Iklan

Iklan

Iklan

Senin, 29 Maret 2010

“KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH KOTA BANDUNG DALAM MELAKUKAN KONSOLIDASI TANAH MENURUT UU NO.32 TAHUN 2004”

Oleh : Denden Imadudin Soleh,S.H.

I. LATARBELAKANG
 Bumi, air dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, adalah amanat Pasal 33 Ayat (3) Undang Undang Dasar 1945 yang harus dipegang dan dilaksanakan oleh pemerintah dalam hal ini pemerintah daerah dalam mengatur tata ruang perkotaan. Dua pesan kunci yang terkandung dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 adalah negara menguasai berarti mengatur penggunaan, peruntukan dan alokasi lahan melalui perundang-undangan dan kebijakan tertulis lainnya. Dalam menentukan dan mengatur (menetapkan dan membuat peraturan) bagaimana seharusnya hubungan antara orang atau badan hukum dengan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Melalui undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria, atau yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan (UUPA) sebagai landasan yuridis atau dasar hukumnya, untuk menindak lanjuti amanat pasal 33 ayat (3) UUD 1945. dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA “atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekeyaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat

Asas-Asas Pemerintahan Dalam Islam

Oleh : Denden Imadudin Soleh,S.H.

I.   LATARBELAKANG
Dengan adanya kewenangan bagi administrasi negara untuk bertindak secara bebas dalam melaksanakan tugas-tugasnya maka ada kemungkinan bahwa administrasi n egara melakukan perbuatan yang menyimpang dari peraturan yang berlaku sehingga menimbulkan kerugian bagi warga masyarakat. Oleh sebab itu  untuk meningkatkan perlindungan hukum secara lebih baik bagi warga masyarakat maka pada tahun 1950 panitia de Monchy di Nederland telah membuat laporan tentang azas-azas umum pemerintahan yang baik (algemene beginselen van behoorlijk bestaur atau the general principles of good asministration)[1]. Jadi lahirnya istilah azaza-azas umum pemerintahan yang baik ini dapat ditunjuk secara tepat yaitu dari laporan penitia de Monchy. Istilah itu dipakai dalam pekerjaan-pekerjaan atau tulisan-tulisan  Commissie de Monchy (1946-1950) untuk mempertinggi perlindungan hukum terhadap administrabele.[2]

Senin, 15 Maret 2010

Sistem hukum Portugal

Oleh : Denden Imadudin Soleh,.S.H.

I. Pendahuluan

Akibat dari pengaruh globalisasi dunia, dengan perkembangan pergaulan internasional yang pesat dan perkembangan teknologi informasi, maka kebutuhan untuk mengetahui hukum  dari sistem hukum lain di dunia internasional semakin terasa, sehingga akhir-akhir ini perkembangan pengetahuan tentang perbandingan hukum sangat cepat. Negara-negara di dunia mempunyai ketergantungan dan saling membutuhkan hubungan yang sangat erat Perkembangan hukum di masing-masing dalam wilayah yang berbeda sering menyebabkan berbeda pula hukumnya, meskipun diantara negara-negara tersebut mempunyai tradisi hukum yang sama, ,mempelajari sistem hukum dari negara lain diperlukan karena dengan mempelajari sistem hukum dar negara lain dapat diketahui jiwa serta pandangan hidup bangsanya termasuk dengan saling mengetahui hukumnya, sehingga kesalahpahaman dapat diminimalisir. Mempelajari sistem hukum dari negara lain juga mempunyai peranan penting di bidang hukum secara nasional, antara lain dapat membantu dalam rangka pembentukan hukum nasional. juga mempunyai fungsi penting dalam rangka penyempurnaan, pembinaan dan pembentukan hukum nasional.. Seperti yang di ungkapkan (Rudolph von Jhering, dalam Konrad Zweigert, 1977: 13)[1]. Bahwa :
Resepsi institusi hukum asing ke dalam hukum nasional bukanlah masalah apakah nasionalisme atau tidak, tetapi lebih merupakan masalah manfaat dan kebutuhan. Tidak ada orang yang keberatan untuk memagari halamannya setingi-tingginya jika semua cukup tersedia di pekarangan sendiri. Tetapi hanya orang bodoh yang menolak makan buah  apel, hanya karena buah apel tersebut tdak dipetik dari pohon yang terdapat  dalam pekarangannya sendiri