahun 2011 kedudukan peraturan menteri
ini merupakan peraturan perundang-undangan.
2. Jika melihat ketentuan-ketentuan dalam peraturan menteri
tersebut seharusnya materi muatan yang diatur dalam peraturan menteri ini
diatur dalam Peraturan Pemerintah atau minimal dalam Peraturan Presiden karena
mengatur koordinasi antar kementrian dan lembaga karena merupakan
peraturan untuk melaksanakan undang-undang.
B.
Saran
Pemerintah mengatur Tata
Cara Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif ini dalam Peraturan Pemerintah
jika memang sudah ada amanat undang-undang atau mengatur dalam bentuk Peraturan
Presiden jika memang tidak ada undang-undang yang mengamanatkan secara tegas
tentang Tata Cara penanganan Situs Internet Tersebut karena dari materi
muatannya melibatkan berbagai kementrian atau lembaga pemerintah.
[1] http://inet.detik.com/read/2014/11/25/105636/2758193/399/permen-situs-negatif-digugat-kominfo-santai
diakses tanggal 11 April 2015
[2] Naskah Gugatan Judicial Review Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor
19 tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif
[3] E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum
Indonesia, (Jakarta, Penerbit Ichtisar) hlm. 133-134
[4] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu
Hukum Tata Negara, Jilid I (Jakarta, Penerbit Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan MK RI, 2006) hlm. 88
[5] A. Hamid S. Attamimi, Peranan
Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara
: Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan
Dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita VI, Disertasi, Fakultas Pasca
Sarjana UI, Jakarta, 1990.hlm.352
[6] Ibid.
hlm.347
[7] Asshiddiqie, Jimly, dan Safa‟at, M.
Ali, 2006, Theory Hans Kelsen Tentang Hukum,Cet I, Sekretariat Jendreral &
Kepaniteraan Makamah Konstitusi RI, Jakarta, hlm. 110
[8] Kelsen, Hans, 2009, General Theory of
Law and State, Translated by Anders Wedberg, Harvard University Printing Office
Cambridge, Massachusetts, USA, hlm. 124
[11] Bagir Manan dan Kuntana
Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara, Alumni, Bandung, 1997. hlm.169
[12] Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum
Administrasi Indonesia, (Yogyakarta, Penerbit Gadjah mada
University
Pers, 2005), hlm. 130
[13] Bagir Manan, Konvensi Ketatanegaraan,
(Yogyakarta, Penerbit FH UII Press, 2006), hlm. 66
[14] Hotma P. Sibuea, Asas-Asas Negara
Hukum, Peraturan Kebijakan dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, (Jakarta,
Erlangga, 2010), hlm. 70
[16] Bagir Manan dalam Hotma P. Sibuea,
ibid, hlm. 124
[17] Hotma P. Sibuea, ibid, hlm. 127
[19] Surat Jawaban
Menteri Komunikasi dan Informatika terhadap Permohonan Judicial Review Permen
kominfo No. 19 tahun 2014 di Mahkamah Agung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar