oleh
DENDEN IMADUDIN SOLEH, SH. CLA
DENDEN IMADUDIN SOLEH, SH. CLA
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Dalam
sistem ketatatanegaraan Indonesia, UUD NRI 1945 dengan jelas membedakan
cabang-cabang kekuasaan negara dalam bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif
yang tercermin dalam fungsi-fungsi MPR,DPR, dan DPD, Presiden dan Wakil
Presiden. Serta Mahkamah Agung (MA),Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan
Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga-lembaga negara yang utama(main state organs,principal state organs).
Lembaga-lembaga negara dimaksud itulah yang secara instrumental mencerminkan
pelembagaan fungsi-fungsi kekuasaan negara yang utama (main state functions, principal state functions), sehingga
lembaga-lembaga negara itu pula yang dapat disebut sebagai lembaga negara
utama(main state organs, principal state
organs, atau main stateinstitutions)
yang hubunganya satu dengan yang lain diikat oleh prinsip “check and balances”.[1]
Lembaga-lembaga
negara yang bersifat utama, atau yang biasa disebut sebagai lembaga tinggi
negara seperti dimaksud di atas, dalam UUD juga diatur lembaga-lembaga negara
yang bersifat konstitusional lainya seperti Komisi Yudisial, Kepolisian Negara,
Tentara Nasional Indonesia,Bank Sentral, Komisi Pemilihan Umum, dan Dewan
Pertimbangan Presiden. Namun pengaturan lembaga-lembaga negara tersebut dalam
UUD NRI 1945, tidaklah dengan sendirinya mengakibatkan lembaga-lembaga negara
yang disebutkan dalam UUD NRI 1945 tersebut, termasuk Komisi Yudisial, harus
dipahami dalam pengertian lembaga (tinggi negara) sebagai lembaga utama(main organs). Misalnya Komisi Yudisial
sebagai lembaga negara tidaklah menjalankan salah satu dari fungsi kekuasaan
negara sebagaimana yang secara universal dipahami. Dengan kata lain, bahwa
lembaga-lembaga negara ini hanya bertugas melayani atau dalam tugas dan
wewenangnya berkaitan dengan lembaga-lembaga negara utama sebagaimana yang
disebutkan di atas, yang dalam ketatanegaraan disebut dengan state auxiliary bodies (lembaga negara
yang melayani).
Walaupun tugasnya melayani, akan tetapi menurut Sri
Sumantri M,[2]
secara nasional state auxiliary bodies
mempunyai kedudukan dan peranan penting dalam mewujudkan tujuan nasional. Hal
ini juga diakui oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 005/PUU-IV/2000
tentang judicial review terhadap
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, bahwa diatur atau
tidaknya suatu lembaga negara dalam undang-undang dasar juga tidak, boleh
ditafsirkan sebagai satu-satunya faktor yang menentukan derajat konstitusional
lembaga negara yang bersangkutan
Lembaga-lembaga penunjang atau State Auxiliary
Bodies merupakan gejala yang
dapat dikatakan baru dalam dinamika penyelenggaraan kekuasaan negara modern. Menurut doktrin
Montesquieu, lembaga-lembaga negara diidealkan
hanya terdiri atas tiga lembaga utama penyelenggaraan kekuasaan negara, yaitu parlemen, pemerintah,
dan pengadilan yang mencerminkan fungsi-fungsi legislatif, eksekutif, dan judisial. Namun, sejak lahir abad
ke-19, dengan munculnya tuntutan
agar negara mengambil peran lebih besar dalam dinamika kehidupan bermasyarakat dan bernegara, maka jumlah lembaga-lembaga
negara menjadi bertambah banyak pula
sesuai dengan tuntutan kebutuhan menurut
doktrin negara kesejahteraan (welfare state).[3]
Sampai pertengahan abad ke-20, peran negara berkembang
ekstrim sehingga pada akhir abad
ke-20 berkembang pula kesadaran baru untuk
mengurangi peran negara melalui pelbagai kebijakan liberalisasi, baik di
bidang politik maupun ekonomi.
Gelombang liberalisasi politik membawa akibat munculnya gelombang (i) demokratisasi dan (ii) desentralisasi,
sedangkan liberalisasi ekonomi melahirkan kebijakan-kebijakan (i) efisiensi,
(ii) deregulasi, (iii) debirokratisasi, dan (iv) privatisasi.[4]
Mulai tahun 1970-an, gerakan-gerakan ini berkembang luas sehingga menyebabkan
terjadinya restrukturisasi bangunan organisasi negara dan pemerintahan secara
besar-besaran. Sebagian fungsi yang sebelumnya ditangani oleh negara diserahkan
kepada masyarakat atau dunia usaha untuk mengelolanya.
Menurut Jimly Asshiddiqie, ada 2 pertimbangan dalam
penerapan prinsip sharing of
power yaitu (i) untuk kepentingan efisiensi, muncul kebutuhan untuk melembagakan kebutuhan untuk
mengintegrasikan pelbagai fungsi menjadi satu kesatuan ke dalam fungsi yang bersifat campuran. Pertimbangan lain
adalah (ii) munculnya kebutuhan
untuk mencegah agar fungsi-fungsi kekuasaan tertentu terbebas dari intervensi politik dan konflik kepentingan. Karena
kedua alasan inilah, maka sejak
akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, banyak bermunculan lembaga-lembaga baru di luar struktur organisasi pemerintahan yang
lazim. Di Indonesia, dua belas tahun
pasca digulirkannya era reformasi, tuntutan
adanya perubahan secara mendasar telah terakomodir dengan diamandemennya UUD 1945 sebanyak 4 (empat) kali.
Perubahan-perubahan tersebut
nampaknya hingga kini masih belum juga memenuhi kebutuhan untuk membangun negara yang demokratis, hal
ini dapat diindikasikan dengan adanya isu-isu
untuk melakukan amandemen ke-5 dari UUD Negara RI 1945 yang saat ini berlaku.
Konsekuensi dari 4 kali amandemen UUD 1945 salah
satunya adalah dengan lahirnya states
auxiliary bodies/agencies yang merupakan wajah baru dalam ketatanegaraan Indonesia, yang hal ini dapat dikatakan
bagian dari penerapan prinsip sharing
of power. Istilah states auxiliary bodies dipadankan dengan lembaga yang melayani,
lembaga penunjang, lembaga bantu,
dan lembaga negara pendukung. Istilah tersebut diberikan sebagai pembeda dari lembaga negara utama.[5]
States auxiliary bodies dalam implementasinya saat ini dikenal
dengan Komisi-Komisi, Lembaga-lembaga atau
sejenisnya. Dibentuknya States auxiliary bodies di samping merupakan
kebutuhan untuk menyelesaikan tugas dengan cepat, gejala ini mungkin
menunjukkan kurang efektif dan efisiennya Kementerian dan LPNK (Lembaga
Pemerintah Non Kementerian). Bisa juga karena kekurang percayaan kepada institusi
yang sudah ada sehingga dibentuklah lembaga baru.
Lembaga-lembaga tersebut di antaranya adalah Dewan
Pers yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers dan
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor
32 tahun 2002 tentang Penyiaran, kedua lembaga tersebut merupakan lembaga
independen yang memiliki fungsi yang berbeda, Dewan Pers memiliki tugas dan fungsi
mengembangkan kemerdekaan pers dan
meningkatkan kualitas kehidupan pers[6]
sementara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mempunyai tugas dan fungsi menjamin
masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak
asasi manusia, tetapi kedua lembaga tersebut ternyata memiliki kewenangan yang
bersinggungan dalam hal kegiatan jurnalistik atau pemberitaan yang
menggunakan media elektronik penyiaran
seperti televisi dan radio sehingga sering terjadi perdebatan kewenangan ketika
hal tersebut terjadi.
Sebelum reformasi kedua kewenangan lembaga tersebut
melekat pada Menteri Penerangan sehingga waktu itu Menteri Penerangan mempunyai
kekuasaan yang sangat powerfull dalam
mengawasi lembaga penyiaran dan media cetak sampai ke pemberdelan, sehingga
waktu itu tidak ada pertentangan kewenangan karena berada dalam satu lembaga,
justru pertentangan itu muncul ketika dibentuk lembaga independen yang
menangani kemerdekaan pers yaitu Dewan Pers dan lembaga independen yang
menangani Penyiaran (radio dan televisi) yaitu Komisi Penyiaran Indonesia yang
akhirnya ada pertentangan dalam melaksanakan kewenangannya masing-masing.
Selanjutnya selain masalah tersebut, meskipun sama-sama
lembaga independen, tetapi kedua lembaga tersebut memiliki perbedaan misalnya
dalam hal pengisian jabatan dan juga sumber dana kedua lembaga tersebut
sehingga menarik untuk dikaji mengenai perbandingan independensi kedua lembaga
tersebut.
Berdasar latar belakang tersebut, akan ditulis makalah
dengan judul Fungsi dan Eksistensi DEWAN PERS – KPI
dalam Mengawasi dan Melindungi
Kemerdekaan Pers di Media Cetak dan Lembaga Penyiaran.
1.2
Permasalahan
Dari
uraian tentang Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai States
Auxiliary Bodies yang ada di Indonesia
saat ini, maka ada beberapa permasalahan yang akan coba dijawab dalam makalah
ini yaitu:
1. Bagaimana
Kedudukan Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam struktur
ketatanegaraan Indonesia?
2. Bagaimana
Fungsi dan Eksistensi Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam Mengawasi
dan Melindungi Kemerdekaan Pers di Media
Cetak dan Lembaga Penyiaran?
3. Bagaimana
Independensi Kelembagaan Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)?
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1
Kedudukan
Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
Sebelum berbicara mengenai kedudukan Dewan Pers dan
Komisi Penyiaran Indonesia (KIP) maka harus dimulai dari pembahasan istilah lembaga
negara, istilah lembaga negara sendiri bukan konsep yang secara terminologi
memiliki istilah tunggal dan seragam. Di dalam kepustakaan Inggris, untuk
menyebut lembaga negara digunakan istilah Political
Institution, sedangkan dalam terminologi bahasa Belanda terdapat istilah Staat Organen. Sementara itu, bahasa
Indonesia menggunakan lembaga negara, badan negara, atau organ negara.[7]
Untuk memahami pengertian lembaga atau organ negara
secara lebih dalam, kita dapat
mendekatinya dari pandangan Hans Kelsen mengenai the concept of the State-Organ dalam bukunya General Theory
of Law and State. Hans Kelsen
menguraikan bahwa ―Whoever fulfills a function determined by the legal order
is an organ.[8]
Siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang ditentukan
oleh suatu tata-hukum (legal order) adalah suatu organ. Artinya,
organ negara itu tidak selalu berbentuk organik. Di samping organ yang
berbentuk organik, lebih luas lagi, setiap jabatan yang ditentukan oleh
hukum dapat pula disebut organ, asalkan fungsi-fungsinya itu bersifat menciptakan
norma (normcreating) dan/atau bersifat menjalankan norma (norm
applying). ―These functions, be they of a norm-creating or of a
normapplying character, are all ultimately aimed at the execution of a legal
sanction.[9]
Dalam setiap pembicaraan mengenai organisasi negara,
ada dua unsur pokok yang saling berkaitan, yaitu organ dan functie.
Organ adalah bentuk atau wadahnya, sedangkan functie adalah isinya;
organ adalah status bentuknya (Inggris: form, Jerman: vorm),
sedangkan functie adalah gerakan wadah itu sesuai maksud pembentukannya.
Dalam naskah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
organ-organ yang dimaksud, ada yang disebut secara eksplisit namanya, dan ada
pula yang disebutkan eksplisit hanya fungsinya. Ada pula lembaga atau organ
yang disebut bahwa baik namanya maupun fungsi atau kewenangannya akan diatur
dengan peraturan yang lebih rendah.
Dalam UUD 1945, terdapat tidak kurang dari 34 organ
yang disebut keberadaannya dalam UUD 1945. Ke-34 organ atau lembaga tersebut
adalah:
1) Majelis
permusyawaratan Rakyat (MPR) diatur dalam Bab III UUD 1945 yang juga diberi
judul "Majelis permusyawaratan Rakyat". Bab III ini berisi dua pasal,
yaitu Pasal 2 yang terdiri atas tiga ayat, Pasal 3 yang juga terdiri atas tiga
ayat;
2) Presiden
yang diatur keberadaannya dalam Bab III UUD 1945, dimulai dari Pasal 4 ayat (1)
dalam pengaturan mengenai Kekuasaan Pemerintahan Negara yang berisi 17 pasal;
3) Wakil
Presiden yang keberadaannya juga diatur dalam Pasal 4 yaitu pada ayat (2) UUD
1945. Pasal 4 ayat (2) UUD 1945 itu menegaskan, "Dalam melakukan
kewajibannya, Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden";
4) Menteri
dan Kementerian Negara yang diatur tersendiri dalam Bab V UUD 1945, yaitu pada
Pasal17 ayat(1), (2), dan (3);
5) Menteri
Luar Negeri sebagai menteri triumpirat yang dimaksud oleh Pasal 8 ayat
(3) UUD 1945, yaitu bersama-sama dengan Menteri Dalam Negeri dan Menteri
Pertahanan sebagai pelaksana tugas kepresidenan apabila terdapat kekosongan
dalam waktu yang bersamaan dalam jabatan Presiden dan Wakil Presiden;
6) Menteri
Dalam Negeri sebagai triumpirat bersama-sama dengan Menteri Luar Negeri
dan Menteri Pertahanan menurut Pasal 8 ayat (3) UUD 1945;
7) Menteri
Pertahanan yang bersama-sama dengan Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam
Negeri ditentukan sebagai menteri triumpirat menurut Pasal 8 ayat (3)
UUD 1945. Ketiganya perlu disebut secara sendiri-sendiri, karena dapat saja
terjadi konflik atau sengketa kewenangan konstitusional di antara sesama
mereka, atau antara mereka dengan menteri lain atau lembaga negara lainnya;
8) Dewan
Pertimbangan Presiden yang diatur dalam Pasal 16 Bab III tentang Kekuasaan
Pemerintahan Negara yang berbunyi, "Presiden membentuk suatu dewan
pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden,
yang selanjutnya diatur dalam undang-undang";[10]
9) Duta
seperti diatur dalam Pasal13 ayat (1) dan (2);
10) Konsul
seperti yang diatur dalam Pasal13 ayat (1);
11) Pemerintahan
Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat (2), (3), (5), (6) dan
ayat (7) UUD 1945;
12) Gubemur
Kepala Pemerintah Daerah seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945;
13) Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, seperti yang diatur dalam Pasal18 ayat 3 UUD
1945;
14) Pemerintahan
Daerah Kabupaten sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat (2), (3), (5), (6) dan
ayat (7) UUD 1945;
15) Bupati
Kepala Pemerintah Daerah Kabupaten seperti yang diatur dalam Pasal18 ayat (4)
UUD 1945;
16) Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten seperti yang diatur dalam Pasal18 ayat (3)
UUD 1945;
17) Pemerintahan
Daerah Kota sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat (2), (3), (5), (6) dan ayat
(7) UUD 1945;
18) Walikota
Kepala Pemerintah Daerah Kota seperti yang diatur dalam Pasal18 ayat (4) UUD
1945;
19) Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kota seperti yang diatur oleh Pasal 18 ayat (3) UUD
1945;
20) Satuan
Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau istimewa seperti dimaksud oleh
Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, diatur dengan undang-undang. Karena kedudukannya
yang khusus dan diistimewakan, satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus
atau istimewa ini diatur tersendiri oleh UUD 1945. Misalnya, status
Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta, Pemerintahan Daerah Otonomi Khusus
Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua, serta Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota
Jakarta. Ketentuan mengenai kekhususan atau keistimewaannya itu diatur dengan
undang-undang. Oleh karena itu, pemerintahan daerah yang demikian ini perlu
disebut secara tersendiri sebagai lembaga atau organ yang keberadaannya diakui
dan dihormati oleh negara.
21) Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) yang diatur dalam Bab VII UUD 1945 yang berisi Pasal 19
sampai dengan Pasal 22B;
22) Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) yang diatur dalam Bab VIIA yang terdiri atas Pasal 22C
dan Pasal 220;
23) Komisi
Penyelenggaran Pemilu yang diatur dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yang
menentukan bahwa pemilihan umum harus diselenggarakan oleh suatukomisi yang
bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Nama "Komisi Pemilihan Umum"
bukanlah nama yang ditentukan oleh UUD 1945, melainkan olehUndang-Undang;
24) Bank
sentral yang disebut eksplisit oleh Pasal 230, yaitu "Negara memiliki suatu
bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggungjawab, dan
independensinya diatur dengan undang-undang". Seperti halnya dengan
Komisi Pemilihan Umum, UUD 1945 belum menentukan nama bank sentral yang
dimaksud. Memang benar, nama bank sentral sekarang adalah Bank Indonesia.
Tetapi, nama Bank Indonesia bukan nama yang ditentukan oleh UUD 1945, melainkan
oleh undang-undang berdasarkan kenyataan yang diwarisi dari sejarah di masa
lalu.
25) Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diatur tersendiri dalam Bab VIIIAdengan judul
"Badan Pemeriksa Keuangan", dan terdiri atas 3 pasal, yaitu Pasal 23E
(3 ayat), Pasal 23F (2 ayat), dan Pasal 23G (2 ayat);
26) Mahkamah
Agung (MA) yang keberadaannya diatur dalam Bab IX, Pasal 24 dan Pasal 24A UUD
1945;
27) Mahkamah
Konstitusi (MK) yang juga diatur keberadaannya dalam Bab IX, Pasal 24 dan Pasal
24C UUD 1945;
28) Komisi
Yudisial yang juga diatur dalam Bab IX, Pasal 24B UUD 1945 sebagai auxiliary
organ terhadap Mahkamah Agung yang diatur dalam Pasal 24 dan Pasal 24A UUD
1945;
29) Tentara
Nasional Indonesia (TNI) diatur tersendiri dalam UUD 1945, yaitu dalam Bab XII
tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, pada Pasal 30 UUD 1945;
30) Angkatan
Darat (TNI AD) diatur dalam Pasal 10 UUD 1945;
31) Angkatan
Laut (TNI AL) diatur dalam Pasal 10 UUD 1945;
32) Angkatan
Udara (TNI AU) diatur dalam Pasal 10 UUD 1945;
33) Kepolisian
Negara Republik Indonesia (POLRI) yang juga diatur dalam Bab XII Pasal 30 UUD
1945;
34) Badan-badan
lain yang fungsinya terkait dengan kehakiman.
Dari segi fungsinya, ke-34 lembaga tersebut, ada yang
bersifat utama atau primer, dan ada pula yang bersifat sekunder atau penunjang (auxiliary),
Untuk memahami perbedaan di antara keduanya, lembaga-lembaga negara
tersebut dapat dibedakan dalam tiga ranah (domain) (i) kekuasaan
eksekutif atau pelaksana; (ii) kekuasaan legislatif dan fungsi
pengawasan; (iii) kekuasaan kehakiman atau fungsi yudisial. Sedangkan
dari segi hirarkinya, lembaga-lembaga tersebut dapat dibedakan ke dalam tiga
lapis. Organ lapis pertama dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara. Organ
lapis kedua disebut sebagai lembaga negara saja, sedangkan organ lapis ketiga
merupakan lembaga daerah. Memang benar sekarang tidak ada lagi sebutan lembaga
tinggi dan lembaga tertinggi negara. Namun, untuk memudahkan pengertian,
organ-organ konstitusi pada lapis pertama dapat disebut sebagai lembaga tinggi
negara. Tetapi selain lembaga-lembaga tersebut, ada juga lembaga-lembaga baru
yang independen.
Di negara-negara demokrasi yang telah mapan, seperti
Amerika Serikat dan Perancis, pada tiga dasawarsa terakhir abad ke-20 banyak
bertumbuhan lembaga-lembaga negara baru. Lembaga tersebut biasa disebut state auxiliary organ, atau state auxiliary bodies sebagai lembaga
negara penunjang. Di antara lembaga-lembaga itu kadang ada yang bersifat self regulator agencies, Independent supervisor bodies, atau
lembaga-lembaga yang menjalakan fungsi campuran
antara fungsi regulatif, administratif, dan fungsi penghukuman yang
biasanya dipisahkan tetapi justru dilakukan secara bersamaan oleh
lembaga-lembaga baru tersebut.[11]
Dewasa ini, di Amerika Serikat,
lembaga-lembaga independen yang serupa itu di tingkat federal dengan fungsi
yang bersifat regulatif dan pengawasan atau pemantauan (Monitoring) lebih dari 30-an
banyaknya. Misalnya, di Amerika Serikat dikenal adanya Federal Trade Commision (FTC) dan Federal Communication Commision (FCC)[12]
Lembaga-lembaga tersebut ada yang bersifat
independen dan ada pula yang semi atau quasi independen, sebagian di antara para ahli tetap
mengelompokkan independent agencies semacam ini dalam domain atau ranah
kekuasaan eksekutif. Akan tetapi, ada pula sarjana yang mengelompokkannya
secara tersendiri sebagai the fourth branch of the government.
Seperti yang dikatakan oleh Yves Meny dan Andrew Knapp (1998) [13]
bahwa lembaga regulator dan monitor merupakan jenis administrasi mandiri
yang berkembang secara luas di Amerika (yang kemudian disebut sebagai
cabang keempat dari cabang kekuasaan negara) di Amerika umumnya dikenal sebagai
Komisi Regulasi Independen (Independent Regulatory Commisions). Dari
segi tipe Knapp (1998), secara sederhana juga dapat dibedakan adanya three
main types of specialized administration, yaitu : 1) regulatory and
monitoring bodies, 2) those responsible for the management of publik
service, and 3) those engaged in productive activities.[14]
Badan-badan
atau lembaga-lembaga independen yang menjalankan fungsi regulasi dan pemantauan
biasanya berada di tingkat federal atau pusat (nasional).
Sebagai
contoh di Amerika Serikat, dimana lembaga ini disebut sebagai the headless
fourth
branch of the government. Di
Italia, jumlahnya sekitar 40.000 buah lembaga yang biasa disebut enti
pubblici. Sedangkan di Inggris, yang jumlahnya sekitar lebih
dari 500
buah lembaga, biasa disebut quasi autonomus non governmental Organization
atau yang
disingkat quango`s. Namun, di hampir semua negara demokrasi yang
mempunyai
cukup banyak lembaga semacam ini biasa disebut atau dengan bentuk
organisasinya
adalah komisi, komite, dewan atau dengan sebutan lain yang
menjalankan
fungsi sebagai pengelola pelayanan umum (management of public
services).
Corak dan struktur organisasi di Indonesia
juga mengalami dinamika perkembangan yang sangat pesat. Setelah masa reformasi
sejak tahun 1998, banyak sekali lembaga-lembaga dan komisi-komisi independen
yang dibentuk. Munculnya State Auxiliary Bodies atau dalam istilah
Indonesia
dapat disebut sebagai Lembaga Penunjang,
meningkat drastis dalam kurun waktu, menjelang, dan
pada era reformasi menjadi suatu fenomena yang menarik.
Menjamurnya State Auxiliary Bodies ini disadari sebagai akibat dari
banyaknya urusan
baru pemerintahan atau kenegaraan yang
karakterisitk tugasnya sulit
dilaksanakan oleh perangkat pemerintahan konvensional, baik Kementerian Negara
maupun Lembaga Pemerintah Non Kementerian.
Jimly Asshiddiqie sendiri membagi beberapa
kategori lembaga penunjang tersebut antara lain[15]:
a.
Lembaga
Negara dan Komisi Negara yang bersifat Independen berdasarkan konstitusi atau
yang memiliki constitutional importance
lainnya seperti:
1)
Komisi
Yudisial;
2)
Bank
Indonesia sebagai Bank Sentral;
3)
Tentara
Nasional Indonesia;
4)
Kepolisian
Republik Indonesia;
5)
Komisi
Pemilihan Umum;
6)
Kejaksaan
Agung yang meskipun belum ditentukan kewenangannya dalam UUD 1945 melainkan
hanya dalam UU, tetapi dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat penegak hukum
di bidang pro justisia, juga memiliki constitutional
importance yang sama dengan kepolisian;
7)
Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) juga dibentuk berdasarkan UU tetapi memiliki sifat
constitutional importance berdasarkan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945;
8)
Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) yang dibentuk berdasarkan undang-undang
tetapi jua memiliki sifat constitutional
importance.
b.
Lembaga-lembaga
Independen lain yang dibentuk berdasarkan undang-undang antara lain seperti:
1)
PPATK,
2)
KPPU,
3)
KPI,
4)
Dewan
Pers,
5)
Badan
SAR Nasional
Dari
pembagian yang dilakukan oleh Jimly Ashiddiqie tersebut, maka jelas kelembagaan
Dewan Pers dan KPI termasuk State
Auxiliary Agency/Bodies atau Lembaga Penunjang bukan lembaga utama.
2.2
Fungsi
dan Eksistensi Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam Melindungi
Kemerdekaan Pers
2.2.1
Dewan
Pers
Secara yuridis Dewan Pers pertama
kali dibentuk tahun 1968 berdasar UU No. 11 Tahun 1966 tentang pokok pers yang
ditandatangani presiden Soekarno. Dewan Pers kala itu berfungsi mendampingi
pemerintah membina pertumbuhan dan perkembangan pers nasional (pasal 6 ayat (1)
UU No. 11/1966). Ketua dewan pers secara ex-officio dijabat menteri
penerangan.[16]
Keadaan seperti itu berlangsung selama Pemerintahan orde baru. Dimana menteri
penerangan tetap merangkap Ketua Dewan Pers. Setelah UU No. 11 tahun 1966
diganti UU No. 21 tahun 1982 terjadi perubahan tetapi tidak mengubah kedudukan
dan fungsi dewan pers, perubahan yang terjadi adalah dengan menyebut
keterwakilan berbagai unsur dalam keanggotaan Dewan Pers, yaitu terdiri atas
wakil organisasi pers, wakil pemerintah, dan wakil masyarakat (Pasal 6 ayat (2)
UU No. 21 Tahun 1982). Sedangkan UU sebelumnya hanya menjelaskan “Anggota Dewan
Pers terdiri dari wakil-wakil organisasi pers dan ahli-ahli dalam bidang pers”.[17] Perubahan
fundamental terjadi tahun 1999. Melalui UU No. 40 tahun 1999 disahkan 23
September 1999 dan ditandatangani Presiden Bacharudin Jusuf Habibie, dimana
dalam pasal 15 ayat (1) menyatakan: “Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers
dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk dewan pers yang independen”.
Tidak ada lagi campur tangan pemerintah dalam pembentukan Dewan Pers independen.
Anggotanya dipilih secara demokratis, terdiri atas: (a) Wartawan yang dipilih
oleh organisasi wartawan; (b) Pimpinan perusahaan pers dipilih oleh organisasi
perusahaan pers; dan (c) Tokoh masyarakat, ahli bidang pers dan atau
komunikasi, dan bidang lainnya yang dipilih oleh organisasi wartawan dan
organisasi perubahan pers (Pasal 15 ayat 3).[18] Anggota
Dewan Pers independen yang pertama , periode 2000-2003, disahkan Presiden Abdul
Rahman Wahid melalui Kepres No. 96/M tahun 2000. Terdiri atas 9 orang: Goenawan
Mohamad, R.H. Siregar, dan Atang Ruswita dari unsur wartawan; Jacob Oetama,
Surya Paloh, Zainal Abidin Suryokusumo, dan H. Azkarmin Zaini dari unsur
perusahaan pers. Mewakili unsur masyarakat/pakar adalah Atmakusumah
Astraatmadja dan Benjamin Mangkoedilaga (karena menjadi hakim Agung maka
diganti oleh Bachtiar Aly). Melalui rapat dewan pers, 17 mei 2000, Atmakusumah
terpilih menjadi Ketua Dewan Pers periode 2000-2003.[19] Keanggotaan
Dewan Pers periode 2000-2003 ini berakhir pada bulan april 2003, bersama
anggota badan pekerja dewan pers memilih anggota dewan pers periode 2003-2006.
Melalui sidang pleno 14 April 2003 terpilih sembilan anggota yang disahkan
melalui kepres No. 143/M Tahun 2003 yang ditandatangani Presiden Megawati
Sukarnoputri 13 Agustus 2003. Kesembilan anggota Dewan Pers tersebut adalah
Ichlasul Amal, Sulastomo dan Hinca I.P. Panjaitan dari unsur masyarakat atau
pakar. R.H. Siregar, Santoso, Uni Zulfiani Lubis dan Sutomo Prastho dari unsur
wartawan. Untuk unsur pimpinan perusahaan media diwakili Amir Effendi Siregar
dan Sabam Leo Batubara. Dimana Ichlasul Amal terpilih sebagai ketua Dewan Pers
periode 2003-2006, dibantu R.H. Siregar sebagai wakil ketua[20].
Kemudian pada periode 2006-2009 Ichlasul Amal terpilih kembali menjadi ketua
dewan pers namun karena terlambatnya keputusan presiden untuk menetapkan
anggota dewan pers menyebabkan perubahan periode keanggotaan menjadi 2007-2010.
Hingga pada akhir 2009 dilakukan
pemilihan anggota dewan pers periode 2010-2013. Dari proses tersebut terpililah
Agus Sudibyo, Bagir Manan, dan Wina Armada Sukardi sebagai anggota dewan pers
dari unsur masyarakat. Anak Bagus Gde Satria Naradha, Muhammad Ridlo ‟Eisy, dan
zulfiani Lubis dari Unsur perusahaan pers. Bambang Hari Murti, Bekti Nugroho,
dan Margiono mewakili unsur wartawan. Mereka ditempatkan melalui keputusan
presiden RI Nomor 13/M tahun 2010 tanggal 29 Januari 2010. Dan selanjutnya
Bagir Manan dan Bambang Harymurti terpilih sebagai ketua dan wakil ketua.[21]
Dewan Pers adalah sebuah lembaga independen di
Indonesia yang berfungsi untuk mengembangkan dan melindungi kehidupan pers di
Indonesia. Dewan Pers sudah berdiri sejak tahun 1966 melalui Undang-undang No.
11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan pokok pers, tetapi pada saat itu
Dewan Pers berfungsi sebagai penasehat Pemerintah dan memiliki hubungan secara
struktural dengan Departemen Penerangan. Seiring berjalannya waktu Dewan Pers
terus berkembang dan akhirnya memiliki dasar hukum terbaru yaitu Undang-Undang
No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sejak saat itu, Dewan Pers menjadi sebuah
lembaga independen. Pembentukan Dewan Pers juga dimaksudkan untuk memenuhi Hak
Asasi Manusia (HAM), karena kemerdekaan pers termasuk sebagai bagian dari HAM.
Dewan Pers memiliki wewenang untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik. Sebagai
lembaga independen, Dewan Pers tidak memiliki perwakilan dari Pemerintah pada
jajaran anggotanya.[22]
Menurut Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Pers, Dewan
Pers berfungsi sebagai berikut:40
a) Melindungi
kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain;
b) Melakukan
pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers;
c) Menetapkan
dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik;
d) Memberikan
pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas
kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers;
e) Mengembangkan
komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah;
f)
Memfasilitasi organisasi-organisasi
pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan
kualitas profesi kewartawanan;
g) Mendata
perusahaan pers.
Dewan
Pers bersifat mandiri dan tidak ada lagi bagian pemerintah di dalam struktur pengurusannya.
Otoritas Dewan Pers terletak pada keinginan redaksi serta perusahaan media pers
untuk menghargai pendapat Dewan Pers serta mematuhi kode etik jurnalistik juga
mengakui segala kesalahan secara terbuka. Salah satu fungsi yang menjadi dasar
bagi Dewan Pers dalam menjalankan fungsi menyelesaikan sengketa, termasuk
mediasi bersumber pada pasal 15 ayat (2) huruf d UU No. 40 Tahun 1999 yang
menyatakan:
“Memberikan
pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas
kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers”.
Dari fungsi yang
dirumuskan di atas, secara empiris Dewan Pers telah menjadi mediator dalam
sengketa antara pers sebagai pemberita dengan pihak yang merasa dirugikan
akibat pemberitaan pers. Sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari fungsi tersebut,
dalam struktur keorganisasian Dewan Pers dibentuk Komisi Pengaduan Masyarakat
dan Penegakan Etika Pers. Mediasi yang diperankan oleh dewan pers merupakan
mediasi di luar proses pengadilan, dan bersifat sukarela atau fungsi mediasi
jika yang memberitakan dan pihak yang merasa dirugikan akibat diberitakan
meminta atau menyetujui Dewan Pers menjalankan fungsinya.[23]
Sebagai
tindak lanjut dari pelaksanaan fungsi menyelesaikan sengketa, dewan pers
mengeluarkan peraturan dewan pers No.1/Peraturan-DP/I/2008 tentang prosedur
pengaduan ke dewan pers ketentuan dalam peraturan dewan pers yang berkaitan
dengan fungsi mediasi tercantum dalam pasal 7 ayat (1) yang mengatakan:
“Dewan Pers
mengupayakan penyelesaian melalui musyawarah untuk mufakat yang dituangkan
dalam pernyataan perdamaian”.
Sekalipun tidak
tercantum kata “mediasi”, secara konseptual kata-kata dalam pasal tersebut
mencerminkan peran atau fungsi mediasi yang dijalankan oleh dewan pers.[24]
2.2.2
Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI)
Undang-undang
Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 merupakan dasar utama bagi pembentukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Semangatnya adalah pengelolaan sistem penyiaran yang
merupakan ranah publik harus
dikelola
oleh sebuah badan independen yang bebas dari campur tangan pemodal maupun kepentingan kekuasaan.
Berbeda dengan semangat dalam
Undang-undang
penyiaran sebelumnya, yaitu Undang-undang No.24 Tahun 1997 yang berbunyi “ Penyiaran dikuasai
oleh negara yang pembinaan dan
pengendaliannya
dilakukan oleh pemerintah”, menunjukkan bahwa penyiaran pada masa itu merupakan bagian dari
instrumen kekuasaan yang digunakan
untuk
semata-mata bagi kepentingan pemerintah. Proses demokratisasi di Indonesia menempatkan publik sebagai
pemilik dan pengendali utama ranah penyiaran.
Karena frekuensi adalah milik publik
dan
sifatnya terbatas, maka penggunaannya harus sebesar-besarnya bagi kepentingan publik. Sebesar-besarnya
bagi kepentingan publik artinya adalah media penyiaran harus menjalankan fungsi pelayanan informasi
publik yang sehat. Informasi terdiri dari
bermacam-macam bentuk, mulai dari berita, hiburan, ilmu pengetahuan, dan lain-lain.
Dasar dari
fungsi pelayanan informasi yang sehat adalah seperti
yang tertuang dalam Undang-undang
Penyiaran
Nomor 32 Tahun 2002 yaitu Diversity of Content (prinsip keberagaman isi) dan Diversity
of Ownwership (prinsip
keberagamankepemilikan). Kedua prinsip tersebut menjadi landasan bagi setiap
kebijakan yang dirumuskan KPI. Pelayanan yang sehat berdasarkan Diversity
of Content
adalah tersedianya informasi yang beragam bagi publik baik berdasarkan jenis
program maupun isi program. Sedangkan Diversity
of Ownership adalah
jaminan bahwa kepemilikan media massa yang ada di Indonesia tidak terpusat dan
dimonopoli oleh segelintir orang atau lembaga saja, dan menjamin iklim
persaingan yang sehat antara pengelola media massa dalam dunia penyiaran di
Indonesia.[25]
Apabila
ditelaah secara mendalam, Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran
lahir dengan dua semangat utama, pertama pengelolaan sistem penyiaran harus
bebas dari berbagai kepentingan karena penyiaran merupakan ranah publik dan
digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik. Kedua adalah semangat untuk
menguatkan entitas lokal dalam semangat otonomi daerah dengan pemberlakuan
sistem siaran berjaringan.
Maka sejak
disahkannya UU No 32 Tahun 2002 terjadi perubahan fundamental dalam pengelolaan
sistem penyiaran di Indonesia. Perubahan paling mendasar dalam semangat UU
tersebut adalah adanya limited transfer of authority
dari
pengelolaan penyiaran yang selam ini merupakan hak eksklusif pemerintah kepada
sebuah badan pengatur independen (Independent
regulator body)
bernama
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Independen dimaksudkan untuk mempertegas
bahwa pengelolaan sistem penyiaran yang merupakan ranah publik harus dikelola
oleh sebuah badan yang bebas dari intervensi modal maupun kepentingan
kekuasaan. Belajar dari pengalaman masa lalu dimana pengelolaan sistem
penyiaran masih berada di tangan pemerintah (pada waktu rezim orde baru),
sistem penyiaran sebagai alat strategis tidak luput dari kooptasi negara yang
dominan dan digunakan untuk melanggengkan kepentingan kekuasaan. Sistem
penyiaran pada waktu itu tidak hanya digunakan untuk mendukung hegemoni rejim
terhadap publik dalam penguasaan wacana strategis, tapi juga digunakan untuk
mengambil keuntungan dalam kolaborasi antara segelintir elit penguasa dan
pengusaha.
Terjemahan
semangat yang kedua dalam pelaksanaan sistem siaran berjaringan adalah, setiap
lembaga penyiaran yang ingin menyelenggarakan siarannya di suatu daerah harus
memiliki stasiun lokal atau berjaringan dengan lembaga penyiaran lokal yang ada
di daerah tersebut. Hal ini untuk menjamin tidak terjadinya sentralisasi dan
monopoli informasi seperti yang terjadi sekarang. Selain itu, pemberlakuan
sistem siaran berjaringan juga dimaksudkan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi
daerah dan menjamin hak sosial budaya masyarakat lokal.[26]
Selama ini
sentralisasi lembaga penyiaran berakibat pada diabaikannya hak sosial-budaya
masyarakat lokal dan minoritas. Padahal masyarakat lokal juga berhak untuk
memperoleh informasi yang sesuai dengan kebutuhan politik, sosial dan
budayanya. Di samping itu keberadaan lembaga penyiaran sentralistis yang telah
mapan dan berskala nasional semakin menghimpit keberadaan lembaga-lembaga
penyiaran lokal untuk dapat mengembangkan potensinya secara lebih maksimal.
Undang-undang No.32 Tahun 2002 dalam semangatnya melindungi hak masyarakat
secara lebih merata.
Lembaga
penyiaran adalah penyelenggaraan penyiaran, baik lembaga penyiaran publik,
lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran komunitas maupun lembaga penyiaran
berlangganan yang dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan tanggung jawabnya
berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Komisi Penyiaran
Indonesia adalah lembaga Negara yang bersifat independen yang ada di pusat dan
di daerah yang tugas dan wewenangnya diatur dalam Undang-undang ini sebagai
wujud peran serta masyarakat di bidang penyiaran.[27]
Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI), yang lahir atas amanat Undang-undang Nomor 32 Tahun
2002, terdiri atas KPI Pusat dan KPI Daerah (tingkat provinsi). Anggota KPI
Pusat (9 orang) dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan KPI Daerah (7 orang)
dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Selain itu, anggaran program kerja
KPI Pusat dibiayai oleh APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) dan KPI
Daerah dibiayai oleh APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah). Dalam
pelaksanaan tugasnya, KPI dibantu oleh sekretariat tingkat eselon II yang
stafnya terdiri dari staf pegawai negeri sipil serta staf profesional non PNS.
KPI merupakan wujud peran serta masyarakat berfungsi mewadahi aspirasi serta
mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran harus mengembangkan
program-program kerja hingga akhir kerja dengan selalu memperhatikan tujuan
yang diamanatkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2002 Pasal 3:
"Penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk
memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang
beriman dan bertaqwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan
umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil, dan
sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia.”
Untuk mencapai tujuan tersebut
organisasi KPI dibagi menjadi tiga bidang,
yaitu bidang kelembagaan, struktur penyiaran dan pengawasan isi siaran. Bidang kelembagaan menangani
persoalan hubungan antar kelembagaan
KPI, koordinasi KPID serta pengembangan kelembagaan KPI. Bidang struktur penyiaran bertugas menangani perizinan, industri
dan bisnis penyiaran. Sedangkan bidang
pengawasan isi siaran menangani pemantauan
isi siaran, pengaduan masyarakat, advokasi dan literasi media.
Visi Komisi Penyiaran Indonesia: Terwujudnya sistem penyiaran nasional
yang berkeadilan dan bermartabat untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan
masyarakat. Sementara Misi Komisi Penyiaran Indonesia: Membangun dan memelihara tatanan
informasi nasional yang adil, merata dan seimbang. Membantu mewujudkan
infrastruktur bidang penyiaran yang tertib dan teratur, serta arus informasi
yang harmonis antara pusat dan daerah, antarwilayah Indonesia, juga antara
Indonesia dan dunia internasional. Membangun iklim persaingan usaha di bidang
penyiaran yang sehat dan bermartabat. Mewujudkan program siaran yang sehat,
cerdas, dan berkualitas untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral,
kemajuan bangsa, persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai dan
budaya Indonesia. Menetapkan perencanaan dan pengaturan serta pengembangan SDM
yang menjamin profesionalitas penyiaran.[28]
Wewenang,
Tugas, dan Kewajiban KPI, KPI
melakukan peran-perannya sebagai wujud peran serta masyarakat yang berfungsi
mewadahi inspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran. Dalam
menjalankan fungsinya, KPI juga mempunyai beberapa wewenang yaitu:
a.
Menetapkan standar program penyiaran
b.
Menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran
c.
Mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku
penyiaran serta standar program siaran
d.
Memberi sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman
perilaku penyiaran serta standar program siaran
e.
Melakukan koordinasi dan kerjasama dengan pemerintah,
lembaga penyiaran dan masyarakat.
KPI mempunyai tugas yaitu:
a.
Menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak
dan benar sesuai dengan hak asasi manusia,
b.
Ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran,
c.
Ikut membangun iklim persaingan yang sehat antarlembaga
penyiaran dan industri terkait,
d.
Memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan
seimbang,
e.
Menampung, meneliti dan menindaklanjuti aduan, sanggahan, serta
kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaran penyiaran,
f.
Menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin
profesionalitas di bidang penyiaran.
Undang-undang No.32 tahun 2002 tentang
penyiaran dan P3SPS menjadi rujukan untuk melihat kualitas penyelenggaraan di
Indonesia. Dalam arti, kualitas tersebut apakah penyelenggaraan sesuai dengan ketentuan-ketentuan
yang ada dan tercantum di dalamnya. KPI juga memiliki kewajiban sebagai
berikut:
a.
KPI wajib mengawasi pelaksanaan pedoman perilaku penyiaran,
b.
KPI wajib menerima aduan dari setiap orang atau kelompok
yang mengetahui adanya pelanggaran terhadap pedoman perilaku penyiaran,
c.
KPI wajib
menindaklanjuti aduan resmi mengenai hal-hal yang bersifat mendasar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf e,
d.
KPI wajib meneruskan aduan kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan
dan memberikan kesempatan hak jawab,
e.
KPI wajib menyampaikan secara tertulis hasil evaluasi dan
penilaian kepada pihak yang mengajukan aduan dan Lembaga Penyiaran yang terkait.
Adapun Kedudukan, Tugas, dan Fungsi
Sekretariat Komisi Penyiaran Indonesia, juga diatur dalam Pasal 17 Peraturan
Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 01 Tahun 2007 tentang Kelembagaan Komisi Penyiaran
Indonesia. Dalam pasal itu disebutkan bahwa:
1)
Sekretariat KPI merupakan bagian perangkat kelembagaan
pemerintah baik di pusat maupun di daerah.
2)
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, KPI dibantu oleh
sekretariat yang dipimpin oleh seorang sekretaris yang dibiayai oleh APBN untuk KPI Pusat dan APBD untuk KPI Daerah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3)
Struktur organisasi sekretariat KPI yang diatur dalam
Peraturan KPI ditetapkan melalui Keputusan Menteri untuk KPI Pusat dan
Peraturan Gubernur dan atau Peraturan Daerah untuk KPI Daerah.
Dalam
pasal 18 disebutkan pula bahwa:
1)
Sekretaris KPI Pusat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
adalah pejabat yang diusulkan oleh KPI Pusat dan ditetapkan oleh Menteri.
2)
Sekretaris KPI Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
adalah pejabat yang diusulkan oleh KPI Daerah dan ditetapkan oleh Gubernur.
3)
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Sekretaris
bertanggung jawab kepada Ketua KPI dan mematuhi setiap keputusan pleno.
4)
Pejabat Sekretariat KPI Pusat/KPI Daerah adalah pejabat
struktural disesuaikan dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Aturan-aturan dalam Tubuh KPI: Penyiaran sebagai kegiatan komunikasi
massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat,
control dan perekat social. Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), penyiaran juga mempunyai fungsi ekonomi dan kebudayaan. Maka dari itu
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga penyiaran memiliki
aturan-aturan tertentu yang telah ditetapkan contohnya saja dalam hal perizinan
penayangan suatu tayangan. KPI akan memberikan izin siaran apabila:
a.
Izin penyelenggaraan penyiaran diberikan sebagai berikut:
1)
Izin penyelenggaraan penyiaran radio diberikan untuk jangka
waktu 5 (lima) tahun
2)
Izin penyelenggaraan penyiaran televisi diberikan untuk
jangka waktu 10 (sepuluh) tahun.
b.
Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan huruf b
masing-masing dapat diperpanjang.
c.
Sebelum memperoleh izin tetap penyelenggaraan penyiaran,
lembaga radio wajib melalui masa uji coba siaran paling lama 6 (enam) bulan dan
untuk lembaga penyiaran televisi wajib melalui masa uji coba siaran paling lama
1 (satu) tahun.
d.
Izin penyelenggaraan penyiaran dilarang dipindahtangankan
kepada pihak lain,
e.
Izin penyelenggaraan penyiaran dicabut karena:
1)
Tidak lulus masa uji coba siaran yang telah ditetapkan
2)
Melanggar penggunaan spektrum frekuensi radio dan/atau
wilayah jangkauan siaran yang ditetapkan
3)
Tidak melakukan kegiatan siaran lebih dari 3 (tiga) bulan
tanpa pemberitahuan KPI
4)
Dipindahtangankan kepada pihak lain
5)
Melanggar ketentuan rencana dasar teknik penyiaran dan persyaratan
teknis perangkat penyiaran,atau
6)
Melanggar ketentuan mengenai standar program siaran setelah adanya
putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap,
7)
Izin penyelenggaraan penyiaran dinyatakan berakhir karena
habis masa izin dan tidak diperpanjang kembali.
Selain itu Komisi Penyiaran Indonesia
juga menetapkan pedoman perilaku penyiaran yang harus ditaati oleh para stasiun
televisi ataupun rumah produksi, antara lain:
a.
Pedoman perilaku penyiaran bagi penyelenggara stasiun
ditetapkan oleh KPI
b.
Pedoman perilaku penyiaran sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) disusun dan bersumber pada:
1)
Nilai-nilai agama, moral dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku,
2)
Norma-norma lain yang berlaku dan diterima oleh masyarakat umum
dan lembaga penyiaran.
c.
KPI wajib menerbitkan dan mensosialisasikan pedoman perilaku
penyiaran kepada lembaga penyiaran dan masyarakat umum,
d.
Pedoman perilaku penyiaran menentukan standar isi siaran
yang sekurang-kurangnya berkaitan dengan:
1)
Rasa hormat terhadap pandangan keagamaan
2)
Rasa hormat terhadap hal pribadi
3)
Kesopanan dan kesusilaan
4)
Pembatasan adegan seks,kekerasan, dan sadisme
5)
Perlindungan terhadap anak-anak, remaja, dan perempuan
6)
Penggolongan program dilakukan menurut usia khalayak
7)
Penyiaran program dalam bahasa asing
8)
Ketetapan dan kenetralan program berita
9)
Siaran langsung dan,
10) Siaran iklan
e.
KPI memfasilitasi pembentukan kode etik penyiaran Bagi
televisi yang melanggar aturan yang telah ditentukan oleh KPI akan mendapatkan
sanksi administratif oleh KPI yaitu:
1)
Teguran tertulis
2)
Penghentian sementara mata acara yang bermasalah setelah
melalui tahap tertentu
3)
Pembatasan durasi dan waktu siaran
4)
Denda administratif
5)
Pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu
6)
Tidak diberi perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran
7)
Pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran
Struktur Organisasi Pengurus KPI
KPI
Pusat periode kedua ini ditetapkan melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 20/P Tahun 2007 tertanggal 31
Maret 2007, dan KPI Pusat efektif
bekerja awal Juni 2007. Sedangkan penetapan
Ketua dan Wakil Ketua KPI Pusat dilaksanakan pada 16 April 2007 dengan menetapkan struktur keanggotaan
sebagaimana tersebut.
Komisioner
Periode 2007-2010: Ketua : Prof. Sasa Djuarsa Sendjaja,
PhD, Wakil Ketua : Fetty Fajriati
Miftach, MA, Bidang Kelembagaan :
Dr.S. Sinansari Ecip, Mochamad Riyanto,M.Si,
Bidang Pengawasan : Yazirwan Uyun, Isi
Siaran : Sasa Djuarsa Sendjaja, Fetty Fjriati Miftach, Bidang Perizinan : Izzul Muslimin,SIP, Dr. Amar Achmad,M.Si dan Bimo Nugroho, Sekundatmo,M.Si
Komisioner
Periode 2010-2013:
Ketua : Dadang Rahmat Hidayat Wakil
Ketua : Nina Mutmainnah Anggota :
Ezki Tri Rezeki Widianti, Mochamad Riyanto, Azimah, Idy Muzayyad, Iswandi
Syahputra, Judhariksawan dan Yazirwan Uyun.
Komisioner
Periode 2013-2016: Ketua : Judhariksawan Wakil Ketua : Idy Muzayad Anggota :Bekti Nugroho, Fajar
Arifianto, Azimah Subagijo, Amiruddin, Danang Sangga Buwana, Rahmat Arifin,
Agatha Lily.
Dalam
menjalankan tugasnya-tugasnya, KPI Pusat dibantu oleh tenaga ahli sebagaimana amanat UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran pasal 9 ayat 4: “KPI dibantu
oleh sebuah sekretariat yang dibiayai
oleh APBN.” Dan ayat 5: “Dalam melaksanakan tugasnya, KPI dapat dibantu oleh tenaga ahli sesuai dengan kebutuhan.
Program
Kerja KPI: Penyusunan dan
sosialisasi peraturan perundang-undangan berupa peraturan kelembagaan KPI dan P3SPS. KPI telah mengeluarkan Peraturan KPI nomor 01 Tahun 2007 tentang Kelembagaan Komisi Penyiaran
Indonesia yang mengatur keanggotaan,
struktur kelembagaan, kesekretariatan, rapat kelembagaan, tata hubungan KPI Pusat dan KPID, Kerjasama, Honorarium dan Tunjangan. Pada 2009,
peraturan tersebut digantikan oleh
Peraturan KPI nomor 01 Tahun 2009 sebagai output dari hasil Sidang Tim Penyusunan dan Penyempurnaan Peraturan KPI Bidang Kelembagaan yang pernah diadakan di
Bogor, 2-4 JuIi 2009. Peraturan tersebut
direvisi untuk lebih memperjelas eksistensi lembaga negara yang bersifat independen ini.
Penyusunan
Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) adalah produk KPI yang mengandung ketentuan-ketentuan mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dalam proses pembuatan
program siaran. Penyusunan Standar
Program Siaran (SPS) adalah produk KPI yang mengandung ketentuan-ketentuan mengenai apa yang boleh dan tidak boleh tersaji dalam isi siaran. P3 dan SPS yang
berlaku saat ini adalah Peraturan Komisi
Penyiaran Indonesia Nomor 02 Tahun 2009 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran; Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 03 Tahun 2009 tentang Standar Program
Siaran. Dalam peraturan terbaru ini, aturan-aturan mengenai Pedoman
Perilaku Penyiaran dan Standar Program
Siaran dijelaskan secara lebih rinci.
2.2.3
Fungsi
Dewan Pers dan KPI yang Bersinggungan
dalam Melindungi Kemerdekaan Pers
Sebelumnya sudah dibahas mengenai fungsi masing-masing
dari kedua lembaga tersebut, tetapi dalam hal ini yang akan coba dibahas
mengenai singgung fungsi dari kedua lembaga tersebut, seperti uraian sebelumnya
bahwa Dewan Pers memiliki fungsi untuk melindungi kebebasan pers di Indonesia
di media apapun, baik media cetak, media Online, ataupun penyiaran, sementara
Komisi Penyiaran Indonesia memiliki fungsi mengatur dan mengawasi konten
lembaga penyiaran baik televisi maupun radio yang menyiarkan konten berita,
hiburan dan lainnya.
Dari hal tersebut maka persinggungan fungsi kedua lembaga
tersebut terjadi ketika menyikapi masalah pemberitaan atau kegiatan jurnalistik
yang menggunakan media penyiaran (televisi atau radio), untuk media cetak dan
media online sudah jelas hal tersebut murni merupakan kewenangan Dewan Pers,
tetapi untuk Media Penyiaran menjadi bersinggungan karena media penyiaran ini
memiliki karakteristik yang khusus, media penyiaran (Televisi
atau Radio) menggunakan domain publik yang terbatas jumlahnya yakni frekuensi,
sementara media cetak dan media online tidak. Siaran media elektronik itu
masuik ke rumah tanpa diundang, berbeda dengan media cetak yang bisa kita beli
atau sengaja dibawa.
Kemudian lembaga penyiaran ini memerlukan izin penyiaran sedangkan
penerbitan pers tidak. Lembaga penyiaran diatur oleh higly state regulated, media cetak berdasarkan self regulating.
Lembaga penyiaran yang tidak netral dan memihak golongan tertentu melanggar UU
Penyiaran, dapat dibredel dan bahkan izin penyiarannya akan dicabut. Sedangkan
media cetak yang tidak netral dan tidak independen hanya melanggar standar
keprofesionalan. Sehingga dalam hal ini Dewan Pers tidak dapat melindungi
kemerdekaaan pers dengan penuh di media penyiaran karena menggunakan frekuensi
yang merupakan publik domain maka media penyiaran yang memuat konten berita
atau kegiatan jurnalistik harus mengikuti ketentuan dari Dewan Pers dan juga
Komisi Penyiaran Indonesia
Kasus yang
menjadi pertentangan antara KPI dan Dewan Pers adalah adanya sanksi dari KPI kepada Metro
TV berupa penghentian
sementara tayangan "Headline News" pukul 05.00 WIB selama 7 hari
berturut-turut kemudian meminta maaf kepada publik secara verbal selama 3 hari
berturut-turut pada Headline News pukul 07.00 WIB, pukul 13.00 WIB, dan pukul
19.00 WIB selama 7 hari.[29]
Metro TV diberi
sanksi karena saat menyampaikan Headline News pada 14 Juni 2010, pukul 05.00
WIB, mengenai razia warnet di Trenggalek, Jawa Timur, ditayangkan pula adegan
cabul secara vulgar (tanpa di-blur) selama 5 detik. Metro TV menerima sanksi dengan lapang
dada, tapi tidak demikian dengan sejumlah anggota Dewan Pers dan pengurus Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI).[30]
Mereka memprotes keras dengan mengeluarkan "Manifesto Kebebasan
Pers", yang berisi kecaman terhadap tindakan KPI karena dianggap telah
bertindak melampaui kewenangan dan menghidupkan tradisi bredel seperti pada era
Orde Baru. Di antara anggota Dewan Pers bahkan ada yang menilai hasil RDP
Komisi I dengan KPI dan Dewan Pers tidak sah. Anggota Dewan Pers yang hadir
dalam RDP dianggap mewakili pribadi, bukan mewakili Dewan Pers secara
kelembagaan.
Terkait Manifesto Kemerdekaan Pers
yang dikeluarkan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), sejumlah tokoh pers dan
praktisi televisi serta pengamat media beberapa waktu silam, KPI melihatnya
sebagai hal yang normal di dalam demokrasi. Namun, meski memaklumi, KPI melihat
sebagian substansi deklarasi tersebut tidak benar dan bisa membing ungkan
masyarakat. Seperti diberitakan sebelumnya, dalam deklarasi tersebut, para
pendukung menyatakan bahwa tindakan KPI dinilai sebagai perampasan kemerdekaan pers
dan merupakan embrio mengekang kemerdekaan pers pada masa datang.[31]
Sebagai lembaga yang memiliki
kewenangan menjaga kebebasan pers di Tanah Air, protes Dewan Pers bisa kita
pahami. Membredel sebuah tayangan televisi, meskipun sifatnya sementara, bisa menjadi
pintu masuk bagi pihak-pihak yang merasa berkuasa--terutama pemerintah--untuk
melakukan pembredelan terhadap tayangan-tayangan yang dianggap tidak sesuai
dengan kehendak pemerintah. Pengalaman pahit pada era Orde Baru tidak boleh
terjadi lagi pada era kebebasan pers seperti sekarang.
Kemudian KPI menjawab hal tersebut
bahwa mengenai sanksi penghentian sementara headline news, KPI menegaskan bukan
pembredelan pers serta upaya mengancam kebebasan pers.[32]
Alasannya, pertama, KPI tidak mencabut Izin Penyelenggaraan Siaran MetroTV.
Kedua, KPI tidak menghentikan keseluruhan program “Headline News”, karena
“Headline News” adalah program yang ditayangkan setiap jam sebanyak 24 kali
dalam sehari.[33] Dengan demikian 23/24
program acara tersebut tetap berjalan. Bahkan menurut pengakuan pihak MetroTV,
informasi yang perlu disampaikan dalam waktu jam 5 pagi tetap bisa ditampilkan
dalam program lainnya. Artinya di sini pun tidak ada hak publik atas informasi
(public right to inform) yang tercederai. Ketiga, semua putusan KPI didasarkan
pada tindakan normatif yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku dalam ranah penyiaran yang telah menjadi hukum positif. Keempat, KPI
tetap harus melindungi hak dan kepentingan publik untuk mendapat informasi yang
layak dan benar, di samping publik adalah pemilik sah atas frekuensi yang digunakan oleh semua lembaga
penyiaran. Dalam kasus Metro TV, hak publik telah dilanggar seperti yang
tercantum dalam UU Penyiaran No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, Peraturan
Pemerintah, dan P3-SPS KPI.[34]
Dari permasalahan tersebut akhirnya
pada 22 April 2014, KPI dan Dewan Pers membuat Nota Kesepahaman (MoU) tentang
Penanganan Pelanggaran Isi Siaran Jurnalistik.Salah satu isinya adalah menyusun
gugus tugas yang terdiri dari 3 orang perwakilan KPI dan 3 Orang perwakilan
Dewan Pers, sehingga berkaitan dengan Penanganan Pelanggaran Isi Siaran
Jurnalistik ditangani oleh gugus tugas tersebut.
Selain itu sempat ada usulan mengenai
pembentukan Komisi
Kebebasan Pers dalam rencana amandemen ke-5 konstitusi UUD 1945 sedang
diperjuangkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).[35]
Naskah Usulan Amandemen
Perubahan UUD 1945 dan keterangannya versi DPD mengatur pembentukan Komisi
Kebebasan Pers sebagai komisi negara yang independen, di samping Komisi
Pemilihan Umum, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Yudisial, dan Komnas HAM.
Komisi Kebebasan Pers akan melebur Dewan Pers dan Dewan Pers sehingga
kewenangan kedua lembaga tersebut menjadi reintegrasi ke dalam satu lembaga dan
jika dicantumkan dalam Konstitusi lembaga tersebut menjadi lebih indenden.
2.3
Independensi
Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
Berbicara mengenai independensi sebuah lembaga dapat
dilihat dari beberapa hal di antaranya Aspek dasar hukum pembentukan, Aspek
Pengaturan, Aspek Pengawasan, Aspek pendanaan, Aspek pengisian jabatan.
Pertama jika dilihat dari aspek dasar hukum
pembentukan kedua lembaga negara tersebut, baik Dewan Pers maupun KPI merupakan
amanat dari undang-undang, Dewan Pers merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor
40 tahun 1999 tentang Pers, sementara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
merupakan amanat Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, dari
dasar hukum tersebut kedua lembaga ini dapat dikatakan independen karena untuk
mengubah kewenangan atau membubarkan kedua lembaga tersebut harus melalui
undang-undang yang berarti melibatkan dua lembaga yaitu Presiden (Pemerintah)
dan DPR, memang akan lebih independen lagi jika lembaga itu diamanatkan
Undang-Undang Dasar karena tidak akan mudah diubah oleh DPR dan Presiden,
tetapi harus melalui Amandemen Konstitusi oleh Sidang MPR.
Kedua dilihat dari Aspek Pengaturan, dalam
undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers tidak ada pengaturan oleh
Pemerintah (Presiden) melalui Peraturan Pemerintah sementara Komisi Penyiaran
Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran meskipun
menyatakan bahwa KPI merupakan lembaga yang mengatur lembaga penyiaran tetapi
dalam undang-undang tersebut meskipun memberikan kewenangan kepada KPI untuk
menetapkan Pedoman Perilaku Penyiaran bagi Penyelenggaraan Siaran (P3PS),
tetapi dalam Undang-Undang itu juga mengamanatkan beberapa pengaturan lebih
lanjut untuk lembaga penyiaran tidak didelegasikan langsung kepada KPI, tetapi
kepada KPI bersama Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah[36]
sehingga dalam hal ini independensi KPI menjadi kurang karena tetap harus
bersama-sama dengan pemerintah untuk mengatur lembaga penyiaran tersebut,
berbeda dengan Dewan Pers yang memang diberikan Kewenangan Penuh untuk menyusun
pengaturan mengenai kemerdekaan pers dan kode etik jurnalistik tanpa campur
tangan pemerintah.[37]
Ketiga berbicara aspek pengawasan, jika berbicara
mengenai pengawasan maka yang harus diperhatikan salah satunya adalah mengenai
kewenangan lembaga tersebut dalam memberikan sanksi, dalam Lembaga Penyiaran
yang dapat memberikan sanksi ada 2 lembaga yaitu Komisi Penyiaran Indonesia
(KPI) dan Menteri yang ruang lingkup
tugas dan tanggung jawabnya di bidang Komunikasi dan Informatika.[38]
Dari berbagai jenis sanksi yang ada, yaitu[39]:
a) teguran
tertulis;
b) penghentian
sementara mata acara yang bermasalah setelah melalui tahap tertentu;
c) pembatasan
durasi dan waktu siaran;
d) denda
administratif;
e) pembekuan
kegiatan siaran untuk waktu tertentu;
f) tidak
diberi perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran;
g) pencabutan
izin penyelenggaraan penyiaran.
Komisi
Penyiaran hanya dapat memberikan sanksi dari huruf a sampai e, sementara untuk
f dan g merupakan kewenangan Kominfo. Hal ini karena KPI tidak memiliki
kewenangan untuk menerbitkan izin Lembaga Penyiaran sehingga otomatis tidak
memiliki kewenangan untuk mencabut izin. Sementara Kewenangan Dewan Pers sesuai
dengan ketentuan Pasal 15 ayat 2 huruf b dan c bahwa antara lain kewenangannya
adalah menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik dan memberikan
pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas
kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers, sehingga dalam hal ini
Dewan Pers memiliki kewenangan penuh dalam pengawasan terhadap pelaksanaan kode
etik jurnalistik di lembaga pers tanpa campur tangan pemerintah, sehinga jika
melihat hal tersebut maka dari aspek pengawasan maka Dewan Pers lebih
independen dibanding KPI.
Keempat mengenai sumber dana lembaga, sesuai dengan
ketentuan Pasal 15 ayat 7 Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers,
menyatakan bahwa Sumber pembiayaan Dewan
Pers berasal dari :
a.
organisasi
pers;
b.
perusahaan
pers;
c.
bantuan
dari negara dan bantuan lain yang tidak mengikat.
Sementara
untuk Komisi Penyiaran Indonesia, sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat (6)
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, menyatakan bahwa:
Pendanaan KPI Pusat
berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan pendanaan KPI Daerah
berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Dari
hal tersebut dapat dikatakan bahwa secara pendanaan lebih independen Dewan Pers
karena tidak bergantung kepada APBN/APBD seperti Komisi Penyiaran Indonesia.
Kelima berbicara mengenai pengisian jabatan
lembaga tersebut, sesuai ketentuan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40
tahun 1999 tentang Pers dinyatakan bahwa Anggota
Dewan Pers terdiri dari:
a.
wartawan
yang dipilih oleh organisasi wartawan;
b.
pimpinan
perusahaan pers yang dipilih oleh organisasi perusahaan pers;
c.
tokoh
masyarakat, ahli di bidang pers dan atau komunikasi, dan bidang lainnya yang
dipilih oleh organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers;
kemudian
dalam Pasal 15 ayat (5) UU Pers menyatakan bahwa Keanggotaan Dewan Pers sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal ini
ditetapkan dengan keputusan Presiden.
Sementara
untuk Komisi Penyiaran Indonesia sesuai
ketentuan Pasal 10 ayat (2) dan (3) UU Penyiaran disebutkan bahwa Anggota KPI Pusat dipilih oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan KPI Daerah dipilih oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atas usul masyarakat melalui uji kepatutan
dan kelayakan secara terbuka.
Kemudian
pada ayat (3) disebutkan bahwa
Anggota KPI Pusat secara administratif
ditetapkan oleh Presiden atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
dan anggota KPI Daerah secara administratif ditetapkan oleh Gubernur atas usul
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi.
Dari
kedua hal tersebut dapat dikatakan bahwa meskipun sama-sama ditetapkan oleh
Keputusan Presiden tetapi secara sistem pengisian keanggotannya lebih
independen Dewan Pers dibanding KPI karena tidak melibatkan lembaga lain dalam
hal ini DPR misalnya.
BAB 3
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
1. Dewan
Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia keduanya merupakan lembaga penunjang (State auxiliary Body) independen yang
diamanatkan oleh undang-undang, Dewan Pers diamanatkan Undang-Undang Nomor 40
tahun 1999 tentang Pers sementara Komisi Penyiaran Indonesia diamantkan
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran.
2. Dewan
Pers berfungsi untuk melindungi kebebasan pers sementara Komisi Penyiaran
Indonesia mempunyai fungsi menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang
layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia sehingga perbedaan kedua fungsi
tersebut akan terjadi benturan kewenangan ketika dewan pers ingin melindungi
kebebasan pers dalam media penyiaran dengan ketentuan pengaturan konten dari
Komisi Penyiaran, untuk mengatasi hal tersebut maka dibentuk gugus tugas yang
terdiri dari 3 wakil KPI dan 3 wakil Dewan Pers melalui Nota Kesepahaman antara
Dewan Pers dan KPI khusus untuk pengawasan mengenai isi siaran (teveisi dan
radio) yang bersifat jurnalistik.
3. Dewan
Pers lebih Independen dibanding Komisi Penyiaran Indonesia jika melihat
beberapa aspek berikut:
a. Aspek pengaturan dalam undang-undang nomor 40
tahun 1999 tentang Pers tidak ada pengaturan oleh Pemerintah (Presiden) melalui
Peraturan Pemerintah sementara Komisi Penyiaran Indonesia dalam Undang-Undang
Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran meskipun menyatakan bahwa KPI merupakan
lembaga yang mengatur lembaga penyiaran tetapi dalam undang-undang tersebut
meskipun memberikan kewenangan kepada KPI untuk menetapkan Pedoman Perilaku
Penyiaran bagi Penyelenggaraan Siaran (P3PS), tetapi dalam Undang-Undang itu
juga mengamanatkan beberapa pengaturan lebih lanjut untuk lembaga penyiaran
tidak didelegasikan langsung kepada KPI, tetapi kepada KPI bersama Pemerintah
melalui Peraturan Pemerintah.
b. Aspek
pengawasan, Dewan Pers memiliki kewenangan penuh dalam pengawasan terhadap
pelaksanaan kode etik jurnalistik di lembaga pers tanpa campur tangan
pemerintah,sementara KPI tidak penuh karena harus membagi tugasnya dengan
Kementerian Kominfo.
c. Aspek sumber dana lembaga, secara pendanaan
lebih independen Dewan Pers karena Sumber pembiayaan Dewan Pers berasal tari organisasi pers, perusahaan pers; dan bantuan
dari negara dan bantuan lain yang tidak mengikat sehingga tidak bergantung
kepada APBN/APBD seperti Komisi Penyiaran Indonesia.
d. Aspek
sistem pengisian jabatannya, sistem pengisian keanggotannya lebih independen
Dewan Pers dibanding KPI karena tidak melibatkan lembaga lain dalam hal ini DPR
3.2
Saran
1. Perlu
dibentuk sebuah lembaga yang melebur kewenangan Dewan Pers dan KPI sehingga
tidak ada lagi benturan kewenangan dalam melindungi kebebasan pers dan menjamin
masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar karena berada dalam
satu lembaga.
2. Untuk
menjaga independensi lembaga yang melindungi kebebasan pers, maka lembaga
tersebut perlu diatur dalam UUD 1945 sehingga tidak mudah diubah oleh
Pemerintah dan DPR.
Daftar Pustaka:
Bukum
Firmansyah
Arifin dkk, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar lembaga Negara,
Jakarta : Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), 2005.
Hans
Kelsen, General Theory of Law and State, (New York: Russell &
Russell, 1961)
Jimly
Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
Jakarta: Set MK, 2005.
----------------------,
Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen Dalam Sejarah, UI-Press, Jakarta, 1997
-----------------------,
Bahan Diskusi Seminar Nasional Lembaga-Lembaga Non-Struktural oleh Kantor
MenPAN & RB, Hotel Sultan Jakarta, 1 Maret 2011
Kusmadi.
Dewan Pers Periode 2010-2013. (Jakarta: Dewan Pers, 2012).
Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI) .UU tentang penyiaran No.32 Tahun 2002.(Jakarta:2010),
Konsorsium
Reformasi Hukum Nasional (KRHN), bekerjasama dengan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia (MKRI), Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga
negara, jakarta:2005
Sumantri M. “Lembaga Negara dan State Auxiliary Bodies dalam Sistem Ketatanegaraan
Menurut UUD NRI 1945” dalam Departemen Hukum Tata Negara Universitas Airlangga, Dinamika Perkembangan Hukum Tata Negara dan Hukum Lingkungan,
Airlangga University Press, Surabaya.
Takdir Rahmadi. Mediasi,
Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat. (Jakarta: Rajawali Pers,
2010)
Putusan
Nomor 005/PUU-IV/2000 tentang Judicial
Review terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
Regulasi:
Undang-Undang
Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers
Undang-Undang
nomo 32 tahun 2002 tentang Penyiaran
Nota
Kesepahaman Dewan Pers dan KPI tahun 2004 tentang Penanganan Isi Siaran
Jurnalistik
Website:
[1] Putusan Nomor 005/PUU-IV/2000
tentang Judicial Review terhadap
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
[3]
Jimly Asshiddiqie, Bahan Diskusi Seminar Nasional Lembaga-Lembaga
Non-Struktural oleh Kantor MenPAN & RB, Hotel Sultan Jakarta, 1 Maret 2011
[4] Ibid.
[5]
Firmansyah Arifin dkk, Lembaga Negara dan
Sengketa Kewenangan Antar lembaga Negara, Jakarta : Konsorsium Reformasi
Hukum Nasional (KRHN), 2005, hlm.24.
[6] Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang
No.40 tahun 1999 tentang Pers
[7] Konsorsium Reformasi Hukum
Nasional (KRHN), bekerjasama dengan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
(MKRI), Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga negara, Jakarta, Setjen MK, 2005
[8] Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New
York: Russell & Russell, 1961), hal.192
[9] Ibid..
[10]
Sebelum Perubahan Keempat tahun 2002, ketentuan Pasal 16 ini berisi 2 ayat, dan
ditempatkan dalam Bab IV dengan judul "Dewan Pertimbangan Agung",
Artinya, Dewan Pertimbangan Agung bukan bagian dari "Kekuasaan
Pemerintahan Negara", melainkan sebagai lembaga tinggi negara yang berdiri
sendiri.
[11] Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara
Pasca Reformasi, (Jakarta: Set MK), hlm.8.
[12] Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan
Parlemen Dalam Sejarah, (Jakarta, UI-Press), 1997
[13] Evi Trisulo, Konfigurasi State Auxiliary Bodies dalam Sistem Pemerintahan Indonesia,
(Jakarta, Tesis, 2012), hlm.79.
[14] Ibid..
[15] Jimly Asshiddiqie, Perkembangan... Op.cit. hlm.25-26
[16] Kusmadi. Dewan Pers Periode 2010-2013. (Jakarta:
Dewan Pers, 2012), hlm. 9
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] Ibid. hlm.11.
[21] Ibid.
[23] Takdir Rahmadi. Mediasi,
Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat. (Jakarta: Rajawali Pers,
2010), hlm. 96.
[24] Ibid. hlm.74
[26] Ibid.
[27] Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI) .UU tentang penyiaran No.32 Tahun 2002.(Jakarta:2010),
hlm.7
[28]
Ibid. hlm.9
[32] Siaran Pers Komisi Penyiaran
Indonesia No 05/KPI/07/2010 http://www.kpi.go.id/index.php/siaran-pers-1/2525-kpi-bukan-ancaman-bagi-kemerdekaan-pers
[33]
Ibid.
[34]
Ibid.
[37] Pasal 15
angka 2 huruf b UU 40 tahun 1999 tentang Pers.
[38] PasaL 62 Peraturan Pemerintah No.50 tahun 2005 tentang
Penyelenggaraan Lembaga Penyiaran Swasta
[39] Pasal 55 ayat (2) UU 32 tahun 2002 tentang Penyiaran.